Karya: Miftah Hilmy Afifah
***
"Hallo, kamu dimana sekarang?" Suara cowok di ujung telepon yang beberapa bulan terakhir ini sedang menampakkan ketertarikannya padaku. Yaa, walau selalu kuanggap angin lalu, namun dia masih saja terus mengejar-ngejarku.  Namanya Wendy, cowok yang kukenal dari media sosial. Aku mulai berteman dengannya sejak masa putih abu-abu. Terhitung tujuh tahun sudah lamanya. Selama itu pula aku belum pernah bertemu dengannya, dan hari ini jauh-jauh dari timur Indonesia, dia datang untuk  menemuiku sebagai bukti bahwa dia serius ingin menjalin kasih denganku.
"Aku masih di jalan. Lima menit lagi sampai kok. Tunggu aja". Jawabku sedikit malas. Bukannya apa-apa, Menjalin hubungan serius dengan orang jauh sama sekali tidak ada dalam kamus hidupku. Aku terlalu cinta dengan kotaku. Aku tidak  ingin meninggalkan kotaku. Dan, kalau bisa, aku berjodoh sama orang di kotaku ini saja. Pernah kusampaikan alasanku mengabaikannya, akan tetapi Wendy selalu berkilah yang membuatku tak bisa membantahnya.
"Kalau kita jodoh bagaimana?"
"Kalau jodohmu orang jauh bagaimana?"
"Nggak baik lho, menolak jodoh dari Tuhan."
"Nggak baik lho, menolak niat baik seseorang."
"Kalau ternyata jodoh kamu yang disiapkan oleh Tuhan adalah aku bagaimana?" Dan masih banyak lagi kilahnya.
Kulayangkan pandangan menyapu sejauh mata bisa menjangkau seluruh isi kafe yang menjadi tempat pertemuan kami. Sengaja tak kubiarkan Wendy langsung bertandang ke rumah, apalagi sampai berkenalan dengan kedua orang tuaku karena bagiku itu tak perlu. Berharap cukup sampai di sini, dan aku dan Wendy hanya sebatas berteman saja, tidak lebih. Setelah ini, kuharap Wendy mau mengerti dan tak mengejarku lagi. Sedikit kebohongan mungkin bisa membuatnya mundur perlahanatau bahkan berhenti berharap. Dan, semua sudah kupersiapkan dengan matang sejak semalam.
Seseorang melambaikan tangan padaku. Oh, ternyata itu dia orangnya. Tak jauh berbeda dengan apa yang biasa kulihat di layar. Sekali pun hanya berinteraksi jarak jauh, akan tetapi waktu dua puluh empat jam seolah tak cukup. Dari panggilan video, beralih ke panggilan suara, beralih lagi ke pesan singkat, lalu kembali lagi ke panggilan video, dan terus berada pada siklus tersebut saban harinya. Bahkan baju dan celana yang akan dikenakan hari itu, wajib melalui perdebatan kecil yang intinya aku harus memakai baju yang dibolehkan Wendy baik itu dari warna, gaya, sampai  dengan bahannya, dan begitu juga sebaliknya.