Berbagai macam penyebab dari menurunnya minat menikah dikalangan anak muda, salah satunya yaitu beredarnya istilah Marriage is scary yang baru-baru ini menjadi faktor penurunan minat menikah, terutama bagi Gen Z. Istilah ini digunakan seseorang yang merasa bahwa pernikahan, sebagai sebuah institusi atau komitmen seumur hidup adalah sesuatu yang penuh tantangan, tekanan, dan ketidakpastian. Menurunnya minta menikah ini cenderung perpandangan fokus ke masalah masalah negatif yang nantinya akan dihadapi didalam rumah tangga. Menikah dianggap tanggung jawab yang besar dan sangat berat denga berbagai tantangan penuh resiko.
Ada berbagai macam cara untuk mengatasi kasus ini, salah satunya dengan Terapi diri yaitu mengenali alasan mengapa takut menikah dan apa yang sebenarnya diinginkan dan butuhkan dalam sebuah hubungan. Hal tersebut penting bagi individu masing-masing karna bisa mendapat jawaban sebagaimana yang diri kita mau. Mengalih fokuskan kepada hal-hal yang positif dalam pernikahan dan melihat kesenangan dalam menikah juga sangat penting untuk dilakukan. Mempersiapkan apa yang harus di siapkan sebelum memutuskan untuk siap menikah.
Banyaknya kasus perceraian menjadi dampak munculnya anak broken home dan memunculkan rasa trauma akan pernikahan. Kebanyakan anak Broken home memilih keputusan untuk tidak menikah atau tetap menikah tetapi tidak ingin mempunyai anak (Childfree). Di sisi lain, ada beberapa korban broken home yang membantah tentang ketakutan menikah. Seperti anak broken home yang tidak mendapatkan kasih sayang penuh dari otang tua mereka, tetapi mereka malah ingin membangun keluarga kecil versi mereka sendiri, dan tidak mau anaknya bernasip sama seperti mereka yang kekurangan kasih sayang.
Fenomena menurunnya minat menikah di kalangan anak muda di Indonesia dapat dipahami melalui berbagai perspektif, termasuk ketakutan dan kekhawatiran yang berkembang dalam masyarakat. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penurunan signifikan ikan dalam angka pernikahan, dengan total pernikahan mencapai 1.577.255 pada tahun 2023, turun dari 1.705.348 pada tahun 2022. Penurunan ini mencerminkan perubahan sikap yang memperbaiki kondisi di kalangan umum. Jika di tela'ah lebih dalam, penyebab di kasus ini juga di dukung oleh anak muda sendiri, berbagai macam konten dimedia sosial dengan membahas tentang ketakutan akan menikah ini menjadi semakin banyak yang terkena dampaknya.
PEMBAHASAN
Faktor-faktor penyebab menurunnya minat Gen Z menikah
 Banyaknya anak muda melihat contoh pernikahan orang dewasa yang gagal karena berbagai macam factor. Yang pertama yaitu faktor Ekonomi. Kenaikan biaya hidup, sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak, dan tekanan ekonomi dalam membiayai pernikahan dan membesarkan anak serta tuntutan memenuhi tanggungan orang tua (sandwich generation). Faktor ini sering menjadi alasan utama anak muda menjadi menurunnya minat menikah.
Faktor yang kedua yaitu faktor Sosial Budaya. Faktor ini meliputi perubahan nilai dan norma sosial, meningkatnya budaya individualisme, dan pengaruh media sosial terhadap persepsi tentang pernikahan. Â Contohnya, pergeseran pandangan tentang peran gender dalam rumah tangga. Seperti peran dalam mencari nafkah bukan lagi peran bagi laki-laki lagi tetapi sudah tergantikan oleh perempuan, sedangkan peran laki-laki mengurus rumah.
Yang ke tiga yaitu Faktor Pendidikan. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi, khususnya bagi perempuan, seringkali dikaitkan dengan penundaan pernikahan karena alasan fokus pada karier dan seringkali dianggap minim pendidikan apabila tidak lulusan sarjana (S1). Â Contohnya, di zaman sekarang ini banyak laki-laki mencari perempuan dengan status sosial yang setara karena merasa dirinya telah menjadi seorang pekerja dengan menempuh Pendidikan yang tinggi dan memiliki jabatan tersendiri.
