Mohon tunggu...
Miftahul Afdal
Miftahul Afdal Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa

Menjadi seperti mata air yang mengalir menghidupkan tumbuhan disekitarnya

Selanjutnya

Tutup

Trip

Sepenggal Cerita Menuju Air Tinombala, seperti Mantan yang Pergi lalu Kembali

24 Mei 2020   12:07 Diperbarui: 24 Mei 2020   11:59 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Travel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Sekira pukul 13.30 WITA, dihari ke 23 di bulan puasa, perjalanan dimulai, terik matahari menyengat hingga kerelung hati yang paling dalam, meski begitu, roda motor terus melaju ketempat yang ingin dituju.

Panggil saja kami barisan para mantan, jumlah kami ada tujuh orang dalam perjalanan ini, biar saya perkenalkan nama kami satu persatu yaitu Yasin, Leo, Tio, Muhlis, Ucil, Pian, Radiat. Itulah nama-nama ke enam teman saya, tentu saja semuanya jantan, oh iyah, saya tidak ingin ketinggalan memperkenalkan nama, sebut saja mawar, eh Afdal biasa dipanggil Ital.

Awal mula perjalanan di inisiatif oleh saya dan Muhlis yaitu ke Air Terjun Tinombala yang membuat sebagian orang penasaran dengan pesonanya, layaknya seorang wanita berparas cantik yang biasa terpampang di media sosial.

Muhlis sudah membuat janji dengan beberapa teman sebagai mata jalan atau penunjuk jalan ke Air Terjun tersebut, namun ditengah perjalanan teman itu memberi kabar bahwa mereka mengikuti duka salah satu temannya, kami pun ikut turut berdukacita.

"Eh, ada keduakaan dorang, tebisa ba antar torang ka air terjun, baru ini dorang kasih kabar,"ujar Muhlis dengan wajah murung.

Tidak sampai disitu, saya coba untuk meyakinkan teman-teman untuk tetap meneruskan perjalanan ke Air Terjun.

"So jauh torang pigi akan ini, mari jo nanti ba tanya sama orang saja,"ucap saya berusaha meyakinkan.

Perjalanan kami teruskan meski bermodalkan keyakinan di dada, sebab perjalanan dari Palasa menuju Tinombala sangat jauh. Walau tanpa pemandu jalan kami tetap bersikukuh untuk pergi ke Air Terjun.

Lorong demi lorong kami masuki dan setiba di tempat penjual air galon kami bertanya kepada warga sekitar.

"Om dimana leh air terjun Tinombala," Tanya Tio kepada warga.

Seorang warga dengan topi merah dikepala, baju berwarna putih melekat dibadan serta celana pendek, yang sedang mengangkat air itu menjawab "Disana, naik ke atas, kalau mau nanti saya antarkan setengah jalan,"Jawab salah satu warga.

"Nanti kamu melapor dulu sama Kepala Desa, takutnya jangan terjadi apa-apa, suapaya ditau,"sambungnya.

Jalan bebatuan yang kami lalui dengan kondisi sedang menjalani puasa terasa menyenggkelkan, sebab perut seperti meronta-ronta, terlebih lagi dengan cuaca yang begitu panas.

Setiba dirumah Kepala Desa Sumber Mandiri, segera kami melaporkan jumlah 7 orang untuk pergi ke Air Terjun, setelah itu, kami terus melakukan perjalanan sampai pada rumah warga yang mengantarkan tadi. "Saya sampai disini ba antar kamu, nanti kamu terus saja jalan ke atas jangan belok ke kiri atau kekanan,"ujarnya.

Jika tadi kami melewati jalan bebatuan, maka jalan satu ini berlumpur dan sangat licin sehingga beberapa kali motor yang kami kendarai tertahan dilumpur dan harus dibantu dengan dorongan.

Sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh warga tadi perjalanan terus dilakukan meski tanpa pemandu jalan. Akhirnya, sampai pada sesuatu yang tidak diharapkan, namun mungkin terjadi, yah kami tersesat dikebun warga, perdebatan pun terjadi, sehingga kami mengambil keputusan untuk putar balik.

Tapi tunggu dulu, ini belum selesai, nampak pondok seorang warga, Muhlis bertanya kepada warga itu. Ia mengatakan jalan yang kami lalui sudah benar tapi perlu berjalan kaki beberapa kilometer kebawah.

"Sudah betul jalan yang kamu pigikan itu, tapi turun kebawah lagi, nanti kamu dapat air terjun,"katanya.

Dengan kondisi puasa, tentu berpengaruh terhadap psikologi, beberapa orang dari kami tidak ingin lagi melanjutkan perjalanan, namun sebagian besar tetap ingin terus mencari air terjun, keputusan diambil secara seksama dalam tempo sesingkat-singkatnya, maka sampailah pada kesepakatan untuk kembali ketempat tadi dan mencari jalur pergi ke air terjun.

Kami pun sampai di salah pondok tak berpenghuni, kami berhenti sebelum tempat awal kami tersesat.

Suara gemuruh berbunyi merdu dari air terjun seakan mengundang untuk segera terjun ke air itu.

Leo dengan instingnya mencoba meraba jalan yang cukup terjal kebawah menuju air terjun. Cukup jauh, lelah bukan menjadi penghalang, maka tujuan awal perjalanan sampai pada air terjun Tinombala.

Kekaguman terbesit disanubari, menghilangkan penat sewaktu mencari tanpa kepastian, namun kami yakin akan ketemu diwaktu yang tepat. Pukul 15.30 kami sampai pada tujuan perjalanan kami.

Sorak-sorai menandakan kebahagiaan dari teman-teman, dan rasa syukur atas nikmat Tuhan dengan keindahan alam yang diciptakannya.

Kami membuat janji, saat kami temui air terjun ini walaupun kami bukan yang pertama tapi bila tiba saatnya nanti, kami akan kembali kesini. Seperti mantan yang pergi lalu kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun