Senja telah menyapa. menyelimuti langit dengan warna jingga yang pucat. Pada emperan Toko di antara deretan pohon mangga yang rimbun. aku melihat bocah perempuan gelandangan dengan pakaian lusuhnya.Â
sedangkan aku terduduk di bangku kayu yang sudah lapuk, mengamati sorot matanya yang lugu. Di tangan kecilnya tampak buah salak mengkilat, kulitnya yang cokelat kehitaman bercampur dengan warna hijau tua. Anak itu lalu mengupas Dan mengambil isinya, tetapi telah busuk. dengan sabar ia pun memilah dan menyisihkan yang busuk, sementara yang masih bisa dimakan di suapkan pada adiknya yang masih ingusan. adiknya pun tertawa riang, merasakan manisnya salak. Dan anak kecil itu menampakkan raut muka gembira setelah menggigit sedikit buah ditangan. Anak kecil itu, dalam kesederhanaan menemukan kebahagiaan dalam berbagi dan merasakan, Ia tak terbebani oleh buah yang busuk.
Aku menyaksikan itu sembari menyulut sebatang rokok. rokok yang paling mahal. Marlboro. Dalam pikiran bahwa rokok ini akan sangat nikmat. Aku selalu menganggap rokok ini akan memberikan sensasi tersendiri. Ku hisap asap pekat dengan perlahan, Namun rasa yang kuharap tak jua datang, Lidah terasa pahit. Asap terasa hambar. Dan hanya meninggalkan sensasi panas pada tenggorokan. Barulah tersadar aku sedang menderita flu. Aku menunduk termenung, menatap puntung  rokok yang sudah ku buang. Berkata dalam hati
"Seandainya aku dari awal tidak memasang rasa nikmat terhadap asap yang ku hisap, tentu aku terbebas dari rasa kecewa. Benarlah, orang-orang mengatakan: sibuk berharap adalah investasi untuk rasa kecewa di masa depan"
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H