Mohon tunggu...
miftahulhuda
miftahulhuda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa pasca sarjana universitas KH Mukhtar syafaat Banyuwangi

hobi bersepeda

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

fleksibilitas kurikulum merdeka dalam mendukung pembelajaran siswa berkebutuhan khusus

7 Januari 2025   18:33 Diperbarui: 7 Januari 2025   18:30 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto pendidikan inklusif (Ihttps://guruberdaya.org/tips-melaksanakan-pendidikan-inklusif/)

Pendidikan merupakan hak asasi setiap individu tanpa memandang latar belakang, kemampuan fisik, atau kebutuhan khusus. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 Ayat 1 yang menyatakan bahwa "Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan." Hak ini tidak hanya menjadi tanggung jawab negara tetapi juga menjadi dasar keadilan sosial yang memastikan semua individu memiliki peluang yang sama untuk berkembang. Namun, dalam praktiknya, pemenuhan hak pendidikan bagi siswa berkebutuhan khusus (ABK) sering menghadapi berbagai tantangan yang kompleks. Tantangan ini mencakup aksesibilitas yang terbatas, keterbatasan sumber daya, kurangnya guru yang terlatih khusus, serta minimnya dukungan kurikulum yang mampu mengakomodasi kebutuhan beragam siswa. Oleh karena itu, munculnya Kurikulum Merdeka sebagai salah satu upaya transformasi pendidikan di Indonesia memberikan harapan besar untuk menciptakan pendidikan yang inklusif dan adil. Dengan fleksibilitas yang ditawarkan, Kurikulum Merdeka diharapkan mampu menjawab tantangan-tantangan tersebut, sekaligus memperbaiki kualitas pendidikan bagi semua siswa, termasuk ABK.

Pendidikan inklusif adalah pendekatan yang dirancang untuk mengakomodasi semua siswa, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus, agar dapat belajar bersama dalam satu lingkungan pendidikan yang sama. Pendekatan ini bertujuan untuk memastikan tidak ada diskriminasi dalam proses belajar mengajar dan semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai potensi maksimal mereka. Menurut deklarasi UNESCO (1994), pendidikan inklusif bertujuan untuk menghilangkan hambatan dalam mengakses pendidikan berkualitas, menciptakan lingkungan yang ramah, serta memastikan semua siswa memperoleh pengalaman belajar yang setara. Dalam konteks siswa berkebutuhan khusus, pendekatan ini menjadi sangat relevan karena mereka sering kali menghadapi kesenjangan dalam mendapatkan layanan pendidikan yang memadai. ABK mencakup individu dengan gangguan fisik, intelektual, emosional, sosial, maupun gangguan lainnya yang memerlukan perhatian khusus dari sistem pendidikan. Berdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada tahun 2022, terdapat sekitar 1,6 juta anak berkebutuhan khusus di Indonesia. Namun, hanya sekitar 18% dari jumlah tersebut yang berhasil terlayani oleh sistem pendidikan inklusif. Ini menunjukkan bahwa mayoritas anak berkebutuhan khusus masih menghadapi kendala besar dalam mengakses pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Di tingkat regional, Jawa Timur menjadi salah satu provinsi dengan jumlah siswa berkebutuhan khusus yang cukup signifikan, mencapai sekitar 120 ribu anak. Namun, tantangan serupa juga dihadapi di wilayah ini, di mana banyak sekolah yang belum memiliki infrastruktur atau tenaga pendidik yang memadai untuk mendukung pendidikan inklusif. Di Kabupaten Banyuwangi, sebagai salah satu daerah di Jawa Timur, tercatat sekitar 3.500 siswa berkebutuhan khusus pada tahun 2023. Sayangnya, sebagian besar dari mereka masih belum mendapatkan layanan pendidikan yang memadai. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada kebijakan yang mendorong pendidikan inklusif, implementasinya masih jauh dari harapan, terutama di daerah-daerah yang memiliki keterbatasan sumber daya.

