Mohon tunggu...
Miftah Nashir
Miftah Nashir Mohon Tunggu... -

Sejak SMA doyan nulis, akhirya menemukan pelampiasan dari hobinya ini dengan cara Nge_Blog. Menaruh minat yang tinggi pada bahasa Inggris, Psikologi dan Penelitian Sosial\r\n......karena suatu insiden menguntungkan, akhirnya kuliah di UIN SGD Bandung, Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam dan terpaksa (baca : dipaksa) nyantri di sebuah pesantren mahasiswa sebagai konsekwensi menjadi "mahasiswa tanggungan Kementrian Agama". \r\n\r\nadmin dari http://belajarbahasakore.net

Selanjutnya

Tutup

Nature

Bandung (Bukan) Lautan Sampah (?)

20 Juli 2010   05:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:44 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ressay.wordpress.com

“Selama ini masyarakat tidak dididik untuk tahu—atau mau tahu—tentang dari mana benda-benda yang dikonsumsi berasal, berapa banyak sumber daya alam yang digunakan untuk memproduksi itu semua, dan ke mana semua itu akan berakhir riwayatnya—kertas, tisu, bungkus permen, puntung rokok, komputer, pakaian, dan sebagainya." Kerusakan di muka bumi telah tampak nyata dan semakin hari semakin memprihatinkan. Terutama masalah sampah yang menjadi masalah krusial dalam isu kerusakan lingkungan hidup. Dalam 5 tahun terakhir saja, volume sampah di Bandung bertambah rata-rata 41 % atau 462.430 m3 per tahun. Parahnya lagi, volume sampah yang diolah baru 10% dari total produksi sampah kota. Sedangkan setiap tahun volume sampah bertambah terus menerus. Setiap penduduk berpotensi menghasilkan sampah 3 liter per hari. Tak heran dengan jumlah penduduk sekitar 2,5 juta jiwa, beban sampah tahun 2005 mencapai 7500 m3 per hari. Ternyata sampah yang terkumpul dari rumah tangga, kemudian diangkut ke TPA, tidak serta merta menyelesaikan persoalan. Malah menimbulkan persoalan lain seperti kejadian fenomenal longsor di Leuwigajah. Tumpukan sampah menyebabkan gas metana yang berdekomposi menghasilkan panas yang sangat tinggi ketika ada tekanan udara dari atas, sementara bagian tumpukan sampah paling bawah mengandung bakteri anaerob yang tidak bisa bersenyawa dengan udara. Akibatnya, tekanan udara berbalik ke atas menghasilkan ledakan besar mirip bom berkekuatan tinggi. Perlu Kesadaran Kolektif Bermasalahnya pengelolaan sampah bukan sekedar karena keterbatasan teknologi dan ekonomi semata, melainkan lebih pada adanya masalah budaya; kebiasaan lama, perilaku dan pola pandang keliru terhadap sampah dan ini harus segera dikoreksi. Dewi Lestari berpendapat bahwa selama ini masyarakat tidak dididik untuk tahu—atau mau tahu—tentang dari mana benda-benda yang dikonsumsi berasal, berapa banyak sumber daya alam yang digunakan untuk memproduksi itu semua, dan ke mana semua itu akan berakhir riwayatnya—kertas, tisu, bungkus permen, puntung rokok, komputer, pakaian, dan sebagainya. Pelajaran Biologi, misalnya, mungkin sebagian relatif gagal karena tidak membuat murid bertanya mengapa petani cukup sering mengalami kekurangan pupuk, atau mengapa sumber air bersih di sekitar mereka sudah tak lagi jernih. Persoalan pelik tentang sampah ini, tidak melulu menjadi urusan pemerintah atau aktifis lingkungan saja. Sebagai contoh, di Kota Bandung saja, potensi sampah yang dihasilkan mencapai 3.677.377 meter kubik per hari,dan hanya 82 persen saja yang mampu diangkut oleh Dinas Kebersihan. Maka, perlu adanya kesadaran kolektif sinergis antara pemerintah, aktifis, pendidik dan masyarakat umum. Perlu adanya gerakan pengelolaan sampah yang benar, yang dimulai dari individu-individu dalam skala kecil. Mengubah Paradigma Masyarakat Dampak lingkungan di perkotaan cenderung tidak terdistribusi secara merata, baik secara sosial maupun geografis. Selama ini solusi permasalahan sampah masih menggunakan pola mengalihkan sampah ke tempat lain, atau sering disebut dengan NIMBY (Not In My Back Yard), fenomena ini melekat pada individu-individu yang tidak peduli pada lingkungan sekitar. Yang penting lingkungan saya bersih, sehat, tak peduli lingkungan sekitar mau bersih atau tidak. Gamblangnya, NIMBY sebagai masnifestasi sikap apriori dan ketidakpedulian terhadap lingkungan sekitar, asal saya sehat tak peduli orang lain sakit karena ulah saya. Asal lingkungan rumah saya bersih, tak peduli lingkungan tetagga kotor. Menyikapi hal ini, perlu adanya pengelolaan alternatif yang dapat dapat menuntaskan persoalan secara menyeluruh. Dalam hal ini alternatif landfill kurang tepat. Memang secara sepintas, metode landfill relatif mudah dilakukan dan bisa menampung sampah dalam jumlah besar. Akan tetapi, jika tidak dilakukan dengan benar, landfill dapat menimbulkan masalah, yaitu bau dan pencemaran air. Selain itu, gas metana yang dihasilkan oleh landfill yang tidak dimanfaatkan akan menyebabkan efek pemanasan global dan jika termampatkan di dalam tanah, gas metana bisa meledak. Solusi Alternatif Ideal? Solusi alternatif yang dipilih harus bisa menangani semua permasalahan pembuangan sampah dengan cara mendaur-ulang semua limbah dan menghasilkan nilai ekonomi bagi masyarakat. Pemilahan sampah organik dan anorganik untuk kemudian dikomposkan dan didaur-ulang dalam hal ini bisa dijadikan alternatif, meski tidak serta merta menyelesaikan permasalahan sampah secara singkat. Alternatif ini lebih baik daripada daripada membuang sampah ke sistem pembuangan limbah yang tercampur seperti yang ada saat ini. Sampah yang telah di daur ulang, kemudian dimanfaatkan oleh industri yang mendesain bahan produknya dari sampah yang didaur ulang. Bisa menghasilkan pupuk kompos, kerajinan dari bekas kemasan kopi, dan lain sebaginya. Pada akhirnya memperlakukan sampah dengan baik akan memberikan nilai positif. Selain mengedukasi masyarakat tentang bagaimana mengelola sampah yang benar, juga dapat menghasilkan nilai ekonomi yang tidak bisa dibilang sedikit. Hanya saja perlu adanya gerak aktif dan sinergis dari semua pihak untuk duduk bersama dan seiya sekata dalam menyelesaikan permsalahan sampah ini. Bila semuanya menyadari arti penting dan manfaat kebersihan lingkungan, maka membuang sampah sembarangan akan menjadi hal yang langka di Indonesia. Semoga. 7/20/2010 9:05:42 AM artikel ini terinspirasi oleh artikel kang Iden Wildensyah, Sampah dan Tanggung Jawab Individu. Miftah Nashir

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun