Keberagaman merupakan hal yang wajar kita temui sehari-hari. Ada yang bilang bahwa keberagaman merupakan hal yang baik untuk memperkaya pengetahuan, namun ada yang bilang juga keberagaman merupakan perwujudan bom waktu yang dapat meledak entah kapan terjadinya.Â
Jika kita ditanya, "Ingin memilih 2 hal yang banyak memiliki persamaan, atau kah memilih 2 hal yang saling bertolak belakang?". Dalam hal keberagaman, salah satu aspek ragam tersebut merupakan ragam cara berpikir yang cenderung konservatif/memiliki keterikatan kuat terhadap nilai-nilai dasar yang harus dijunjung tinggi, dan cara berpikir visioner yang tidak terlalu mempertimbangkan nilai-nilai dasar namun menjunjung tinggi progresivitas dan inovasi kegiatannya.
Dalam kehidupan kita, terutama saat terjun ke masyarakat dan berinteraksi dengan mereka, tentu 2 cara berpikir ini sangat mudah ditemukan, bahkan diri kita sendiri pun bisa menilai termasuk bagian yang mana. Dua hal ini jika dibenturkan dapat menjadi sebuah konflik, yang mana kita ketahui pada sejarah Indonesia adanya golongan tua yang cenderung kolot dan golongan muda yang berpikir visioner.Â
Kedua tipe ini dapat dimasukkan dalam konteks kasus tertentu walaupun secara umum dapat kita pahami bahwa keduanya di satu sisi tidak mengharapkan adanya perubahan namun di sisi yang lain sangat mengusung kemajuan dengan perubahan.
Dengan mempertimbangkan banyak konteks kasus diatas, kedua tipe ini baik kolot maupun reformis, sama-sama dibutuhkan dalam kondisi tertentu. Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang cenderung lebih dekat kepada kolotnya dibanding reformis baik dalam hal budaya dan agama.Â
Kata reformis jika disandingkan dengan kolotnya masyarakat Indonesia dapat kita pahami sebagai istilah liberalis yang pada penerapannya sangat mengusahakan kebebasan individual. Jika dalam organisasi, kita dapat memahami 2 tipe ini muncul saat ada pihak yang tidak ingin adanya perubahan (karena sudah turun temurun) di dalam organisasi itu baik itu sistem, kultur, maupun materi yang ada sedangkan tipe lainnya merupakan pihak yang selalu resah terhadap kondisi organisasi yang seharusnya dia pandang sebagai wadah dinamis yang bisa terus menyesuaikan zaman dengan segala perubahannya.Â
Diatas ditulis bahwa kedua tipe ini sebenarnya dibutuhkan untuk saling melengkapi. Masyarakat Indonesia menjadi cenderung kepada tipe kolot/konservatif didominasi oleh cara pandang agama dominan yang dianut yaitu Islam. Apakah menjadi hal yang salah disini? Jika kasusnya dibandingkan dengan pihak yang mengatakan bahwa Al-Quran tidak relevan dan harus menyesuaikan zaman, maka kaum konservatif disini sebagai kaum yang harus dipertahankan.Â
Sebenarnya dalam Islam sendiri tidak ada hal yang dipertentangkan. Karena dalam Islam terdapat beberapa tingkatan dari hal yang sudah pasti benar adanya seperti Al-Quran dan As-Sunnah yang meliputi tata cara beribadah, dll juga ada tingkatan ilmu fikih yang dalam hal ini bisa menyesuaikan konteks, misalnya orang berpuasa di pesawat bisa berbuka di waktu malam saat dia di pesawatnya bukan sesuai tempat dia berangkat, atau bolehnya berobat dengan hal najis jika sudah mendesak, dll.Â
Selain itu, beberapa kasus reformis yang berujung pada kebebasan individual sebenarnya dapat merusak tatanan norma masyarakat yang kental pada budaya Indonesia seperti gotong royong, silaturahim, dll. Ada pula cara berpikir kolot menghasilkan konsep patriarki terkait posisi pria dan wanita dalam praktek kehidupan.
Namun bagaimana jika kedua tipe berpikir tersebut diliaht dari contoh lain, seperti dalam organisasi? Jika dalam organisasi terdapat pihak yang sangat saklek dalam mempertahankan hal yang sifatnya turun temurun seperti sistem atau materi yang digunakan saat training namun disamping itu hal-hal yang dipertahankan ternyata tidak relevan dengan zaman terkait kebutuhan organisasi tersebut dalam mencapai visinya.Â
Maka pihak seperti ini harus memahami bahwa tidak semua perubahan memiliki dampak yang buruk. Hal ini dapat kita pelajari saat Nokia tergerus lalu kalah bersaing dengan produk lain dan membuatnya harus berpindah kepemilikan saham, karena saat itu Nokia enggan mengikuti perkembangan zaman.