Karya: Miftah Hilmy Afifah
   Cerita ini bermula dari masa kecilku dulu. Beberapa tahun silam, ketika aku sangat benci dengan nama yang diberikan ibu padaku, yang sialnya nama itu sama sekali tak mencerminkan kepribadianku maupun kesukaanku. Seandainya aku bisa bicara sewaktu ibu memberikan nama itu, aku pasti akan menolak dengan keras nama itu. Ya, aku mengerti nama adalah Do'a. Tapi seharusnya ibu juga melihat apakah nama itu cocok atau tidak dengan orangnya. Jangan hanya memihak pada diri sendiri yang menginginkannya. Akan tetapi, kembali lagi. Aku belum tahu apa-apa kala itu. Selain menangis dan terus menangis, lalu siang malam tak henti membuat ibu kerepotan mengurusku.
   Namaku Hujan Hijau. Nama yang aneh, bukan? Ibu bilang, aku lahir ketika hujan tengah sibuk mengguyur kota, membawa kesejukan, ketenangan, kebahagiaan bagi perindunya. Dan hijau adalah simbol dari semuanya. Ibuku adalah pecinta hujan dan warna hijau sejak lama dan bercita-cita memberikan nama itu pada anaknya kelak. Menurutnya warna hijau juga simbol ketenangan, kesejukan, kebahagiaan, dan kesegaran.  Persis seperti hujan. Dengan itu ibu berharap aku bisa seperti hujan dan hijau. Ya, Hujan Hijau bukan berarti hujannya berwarna hijau ya. Hujan hijau adalah dua hal yang tidak dapat disatukan, tetapi memiliki arti yang sejalan.
   Sementara itu, aku sama sekali bukan pecinta hujan. Aku tidak suka hujan karena membuat jalanan becek. Apalagi rumahku yang dekat sungai, selalu kemasukan banjir bila hujan datang. Tak jarang aku menggerutu dan mood-ku seketika memburuk kala hujan turun. Selain itu  aku juga tidak suka warna hijau. Hijau adalah warna kebun dan sawah. Menurutku itu sangat kuno. Belum lagi penampakan gundoruwo, buto ijo, dan beberapa jenis makhluk menyeramkan lainnya yang biasa kulihat di komik maupun televisi juga selalu ada warna hijaunya. Sungguh, itu menjijikkan dan aku tak suka. Warna kesukaanku adalah kuning. Kuning adalah lambang keceriaan, kehangatan, perhatian, dan enerjik. Sesuai dengan perawakanku selama ini. Seandainya ibu memberiku nama Putri Kuning, aku  pasti sangat senang.
   Beberapa teman-temanku yang suka usil di sekolah juga kerap meledekku dengan pura-pura berlari bila melihat kehadiranku sambil berteriak...
"Awaaaaaas! Ada hujaaaaaan! Hujannya warna hijau pula, ahahahahaha. Ayooo angkat jemuran, nanti kehujanan alias dicolong sama si Hujan hihihihihi". Dan itu cukup membuatku dongkol setengah mati.
   Semenjak saat itu, ketika umurku menginjak dua belas tahun, aku membuat peraturan sendiri bahwa aku tak ingin dipanggil Hujan lagi. Aku mengatakan pada Ayah dan Ibu bahwa namaku adalah Putri. Jika ada yang memanggilku hujan, aku takkan pernah mau menyahut. Begitu juga kukatakan pada teman-temanku di sekolah. Ketika ada yang bertanya kenapa? Maka jawabanku tak lain karena namaku jelek dan aku tak suka. Pernah kusampaikan alasan tersebut pada ibu yang kemudian tertegun setelah mendengarnya. Entah ia tersinggung atau tidak, yang jelas keputusanku sudah bulat. Aku tidak ingin dipanggil Hujan lagi! Titik.
   Beberapa bulan kemudian, aku lulus sekolah dasar dan melanjutkan ke sekolah menengah pertama yang jaraknya lumayan jauh dari rumahku. Ya, setidaknya butuh waktu dua puluh menit diperjalanan untuk sampai ke sekolah. Lingkungan sekolah baru, teman-teman baru, guru-guru baru, dan suasana baru membuatku harus beradaptasi dengan itu semua. Tak lupa dengan nama baruku. Ya, ketika aku mendapat kenalan baru, nama yang kuucapkan adalah Putri. Saat memperkenalkan diri di muka kelas, aku akan mengatakan...
"Hai, teman-teman! Perkenalkan namaku Hujan Hijau. Biasa dipanggil Putri. Umurku dua belas tahun. Aku adalah anak tunggal. Hobiku bernyanyi. Cita-citaku ingin menjadi penyanyi yang terkenal, memiliki suara emas, wajah indah nan rupawan, dan namanya bersinar di seluruh penjuru dunia. Senang berkenalan dengan kalian semua!" Begitulah caraku memperkenalkan diri di kelas. Ya, terdengar lebay sih, tapi itulah aku.
   Sempat ada yang bertanya, mengapa panggilanku Putri, sedangkan di nama lengkapnya tidak ada kata Putri. Aku hanya menjawab tak mengerti juga. Sebab, sejak kecil aku dipanggil Putri, jadi terbiasa dengan panggilan itu deh, begitu kataku.
   Dalam beberapa kesempatan, barangkali aku yang sudah terbiasa disapa Putri, ketika Ayah atau Ibu tak sengaja memanggilku Hujan, aku malah celingak-celinguk menatap ke langit mencari tanda-tanda hujan. Karena jika mereka sudah berseru seperti itu, biasanya menyuruhku untuk mengangkut jemuran. Tapi sebenarnya bukan itu maksudnya, melainkan mereka tengah memanggilku untuk datang. Sejak saat itu, hingga kini aku sudah tetap dengan panggilan Putri itu. Semua akun media sosialku menggunakan nama Putri. Tak sedikit pun kuberi kata hujan dan hijau di sana. Biasanya nama Putri itu kusandingkan dengan nama-nama yang menurutku keren dan gaul.