Perspektif mubadalah ini berawal dari cara pandang yang memanusiakan laki-laki dan perempuan. Sebuah cara pandang yang kemudian mengarah pada relasi yang setara dan timbal balik untuk kebaikan hidup antara laki-laki dan perempuan. Di kedua ranah, publik dan domestik. Di ranah domestik, mubadalah menegaskan pentingnya relasi yang saling melayani, menguatkan, dan membahagiakan antara suami dan istri, serta orang tua dan anak. Kerja-kerja rumah tangga dan mengurus anak menjadi tanggung jawab bersama. Kebahagiaan juga menjadi hak bersama. Logika mubadalah menegaskan bahwa segala tindakan yang akan menghadirkan kebaikan dalam rumah tangga, atau menghindarkan keburukan darinya, adalah menjadi tanggung-jawab bersama suami dan istri, atau ayah dan ibu, serta seluruh anggota keluarga.
Di ruang publik, perspektif mubadalah meniscayakan adanya kesetaraan perempuan dan laki-laki sebagai warga negara di mata hukum. Sehingga, keduanya memiliki hak dan kewajiban yang sama, agar bisa saling mengisi, memperkuat, dan membangun kehidupan sosial yang baik bagi segenap masyarakat. Sebagaimana laki-laki, perempuan juga harus diberi kesempatan yang luas untuk bisa berkontribusi di ruang publik dan mengambil mafaat darinya. Pada saat yang sama, laki-laki juga harus didorong untuk berkontribusi di ruang domestik dan menikmati keintiman dengan keluarga terutama anak-anak. Tentu saja, tanpa mengesampingkan kemungkinan adanya perbedaan-perbedaan yang khas antara laki-laki dan perempuan. Bahkan ada perbedaan di antara individu-individu, terutama yang memiliki kebutuhan khusus.
Prinsip kesalingan atau mubadalah mencakup semua nilai-nilai kesetaraan dan kemanusiaan. Dan kedua nilai ini yang akan menjadi pondasi bagi tujuan-tujuan kemaslahatan, kerahmatan, dan keadilan. Pada akhirnya, sebagaimana ditegaskan para ulama klasik, kerahmatan dan kemaslahatan adalah bentuk dari kebahagiaan hidup yang digagas dan diperjuankan Islam. Baik untuk kehidupan di dunia dan kelak di akhirat nanti.
Substansi dan konten dari perspektif mubadalah, karena itu, tentu saja bukan hal baru. Ia justru merupakan norma yang fundamental dalam Islam, yang dibawa dan ditegaskan al-Qur'an sejak awal. Karena itu, kerja-kerja mubadalah untuk pemihakan perempuan ini, sesungguhnya adalah kerja-kerja keislaman dalam memihak dan memberdayakan yang lemah (mustadh'afn), bagian dari penyempurnaan akhlak mulia yang digariskan Nabi Saw, dan implementasi dari risalah atau visi kerahmatan Islam untuk seluruh alam. Pemihakan ini penting untuk menegakkan norma kemitraan dan kerjasama, bukan penguasaan dan hegemoni.
Untuk pemihakan ini, kita perlu menegaskan kesedarajatan martabat kemanusiaan perempuan dan laki-laki di hadapan Allah Swt secara primordial. Keduanya adalah hamba-hamba Allah Swt, yang memperoleh mandat kekhalifahan di muka bumi, untuk memakmurkan dan menghadirkan segala kebaikan hidup. Pemihakan ini juga menegaskan bahwa keimanan Islam tidak mentolerir segala jenis pandangan dan tindakan yang merendahkan eksistensi perempuan.
Menikah dan berkeluarga seyogyanya tidak menjadi penghambat, bagi siapapun, terutama perempuan, untuk mengembangkan potensinya masing-masing sebagai manusia secara maksimal. Sebaliknya, menikah adalah persatuan dua insan, dimana satu sama lain saling melengkapi, menopang, dan menolong, untuk terus menerus meningkatkan kualitas hidup kedua belah pihak, khususnya mengenai lima prinsip dasar yang ditegaskan ulama-ulama hukum Islam; jiwa dan kehidupan (nafs), beragama dan ibadah (dn), pemikiran dan pengetahuan ('aql), keluarga dan kehormatan (nasl), dan ekonomi atau kekayaan (ml).
Perspektif mubadalah meniscayakan adanya rumusan metode pemaknaan teks untuk menemukan pesan utama yang bisa diaplikasikan bagi perempuan dan laki-laki sebagai subyek hukum yang sama dan setara. Metode mubadalah hadir untuk mengatasi keterbatasan literal teks yang seringkali hanya menyasar perempuan saja, atau laki-laki saja, padahal pesannya sesungguhnya bersifat umum dan mencakup  keduanya. Dengan metode ini, kita harus memastikan bahwa teks-teks mengenai prinsip-prinsip dasar dan norma-norma umum menyapa laki-laki dan perempuan, baik sebagai anggota keluarga (suami, istri, anak, orang tua, atau saudara), maupun sebagai anggota masyarakat. Sementara teks-teks yang bersifat parsial dan kontekstual harus digali terlebih dahulu makna substansialnya yang bisa di-mubadalah-kan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H