Menjadi orang yang mempuyai toleransi itu ternyata relatif, tidak selalu bagus. Kadangkala, ada hal yang sebenarnya tidak baik untuk kita dalam kehidupan sehari-hari. Namun, secara tidak sadar kita menganggap hal itu sudah biasa hingga pada tingkatan “biasa terjadi”, meskipun sebenarnya kita sendiri tahu bahwa itu adalah sebuah pelanggaran dan tahu apa akibat yang akan ditanggung dari pelanggaran tersebut.
1.Rokok beserta asapnya
Misalnya, bila ternyata anda memilih sebagai seorang perokok, tentu itu bukan urusan saya, itu adalah pilihan hidup anda sendiri. Saya yakin “pesan” kecil di belakang bungkus rokok itu dapat terbaca dengan baik. Ya sudah, silakan bertanggung jawab atas diri kita masing-masing saja.
Tapi, tentu lain halnya jika merokok di tempat umum, entah itu di angkot, kantin, ruang tunggu, atau malah di dalam ruangan kelas. Bila sudah ada perintah larangan merokok di tempat umum, mestinya secara legowo hal itu digubris. Namun, kejadian itu sangat jarang terjadi meski peringatan itu jelas-jelas terpampang.
Di sini mungkin mulai ada tingkat “toleransi” yang diberikan. Bila oknum yang merokok itu melihat peringatan di suatu tempat umum, namun melihat di sekitarnya tidak ada orang, tentu kita berpikir dan merasa “toleran” pada oknum itu.
“Ah, toh tidak ada siapa-siapa ini, kan?”, mungkin bila ternyata kita melihat kejadian itu, kita juga akan berujar sama persis, secara tidak langsung memberikan “tenggang rasa” pada oknum tadi.
Namun, kenyataannya, tetap ada saja oknum yang sembarangan merokok di tempat umum seakan buta mata pada sekelilingnya. Tak jarang, di sebelahnya ada perempuan yang sedang hamil atau anak-anak balita yang menghirup racun dari asap rokoknya.
Bila keadaan tersebut dianalisa, tentu kita akan langsung menyalahkan si oknum perokok. Tak tahu diri, kurang ajar, dan bermacam-macam umpatan tentu akan dilayangkan. Tentu, itu suatu hal yang lumrah. Si perokok itu pun, bila mempunyai istri yang sedang hamil yang ada pada keadaan yang sama, tentu akan berlaku sama juga seperti dirasakan orang lain. Tapi, sayang, “umpatan” kita itu mungkin hanya tersirat dalam hati saja. Entah karena tidak berani menegur si perokok itu, entah segan, entah kita sudah sampai pada tingkat “toleransi” yang tinggi.
Bila ternyata ibu hamil yang sebenarnya punya hak untuk memarahi oknum perokok yang berpotensi merusak janinnya itu berkata, “Ah, sudah biasa, Mas. Suami saya hampir setiap hari merokok di depan saya. Jadi, saya juga biasa aja, sih..” Ah, tentu kita akan banyak menepuk jidat. Sudah pada itukah tingkat toleransi kita pada hal yang sebenarnya salah?
2.Petasan
Karena sedang dalam momen bulan puasa, sangat pas jika kita membahas masalah ini. Ya, petasan. Kata sebagian orang, tidak afdhol bulan ramadhan bila tak ada bunyi petasan. Seakan sudah tradisi saja, di momen hari yang suci, di momen peribadahan yang tinggi, dirusak oleh bunyi-bunyian petasan yang memekakkan telinga.
Bukan tidak boleh untuk memainkan petasan. Silakan saja, karena lagi-lagi itu pilihan hidup siapa pun. Tapi alangkah lebih baiknya, bila menyalakan petasan itu di dalam kamar milik sendiri, yang terkunci rapat, dan kita hanya sendiri yang ada di dalamnya. Bukankah itu akan lebih memuaskan kita, karena cuma kita yang mendengar ledakannya?
“Tidak lucu, bro.”
Oke, kalau kita bilang itu tidak lucu, lalu apakah lucu bila oknum itu menyalakan petasan ketika kita sedang khusyuknya shalat tarawih, atau melempar petasan pada pejalan kaki yang berpotensi membuat pejalan kaki terkena serangan jantung? hayo, lebih lucu yang mana?
