Akhir-akhir ini, publik Indonesia dihebohkan terkait pengesahan Omnibus Law, atau undang-undang sapu jagat berupa UU Cipta Kerja yang memanaskan hampir seluruh lapisan masyarakat.
Asumsi masyarakat bermunculan, menyatakan bahwa dengan adanya hal ini hanya akan menyengsarakan masyarakat kecil, khususnya para buruh, dan semakin membuka celah besar bagi para investor untuk meraup keuntungan di negara tercinta kita. Hal ini diakibatkan karna UU Cipta Kerja dianggap banyak memuat pasal yang kontroversial. Ini yang membuat banyak serikat buruh mati-matian menolak UU Cipta Kerja, begitupun kaum millenial, seperti halnya kalangan mahasiswa.
Tujuan penulisan artikel ini ialah; mengamati terkait dasar-dasar atas asumsi bahwa Omnibus Law benar menyengsarakan kaum buruh. Dimana, sikap menerima begitu saja atas Omnibus Law ini pun dinilai dapat menyengsarakan kaum buruh. Sehingga, asumsi ini melahirkan asumsi baru yang membuat berbagai pihak menyimpulkan bahwa mendukung Omnibus Law tersebut berarti tidak mendukung kesejahteraan hidup kaum buruh.
Pertanyaannya, apakah tepat asumsi tersebut dijadikan landasan argumentasi? Bagaimana dasar-dasar argumentasi tersebut, apakah dapat dibenarkan?
Dari artikel lain yang saya jadikan salah-satu rujukan terkait masalah Omnibus Law yang saya angkat sebagai pembahasan disini, disana diterangkan bahwa;
Jean Goodwin dalam tulisannya Henry Johnstone, Jr.’s Still-Unacknowledged Contributions to Contemporary Argumentation Theory menyebutkan bahwa argumentasi dalam argumentation theory adalah bentuk dari ketidaksetujuan atau penolakan atas suatu premis – pernyataan atau konsep – sebelumnya. Dari teori argumentasi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Omnibus Law yang dikatakan bisa menyengsarakan kaum buruh itu layak disebut sebagai suatu argumentasi karena merupakan suatu bentuk penolakan atas produk hukum tersebut.
Dalam kajian filsafat ilmu atau filsafat pengetahuan (epistemologi), suatu argumentasi dapat berasal dari semacam kepercayaan mendasar sebagai fondasi dalam argumentasi. Setelah asumsi bahwa Omnibus Law dapat menyengsarakan kaum buruh dikategorikan sebagai suatu argumentasi, maka kini yang harus diamati adalah kepercayaan dasar dari argumentasi tersebut.
Asumsi semacam itu telah tumbuh subur di setiap zaman, mulai dari Yunani kuno, Mesir kuno, hingga kini. Asumsi bahwa masyarakat kecil yang dalam konteks ini adalah kaum buruh telah menjadi kepercayaan yang begitu umum untuk dilindungi haknya, bahkan sampai kini membuat kepercayaan umum tersebut menjadi semacam standar moralitas keadilan. Maka, kini familiar sekali pertanyaan tentang; bagaimana bisa ada keadilan bila masyarakat kecil saja tak dilindungi lagi haknya?
Artikel ini juga mempertanyakan tentang dari mana masyarakat dapat membangun kepercayaan itu, sehingga dapat menyatakan argumen tersebut benar adanya. Kali ini kita hubungkan kaitannya dalam dunia filsafat, terkhusus dasar-dasar yang membangun argumen tersebut (darimana sumber pengetahuan "argumen" itu didapat?), yakni:
1. Sumber Akal/rasio
Sebagai manusia yang berakal, kita menggunakan logika untuk dapat berpikir logis. Logis dapat diartikan sesuai dengan akal sehat manusia. Cita-cita bangsa Indonesia adalah menciptakan keadaan masyarakat yang adil dan makmur. Sesuai dengan nilai kelima pancasila, yaitu “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, maka seharusnya peraturan yang dibuat juga untuk memenuhi keadilan dan kemakmuran rakyat Indonesia.
Penggunaan akal dan rasio yang sehat ini, menjadi dasar masyarkat berargumen. Dengan peraturan yang dikatakan membuat rakyat menderita tersebut, maka hal itu dinyatakan tidak sesuai dan tidak bisa diterima akal sehat manusia apabila dibandingkan dengan nilai pancasila yang menginginkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.