Landasan hukum yang mendukung pendidikan bagi siswa berkebutuhan khusus cukup kuat di Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 telah menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan. Selain itu, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menekankan pentingnya pendidikan yang inklusif bagi semua warga negara, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 juga secara khusus mengatur penyelenggaraan pendidikan inklusif untuk peserta didik yang memiliki kelainan atau potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Di sisi lain, UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas memberikan landasan hukum tambahan yang menegaskan hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan pendidikan tanpa diskriminasi. Kurikulum Merdeka, yang diresmikan sebagai bagian dari upaya modernisasi sistem pendidikan di Indonesia, hadir dengan prinsip fleksibilitas, diferensiasi, dan penguatan karakter. Prinsip-prinsip ini memberikan peluang besar untuk mengakomodasi kebutuhan siswa berkebutuhan khusus melalui pendekatan yang lebih personal dan adaptif.

Fleksibilitas yang ditawarkan oleh Kurikulum Merdeka mencakup berbagai aspek yang relevan untuk mendukung pembelajaran siswa berkebutuhan khusus. Salah satu elemen penting adalah pendekatan pembelajaran berbasis proyek (Project-Based Learning), yang memungkinkan siswa untuk belajar dengan cara yang lebih relevan dan kontekstual. Melalui pendekatan ini, siswa berkebutuhan khusus dapat terlibat dalam proyek-proyek yang sesuai dengan minat dan kemampuan mereka, sehingga pengalaman belajar menjadi lebih bermakna. Selain itu, asesmen berbasis kompetensi juga menjadi bagian integral dari Kurikulum Merdeka. Dalam pendekatan ini, penilaian tidak hanya berfokus pada hasil akhir, tetapi juga pada proses belajar yang dilalui oleh siswa. Hal ini memberikan kesempatan bagi siswa berkebutuhan khusus untuk menunjukkan kemampuan mereka melalui berbagai bentuk asesmen yang lebih fleksibel dan adaptif.

Profil Pelajar Pancasila, sebagai salah satu elemen utama dalam Kurikulum Merdeka, juga memiliki relevansi yang kuat dalam mendukung pembentukan karakter siswa berkebutuhan khusus. Profil ini menekankan nilai-nilai seperti gotong royong, kebhinekaan global, dan kemandirian, yang dapat membantu siswa berkebutuhan khusus untuk mengembangkan kemampuan sosial dan emosional mereka. Fleksibilitas waktu dan materi dalam Kurikulum Merdeka juga menjadi keunggulan lainnya. Guru dapat menyesuaikan waktu belajar dan materi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan siswa berkebutuhan khusus, misalnya dengan menyederhanakan materi atau memberikan waktu tambahan untuk menyelesaikan tugas. Meskipun potensi yang ditawarkan oleh Kurikulum Merdeka cukup besar, implementasinya di lapangan masih menghadapi berbagai kendala. Secara statistik, data Kemendikbudristek menunjukkan bahwa hanya 3 dari 10 anak berkebutuhan khusus yang dapat mengakses pendidikan inklusif di Indonesia. Sebagian besar dari mereka yang belum terlayani berada di daerah terpencil dan memiliki akses yang terbatas terhadap fasilitas pendidikan inklusif. Di Jawa Timur, sekitar 60% sekolah inklusif dilaporkan masih kekurangan fasilitas pendukung, seperti ruang kelas yang ramah disabilitas atau guru pendamping khusus (GPK). Di Kabupaten Banyuwangi, meskipun terdapat beberapa sekolah inklusif, distribusinya belum merata dan sebagian besar ABK belum mendapatkan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Untuk meningkatkan implementasi Kurikulum Merdeka bagi siswa berkebutuhan khusus, diperlukan berbagai solusi yang komprehensif.

Pertama, peningkatan kapasitas guru melalui pelatihan tentang strategi pembelajaran untuk siswa berkebutuhan khusus menjadi hal yang sangat penting. Guru perlu dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk mendukung pembelajaran yang inklusif.

Kedua, penyediaan guru pendamping khusus (GPK) di setiap sekolah inklusif harus menjadi prioritas. Keberadaan GPK dapat membantu siswa berkebutuhan khusus untuk beradaptasi dengan lingkungan sekolah dan proses pembelajaran.

Ketiga, penguatan infrastruktur sekolah, seperti penyediaan fasilitas fisik yang ramah disabilitas dan peningkatan akses teknologi, juga menjadi faktor penting.

Keempat, kolaborasi antara sekolah, orang tua, dan komunitas perlu diperkuat untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang mendukung pembelajaran siswa berkebutuhan khusus secara holistik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun