Dengan begitu, setidaknya dalam kehidupan masyarakat di Desa dapat ditopang melalui penyaluran BLT yang secara langsung menyentuh kepada masyarakat. Hingga saat ini, dana BLT telah memasuki tahap kedua dalam penyaluran kepada masyarakat terdampak.
Namun, penyaluran dana BLT pun menimbulkan polemik di masyarakat. Rentetan masalah penyaluran dana BLT tumbuh subur seiring bertambahnya virus corona.
Polemik Primadona Di Tengah Pandemi Virus Corona
Polemik primadona di tengah pandemi virus corona tak dapat terhindarkan, seperti pepatah tak ada jalan yang tak berlubang.
Jalan panjang yang berlubang menimbulkan carut marut penyeluran dana BLT mulai dari pendataan penerima yang tidak sesuai kondisi dan keadaan masyarakat sampai bermuara pada ketidak tepatan sasaran, menjadi perbincangan hangat yang berseliweran di dunia maya hingga dunia nyata.
Dari beberapa kasus yang terjadi di lingkungan pedesaan yang melekat pada penyaluran BLT, seperti adanya perencanaan pemotongan dana BLT Rp.600.000 menjadi Rp.500.000 agar yang belum mendapatkan bisa menerima secara merata dari hasil pemotongan Rp.100.000 walaupun hal ini dibatalkan di sejumlah desa.
Kemudian, pendataan yang dilakukan oleh aparat Desa seperti Kadus yang juga Badan Permusyawaratan Desa (BPD) ikut serta, menimbulkan kecemburuan sosial, sebab ada warga yang berhak menerima tapi tidak menerima, begitu pun sebaliknya.
Selanjutnya, adanya aparat Desa yang diduga memberikan bantuan dana BLT kepada sanak saudara terdekat, dengan dalih kemanusiaan untuk membantu tapi menabrak aturan yang telah terbentuk.
Salah satu penyebabnya karena aturan yang tumpang tindih dari pemerintah pusat seperti Kementerian dan ditingkat daerah Kabupaten/Kota.
Adanya peraturan 14 kriteria yang berhak menerima BLT menjadi pemicu permasalahan di masyarakat dan pemerintah desa. Dari 14 kriteria dirampungkan menjadi 9 kriteria yang perlu dipenuhi oleh penerima. Namun disayangkan, jauh panggang dari api, beberapa jumlah penerima BLT yang menjadi sorotan masyarakat tidak sesuai dengan kriteria yang sudah ditentukan.
Misalnya, warga yang tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau yang tidak memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) tidak bisa mendapatkan BLT karena dalam laporan berbentuk kwitansi dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) penerima BLT harus mempunyai KTP atau NIK. Namun tidak berselang lama aturan baru dikeluarkan, bahwa warga yang tidak memiliki KTP ataupun NIK bisa mendapatkan bantuan jika situasi dan kondisinya mengharuskan.