Tahun 2018 disebut sebagai "Tahun Politik' disematkanya Tahun Politik asumsi saya karena pada tahun tesebut akan dilaksanakan  pesta demorkrasi yang disebut dengan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak disebagaian wilayah Indosnesia untuk memeilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Memilih Gubenur dan Wakil Gubernur , Bupati dan Wakil Bupati dan atau Wali Kota dan Wakil Walik Kota). Berdasarkan data KPU pilkada yang akan berlangsung pada tahun 2018 sekirta 171  daerah (Sumber KPU).
Partai Politik sebagai pengusung Calon Kepala Daerah atau yang berasal dari perorang (Independen) dan bahkan  Calon sendiri berkompetisi merebut hati rakyat (sebagai pemilih) dengan menebar janji-jani manis agar mendapat simpati.Salah satu yang menjadi "Kue' rebutan oleh para kandidat atau partai pengusung adalah Kyai dan Pesantren.  Melihat fenomena tersebut memunculkan pertanyaan seberapa besar pengaruh Kyai dan Pesantren dalam Pilkada?
Kyai meminjam istilah yang dikemukankan oleh (Horikoshi, tt) " Kyai merupakan pemimpin karismatik dalam bidang agama. Ia fasih dan mempunyai kemapuan yang cermat  dalam membaca pikiran  pengikut-pengikutnya" . Berdasarkan definsi tersebut, Kyai mempunyai peran sentral dalam khidupan bermasyarakat. Sehingga dalam tesisnya  Horisoki menyebut Kyai sebagai  "Cultural Broker" . Kyai merupakan elemen paling esensial dari suatu pesantren. Ia seringkali bahkan merupakan pendirinya. Sudah wajar bahwa pertumbuhan suatu pesantern semata-mata bergantung pada kemampuann Kyainya.
Dalam tulisan (Dhofier, 2011) Kyai beranggapan bahwa suatu pesantren  diibaratkan sebagi suat kerajaan kecil dimana  Kyai sebagai sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan (power and authority) dalam kehidupan dilikungngan pesantren. Tidak seorang pun santri atau orang lain yang dapat melawan kekuasaan Kyai (dalam lingkungan  pesantrennya) kecuali Kyai lain yang lebih besar pengaruhnya. Para santri selalu mengharap dan bearpikir bahwa Kyai yang dianutnya merupakan orang yang terpercaya penuh kekpda dirinya sendiri (self --confident, bai dalam soal-soal pengetahuan agama, ... Meskipun mereka tinggal di daerah pedesaan, mereka merupakan bagian dari kelompok elit dalam struktur sosial, politik dan ekonomi masyarakat Indonesia.
Berdasarkan tesis tersebut di atas maka pantaslah para calon Kepala daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah  rela jauh-jauh mengunjungi pesantren yang ada di pinggiran dengan kemasan "silaturahmi" padahal sejatinya adalah dalam rangka mencari simpati Kyai dan Pesantren yang tentunya termasuk masyarakat dilingkungan pesantren  yang semata-mata dalam rangka mendulang suara di kantong-kantong pesantren.Â
Bahakan Kalau kita lihat beberapa bulan yang lalu dalam layar kaca para Kandidat Kepala daerah yang mengaku dirinya secara geneolgi masih keturunan Kyai tertentu dan Pesantren tertentu menurut hemat penulis secara pollitis hal tersebut untuk menunukan sebagai bentuk legitimasi bahwa dirinya "keturuan" Kyai bahan dari Pesantern tertentu{ (walaupun ada benarnya) .Â
Maka sering dijumpai ketika calon Kepala daerah menyambangi Pesantren sering tidak memakai atribut partai pendukungnya. (Maliki, 2004) menyebutnya "Political Withdrawl" (sepeti yang saya saksikan pada siang ini ketika salah satu Kandidat Calon Gubernur mengunjungi salah satu pesantren di lingkungan saya).
Akan tetapi, di era melenia sekarang apakah dalam konteks politik seorang Kyai dan Pesantrennya masih signifikan dalam mengarahkan dukungan terhadap calon tertentu? .Walahu A'lamÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H