Namun, bila kita secara sepihak saja menjudge anak-anak yang belum sadar itu, tentu tak elok juga. Mulailah dari kita sebagai orang dewasa, yang memberikan pemahaman dari mereka yang belum mengerti itu, bila perlu dipresentasikan dan diberikan foto-foto korban ledakan petasan supaya lebih mengena. Atau bila anda seorang pihak berwajib, mungkin anda bisa merazia pedagang petasan yang ilegal di pinggir jalan itu. Bukankah berdagang bahan peledak tanpa izin itu dilarang ya, Pak Polisi?
3.Pungli
Nah, inilah dia kejadian yang sering kita alami dan sering kita anggap itu sebagai hal biasa. Tak jarang di kantor pemerintahan semacam kantor desa hingga mahkamah tinggi melakukan praktik ini. Bila kita mendengar pemberitaan pungli ini, tentu kita akan geram dan bersungut-sungut. Namun, sadarkah kita bahwa sesungguhnya secara langsung atau tidak langsung pernah ikut dalam transaksi gelap ini?
Pernahkah kita mendengar bahwa setiap pembuatan dokumen tertentu untuk kepentingan negara, masih saja dipungut biaya oleh oknum tertentu? Mungkin kita pernah merasakan juga, misalkan untuk membuat KTP agar cepat selesai, mesti membayar sekian puluh ribu. Padahal, kita sendiri tahu bahwa layanan pemerintah untuk masyarakat itu tidak dipungut biaya pada bagian tertentu. Hanya saja, kita kadang tak mau ambil pusing dan mau-mau saja untuk membayar itu, seakan-akan sudah ada deal secara psikologis bercampur pula dengan “toleransi” yang tinggi tadi.
“Ah, biar cepat” mungkin itu yang kita selalu kita pikirkan bial menghadapi hal ini. Dan kadang kita merasa ini adalah hal kecil yang sudah biasa. Celakanya, bila sistem bertoleransi tinggi ini berlaku pada jajaran tinggi pemerintahan, maka inilah yang akan menggerogoti ketahanan bangsa secara perlahan.
Bila ada alasan seperti ini, “Kita kan cuma mau memberi saja .. toh, anggap saja uang jasa” . Bila alasan seperti itu, mungkin itu sah-sah saja, apalagi bila pihak yang bertanggungjawab tersebut tidak meminta sesuatu atau tidak mematok sesuatu. Tapi, bila telah dipatok, misalnya begini “Mau buat KTP ya ? 60 ribu, pak” Ah, tentu hal itu lain lagi ceritanya.
Ngomong-ngomong masalah jasa, ini beda lho seperti orang semacam Pak Ogah. Bila kita memberi uang tip pada Pak Ogah yang telah berjasa mengatur kendaraan kita di jalan, tentu itu yang dinamakan balas jasa, toh Pak Ogah ini tidak mendapat gaji tetap yang ditanggung pemerintah. Lain lagi cerita oknum PNS tadi yang menarik biaya untuk pencetakan dokumen tertentu, malah masih menarik biaya padahal gratis. Kan, gajinya sudah dibayar pemerintah !
Tapi bila ditanya, siapa yang salah, beranikah kita menunjuk dan mengintrospeksi diri sendiri ? mungkin kita sendiri juga yang “kurang cerdas” menyikapi masalah ini, yang maunya ingin cepat dan asal beres saja.
Peristiwa kecil diatas tentu sering kita alami sehari-hari. Meskipun kecil, namun bila dilakukan secara masif, maka akan berdampak besar juga. Lagipula, bila kita mengatakan ketiga hal diatas itu hal yang kecil, jangan-jangan kita sudah termasuk orang yang “toleran” tadi, padahal kita tahu bahwa akibat yang ditimbulkannya tidak main-main.
Sedikit menyerap intisari buku dari penulis ternama Tere Liye, bahwa “Hancurnya bangsa ini bukan ditimbulkan oleh banyaknya orang yang jahat, tetapi banyaknya orang baik yang diam dan tak mau berbuat sesuatu untuk mencegah kejahatan itu”
Karenanya, alangkah baiknya bila “toleransi aneh” ini dapat segera dihilangkan, dimulai dari kita sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H