Faktor yang ke empat yaitu faktor Psikologis. Ketakutan akan kegagalan dalam pernikahan (berdasarkan meningkatnya angka perceraian), kurangnya kesiapan emosional dan mental, dan tekanan untuk mencapai kesuksesan karier sebelum menikah memicu menurunnya minat menikah. Banyak juga contoh kasus KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) karna tidak siap psikologisnya dalam membangun rumah tangga dan menyebabkan perceraian. Contoh kasus itulah yang kemudian menjadi alasan takut menikah.
Faktor Religius juga menjadi penyebab dalam kasus ini. Peran agama dan kepercayaan dalam memandang pernikahan, serta pengaruhnya terhadap keputusan untuk menikah atau menunda pernikahan. Dalam ajaran agama Islam perceraian adalah salah satu perbuatan yang tidak disukai oleh Allah SWT. Karena itu banyak anak muda yang takut dan memilih tidak menikah.
Dari beberapa faktor tersebut dapat disimpulkan bahwa generasi Z memiliki ketakutan menikah bukan hanya karena maraknya trend di media sosial tetapi karena banyak pertimbangan dan alasannya. Banyak juga yang beranggapan bahwa menikah adalah sebuah tuntutan dari tanggung jawab yang besar dan rumit. Dengan menurunnya angka menikah terutama dalam beberapa tahun terakhir ini pemerintah merancang dan memberi solusi kepada anak muda di Indonesia dalam mendukung program-program yang mendorong pernikahan yang sehat dan Bahagia. Yang pertama yaitu Pentingnya Edukasi dan Konseling Pra-Nikah dalam Program edukasi dan konseling yang komprehensif untuk mempersiapkan anak muda menghadapi pernikahan serta mengedukasi persiapan yang harus dipenuhi untuk menjalani kehidupan dalam berumah tangga. Yang kedua Perubahan Kebijakan  yaitu, Tinjauan kebijakan yang relevan untuk mendukung keluarga muda, seperti kebijakan perumahan, subsidi pendidikan, dan cuti melahirkan.
Perubahan pola berfikir ini tentu berdampak pada tatanan masyarakat seperti menurunnya angka kelahiran dan potensi penurunan jumlah penduduk di masa depan, potensi perubahan struktur keluarga dan dampaknya terhadap sistem sosial, potensi dampak ekonomi jangka panjang akibat menurunnya jumlah penduduk usia produktif. Tetapi tidak menutup kemungkinan pada generasi sekarang yang masih memilih untuk tidak menikah karena berbagai macam pertimbangan lainnya. Pembahasan ini sangat luas, menyangkut alasan-alasan generasi muda memilih tidak menikah seperti alasan sandwich generation sampai keputusan menikah tetapi tidak ingin memunyai anak atau yang disebut dengan istilah childfree.
KESIMPULAN
Marriage is scary, fenomena baru yang memengaruhi Gen Z merupakan faktor signifikan dalam keputusan pernikahan mereka. Pernikahan dipandang sebagai lembaga sakral yang menjadi sumber ketegangan, tekanan, dan ketidakpastian. Penting untuk fokus pada aspek positif pernikahan dan menghindari aspek negatif. Rumah tangga yang berantakan merupakan faktor lain yang dapat memengaruhi keputusan pernikahan seorang anak, seperti status ekonomi, norma sosial, norma gender, pendidikan, faktor psikologis, dan keyakinan agama. Mengatasi masalah ini dapat membantu memperbaiki kondisi pernikahan di kalangan Gen Z.
Untuk mengatasi hal tersebut tentu pentingnya membangun komunikasi yang terbuka antara pasangan dapat membantu mengatasi ketakutan dan kekhawatiran terkait pernikahan. Diskusi yang jujur mengenai harapan dan ketakutan masing-masing dapat memperkuat hubungan dan meningkatkan kesiapan untuk berkomitmen. Pendidikan dan Kesadaran Masyarakat perlu didorong untuk memahami bahwa meskipun ada risiko dalam pernikahan, ada juga banyak aspek positif yang perlu dipertimbangkan. Pendidikan tentang hubungan yang sehat dan dukungan dari lingkungan sosial dapat membantu mengurangi stigma negatif terhadap pernikahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H