Di sebuah warung kopi kecil yang terletak di pinggiran kota, pagi itu sedang nampak seorang pria muda yang tengah duduk sendirian di salah satu meja menikmati kepulan asap yang di hisapnya. Pria itu adalah seorang pengangguran yang sedang mencari arah hidupnya. Ditemani secangkir kopi panas.
Tak berselang lama datannglah seorang perempuan. Perempuan itu adalah mantan gurunya di masa sekolah. Dulu, dia adalah sosok yang seringkali membimbing dan memberikan arahan bagi pria itu.Â
Mereka berdua terlibat perbincangan hangat, juga masih sempat mengingat beberapa kenangan masa lalu yang penuh warna. Meskipun jalannya kehidupan tidak selalu mulus bagi pria pengangguran itu, namun kehadiran mantan gurunya membuatnya merasa terinspirasi dan penuh semangat untuk terus berjuang.
Dan pada saat itu juga. Saat suasana perbincangan semakin dalam, sang mantan guru itu pun akhirnya menanyakan apa sebenarnya cita-cita pria tersebut dalam hidupnya. Dengan penuh keyakinan, pria itu lalu menjawab bahwa ia bercita-cita menjadi seorang pelukis. Kecintaannya dengan berbagai keindahan alam dan pemikirannya tentang seni membuatnya tertarik untuk menjelajahi seni lukis.
Mendengar jawaban dari mulutnya itu, mantan gurunya itu lalu tersenyum penuh kebanggaan. Dia sangat mengapresiasi keinginan pria pengangguran itu untuk terus belajar dan berkembang, meskipun dalam kondisi yang mungkin tidak ideal. Dengan penuh semangat, sang guru memberikan dorongan dan dukungan agar pria itu tetap melangkah menuju mimpinya menjadi seorang pekukis terkenal.
Dalam perbincangan kemudian mantan gurunya itu melempar sebuah pertanyaan. Apakah bekas muridnya itu telah mencoba membuat satu lukisan, dan apabila sudah menyelesaikanya bolehkah ia melihatnya.
Dengan sangat gembira pria itu pun menerangkan bahwa pada saat ini belum satupun lukisan yang telah di buatnya. Akan tetapi di dalam benaknya telah muncul satu inspirasi. Ia merencanakan membuat sebuah lukisan yang bagus ketika melihat sampah yang ada di salah satu lingkungan tempat tinggalnya.
Sontak dalam hati mantan gurunya terheran heran dan bertanya tanya. Bagaimana bisa. Apa yang hendak di lakukanya. Lalu segera pria tersebut menerangkan. Dan apabila  berkenan pria itu akan bertamu ke rumah mantan gurunya tersebut sembari membawa hasil karyanya yang telah jadi.Â
Sekitar satu setengah bulan kemudian pria itu telah menyelesaikan hasil karyanya dan bermaksud untuk bertamu serta memamerkan lukisanya di rumah gurunya. Ketika telah tiba, ia di sambut dengan senang hati. Lukisan yang di bawanya pun sudah di lihat oleh beberapa anggota keluarga sang mantan guru. Mereka kagum, mengatakan bahwa lukisan yang di buatnya memang sangat indah. Namun bagi sang mantan guru mengungkap agak sedikit rumit dalam hal menginterpretasikanya.Â
Lalu dengan cepat pria itu menjelaskan bahwa karya seni yang ia buat adalah dapat di kategorikan sebagai karaya seni Dadaisme. yang bertujuan untuk menolak norma-norma konvensional dalam seni dan masyarakat secara umum. Dalam Dadaisme, sering kali terdapat penggunaan olok-olok, satire, dan bahkan ketidaksusilaan sebagai bentuk protes terhadap tatanan sosial yang ada. Jadi, bisa dikatakan bahwa Dadaisme ini memang memiliki unsur olok-olok dalam ekspresi seninya.
"Dalam lukisan yang saya buat ini memang secara sepintas terlihat sebagai sebuah gunung di antara kampung yang kumuh. Sementara di seberang yang sangat jauh ada seorang bocah bersama kaakeknya melihat gunung tersebut. Dari bahasa tubuhnya si kakek nampaknya tengah menjelaskan sesuatu kepada cucunya. Bahwa sebenarnya yang di lihat cucunya bukanlah sebuah gunung. Melainkan tumpukan sampah yang bertahun tahun yang sAngat sulit di urus"