Sekira pukul 13.30 WITA, dihari ke 23 di bulan puasa, perjalanan dimulai, terik matahari menyengat hingga kerelung hati yang paling dalam, meski begitu, roda motor terus melaju ketempat yang ingin dituju.
Panggil saja kami barisan para mantan, jumlah kami ada tujuh orang dalam perjalanan ini, biar saya perkenalkan nama kami satu persatu yaitu Yasin, Leo, Tio, Muhlis, Ucil, Pian, Radiat. Itulah nama-nama ke enam teman saya, tentu saja semuanya jantan, oh iyah, saya tidak ingin ketinggalan memperkenalkan nama, sebut saja mawar, eh Afdal biasa dipanggil Ital.
Awal mula perjalanan di inisiatif oleh saya dan Muhlis yaitu ke Air Terjun Tinombala yang membuat sebagian orang penasaran dengan pesonanya, layaknya seorang wanita berparas cantik yang biasa terpampang di media sosial.
Muhlis sudah membuat janji dengan beberapa teman sebagai mata jalan atau penunjuk jalan ke Air Terjun tersebut, namun ditengah perjalanan teman itu memberi kabar bahwa mereka mengikuti duka salah satu temannya, kami pun ikut turut berdukacita.
"Eh, ada keduakaan dorang, tebisa ba antar torang ka air terjun, baru ini dorang kasih kabar,"ujar Muhlis dengan wajah murung.
Tidak sampai disitu, saya coba untuk meyakinkan teman-teman untuk tetap meneruskan perjalanan ke Air Terjun.
"So jauh torang pigi akan ini, mari jo nanti ba tanya sama orang saja,"ucap saya berusaha meyakinkan.
Perjalanan kami teruskan meski bermodalkan keyakinan di dada, sebab perjalanan dari Palasa menuju Tinombala sangat jauh. Walau tanpa pemandu jalan kami tetap bersikukuh untuk pergi ke Air Terjun.
Lorong demi lorong kami masuki dan setiba di tempat penjual air galon kami bertanya kepada warga sekitar.
"Om dimana leh air terjun Tinombala," Tanya Tio kepada warga.
Seorang warga dengan topi merah dikepala, baju berwarna putih melekat dibadan serta celana pendek, yang sedang mengangkat air itu menjawab "Disana, naik ke atas, kalau mau nanti saya antarkan setengah jalan,"Jawab salah satu warga.