Pemanasan global menjadi isu yang semakin mendesak untuk ditangani. Dampaknya terasa di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Perubahan iklim yang drastis akibat pemanasan global telah menyebabkan berbagai konsekuensi serius di berbagai sektor kehidupan, termasuk lingkungan, sosial, dan ekonomi. Hewan, tanaman, dan manusia menjadi korban akibat pemanasan global.
Kondisi pemanasan global ini sungguh menghawatirkan. Tanda-tandanya pun mulai terasa, seperti iklim yang mulai menghangat. Pada tahun 2022, suhu permukaan bumi naik 0.98 derajat Celcius dibanding suhu rata-rata tahunan periode 1951-1980. Pada tahun 2023 suhu rata-rata permukaan daratan dan lautan adalah 1,18 derajat Celsius lebih tinggi dibanding suhu abad ke-20, menurut Laporan Suhu Global 2023, NASA dan NOAA.
Salah satu penyebab pemanasan global yang paling terasa adalah menghangatnya suhu akibat aktivitas manusia yang terus memompa gas rumah kaca dalam jumlah yang besar ke atmosfer. Aktivitas seperti pembakaran bahan bakar fosil untuk industri, transportasi, dan pembangkit listrik, serta kegiatan pertanian dan peternakan, menghasilkan emisi gas rumah kaca yang tinggi. Gas rumah kaca, seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrogen oksida (N2O), memiliki kemampuan unik yaitu mampu untuk menyerap dan mempertahankan panas di atmosfer. Ketika konsentrasi gas-gas ini meningkat, mereka menciptakan lapisan yang menghalangi sebagian panas yang dipantulkan dari permukaan bumi untuk kembali keluar ke luar angkasa, sehingga panas tersebut terperangkap di dalam atmosfer. Akumulasi panas ini kemudian menyebabkan suhu global meningkat secara bertahap, yang berdampak pada perubahan iklim yang ekstrem, mencairnya es di kutub, naiknya permukaan air laut, serta berbagai masalah lingkungan dan ekosistem lainnya.
Kemarau panjang memicu fenomena El Nino. El Nino merupakan kondisi peningkatan suhu akibat suhu air laut di Samudra Pasifik memanas di atas rata-rata suhu normal. Akibatnya, curah hujan yang berkurang di musim hujan dan berdampak pada musim kemarau berkepanjangan. Fenomena ini berdampak pada perubahan pola cuaca di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Sebagai negara yang melintasi garis khatulistiwa, Indonesia menjadi salah satu negara yang rentan terhadap dampak dari fenomena El Nino. Ketika terjadi El Nino, monitoring dan pemantauan cuaca dan iklim menjadi penting untuk memberikan peringatan dini terkait kemungkinan kemarau panjang. Apabila tidak ada tindakan pencegahan yang dilakukan, konsekuensi dari musim kemarau yang berkepanjangan seperti potensi terjadinya kebakaran hutan dan lahan menjadi ancaman yang nyata.
Peningkatan suhu global dan perubahan pola iklim menyebabkan cuaca menjadi semakin sulit diprediksi dan ekstrem di banyak daerah, termasuk di Jawa Barat. Bencana alam seperti hujan lebat, tanah longsor, banjir, dan angin kencang menerjang provinsi Jawa Barat sehingga menyebabkan provinsi ini menjadi provinsi dengan tingkat cuaca ekstrim tertinggi. Kondisi ini tidak hanya berdampak pada lingkungan dan infrastruktur, tetapi juga mempengaruhi kehidupan masyarakat, terutama di daerah-daerah yang rawan bencana. Dampak yang mulai terasa adalah perubahan pola cuaca yang tidak terduga. Penyimpangan cuaca seperti curah hujan yang tidak merata, periode kekeringan yang panjang, dan intensitas suhu yang ekstrem menjadi masalah yang harus dihadapi oleh masyarakat Jawa Barat. Jawa Barat jadi provinsi yang paling sering dilanda cuaca ekstrem di tahun 2023 dengan total 478 kejadian. Disusul dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan masing-masing 206 dan 122 kejadian.
Pemanasan global juga mempengaruhi sektor pertanian di Jawa Barat. Curah hujan yang tidak merata dan periode kekeringan yang panjang membuat petani menghadapi tantangan dalam mengelola lahan pertanian mereka. Produksi tanaman menjadi terganggu, mengakibatkan penurunan produktivitas dan kualitas hasil panen. Selain berpengaruh di sektor pertanian, hal ini juga berpengaruh di sektor ekonomi masyarakat Jawa Barat yang tidak bisa menjual hasil pertanian mereka. Tidak hanya itu, dampak pemanasan global terhadap lingkungan juga terlihat pada ketersediaan air bersih di Jawa Barat. Perubahan pola hujan menyebabkan penurunan ketersediaan air tanah, sungai, dan danau. Masyarakat Jawa Barat di beberapa daerah harus menghadapi krisis air bersih yang serius, terutama selama musim kemarau yang panjang.
Langkah pemerintah Jawa Barat untuk mengurangi dampak pemanasan global dengan berusaha menekan angka produksi gas rumah kaca, yang menjadi salah satu faktor penyebab pemanasan global. Upaya ini dilakukan di berbagai sektor prioritas, seperti penggunaan energi, kehutanan, limbah, pertanian dan transportasi. Masyarakat juga harus ikut berperan dalam mendukung pengurangan gas rumah kaca. Lingkungan dan berbagai sektor kehidupan akan kembali berjalan dengan baik apabila pengurangan gas rumah kaca berhasil dilakukan.
Di tahun 2021, Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat (Pemdaprov Jabar) menyusun strategi agar angka produksi gas rumah kaca di Jawa Barat menurun melalui penetapan persentase target penurunan di berbagai sektor. Sektor energi dan limbah menjadi dua sektor yang belum mencapai target. Pada sektor energi memerlukan 3,23 persen lagi untuk mencapai target. Sektor limbah angka target dan capaian masih terpaut jauh, yaitu 11,4 persen.
Sebagai masyarakat, kita bisa ikut ambil peran dalam menghadapi tantangan global. Mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, mengadopsi pola hidup yang lebih ramah lingkungan, dan mendukung program-program lingkungan menjadi tanggung jawab kita bersama. Meskipun mungkin terlihat kecil, tindakan ini dapat memiliki dampak positif jika dilakukan secara kolektif. Keberlanjutan hidup kita di bumi tergantung bagaimana kita memperilakukan bumi kita.
Berbagai tindakan yang bisa kita lakukan sebagai langkah awal mengurangi pemanasan global adalah:
1. Hemat listrik: Matikan peralatan elektronik ketika tidak digunakan, gunakan lampu hemat energi atau lampu LED, dan hindari penggunaan alat elektronik yang tidak perlu;