Mohon tunggu...
Miftahudin S.Pd.,M.Si.
Miftahudin S.Pd.,M.Si. Mohon Tunggu... -

Guru matematika di SMP negeri 10 Semarang, jl Menteri Supeno No 1 Semarang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Belajar Menggunakan Barang Bekas, Mungkinkah?

24 Agustus 2013   14:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:53 924
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

SMP Negeri 10 Semarang terletak di Jl. Menteri Supeno No 1 Semarang adalah sekolah yang tidak begitu terkenal. SMP Negeri 10 Semarang letaknya di tengah kota dekat simpang lima akan tetapi akses angkutan kurang baik. Para siswa harus berjalan kurang lebih 300 m dengan tanjakan yang cukup tinggi untuk mencapai sekolah. Dengan kondisi seperti ini, sangat jarang siswa yang menentukan pilihan pertama untuk mendaftar di SMP N 10 Semarang. Padahal kalau dicermati dan dilihat sebetulnya SMP N 10 Semarang adalah sekolah dengan kondisi lingkungan yang sangat baik untuk belajar. lokasi yang tinggi dan jauh dari jalan besar membuat suasana sejuk dan jauh dari keramaian. Terbukti pada tahun 2011 SMP negeri 1o Semarang berhasil menjadi juara 1 lomba sekolah sehat tingkat Karesidenan. Prestasi siswa non akademik adalah menjadi juara umum pencak silat tingkat provinsi Jawa Tengah. Adapun prestasi akademik siswa masih belum begitu menonjol. Dari 40 sekolah negeri di kota Semarang, SMP Negeri 10 Semarang pada peringkat ke-26 berdasarkan hasil UN tahun 2012/2013. Padahal Input rata-rata UN SD pada peringkat 38 dari 40 sekolah negeri. Hal ini menandakan terjadinya proses pembelajaran yang sangat luar biasa. Walaupun penulis menyadari bahwa kelulusan UN bukan merupakan satu-satunya tolok ukur keberhasilan sekolah dalam melakukan proses pembelajaran.

Hampir setiap tahun nilai rata-rata matematika selalu yang terbawah di antara mata pelajaran yang lain. Menurut pengamatan penulis hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain : (1) anggapan dari siswa bahwa matematika itu susah, (2) siswa takut, tegang atau bosan dalam belajar matematika, (3) mata pelajaran matematika kurang menarik, jarang sekali dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari, (4) guru belum maksimal dalam memanfaatkan model pembelajaran, (5)kurang memanfaatkan media pembelajaran dalam melakukan proses pembelajaran. Dari permasalahan di atas, penulis khawatir apabila tidak segera dipecahkan akan berdampak terus menurunnya prestasi matematika.

Penulis melakukan observasi terhadap beberapa siswa mengenai pembelajaran matematika di kelas. hampir seluruh siswa yang diobservasi memberikan pendapat bahwa matematika itu memang susah, tidak menarik dan hal yang menakutkan. Penulis juga mengamati bahwa kebanyakan guru kurang memanfaatkan alat peraga dalam proses pembelajaran. Alasannya sangat beragam, seperti sekolah tidak mau menyediakan alat peraga, alat peraga yang ada sudah rusak dan lain-lain. Penulis beranggapan sebenarnya itu hanyalah sebagai alasan klasik dari guru yang memang tidak ingin menggunakan alat peraga yang ada. Padahal alat peraga sebenarnya dapat dibuat sendiri oleh para siswa.

Muncul ide dari penulis ketika sedang membeli buah bersama-sama rekan guru untuk menjenguk teman yang sedang sakit. Di bawah tempat minuman banyak berserakan tutup botol yang tidak terpakai. sayang sekali kalau tutup botol itu harus dibuang. Andai saja dapat dimanfaatkan untuk proses pembelajaran. Tanpa berpikir panjang penulis langsung mohon ijin untuk meminta tutup botol yang berserakan. Pada malam hari berpikir dan muncullah ide tutup botol itu akan digunakan sebagai alat peraga dalam pembelajaran matematika.

Dengan bantuan para siswa akhirnya tutup botol yang berserakan dapat digunakan untuk alat peraga dalam pembelajaran matematika, seperti menjelaskan konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat, mencari KPK dan FPB. Siswa dalam membuat peraga begitu senang. Kebiasaan siswa belajar selalu di kelas rupanya membuat jenuh siswa dalam belajar. Ketika siswa diajak keluar mengerjakan tugas dalam pembuatan alat peraga begitu gembira. Mereka dapat tersenyum, sesekali bercanda dalam mengerjakan tugas, seakan lupa akan pendapat mereka bahwa matematika itu susah. Dalam menggunakan alat peraga dari barang bekas ini pun dibuat sebuah permainan. Alhasil para siswa bermain sambil belajar. Konsep matematika yang bisanya susah dipahami oleh siswapun menjadi begitu mudah.

Penulis tidak berhenti sampai disini, kembali mencari barang bekas yang dapat dipergunakan untuk proses pembelajaran. Hasilnya penulis menggunakan kartu voucher yang tidak terpakai untuk digunakan sebagai alat peraga pada materi persamaan dan pertidaksamaan linier satu variabel. Dengan penelitian tindakan kelas yang dilakukan, terbukti bahwa penggunaan alat peraga dapat meningkatkan keaktifan, kemandirian dan hasil belajar siswa. Alat peraga yang dibuat sendiri oleh siswa ternyata lebih disukai. Disamping dapat meningkatkan kreativitas siswa, juga dapat meningkatkan karakter siswa. Berdasarkan pengalaman juga diperoleh bahwa ide siswa dalam membuat dan memodifikasi alat peraga ternyata di luar dugaan guru. penulis pernah terkejut dengan hasil karya sebuah kelompok yang dapat memodifikasi alat peraga menjadi lebih baik dari yang dibuat oleh guru. Dalam hal ini berarti guru telah memberikan inspirasi dan meningkatkan kreativitas para siswa.

Dengan model pembelajaran yang bervariasi dan penggunaan alat peraga dari barang bekas dan dibuat sendiri oleh para siswa, pembelajaran matematika menjadi menyenangkan. Siswa secara perlahan tidak takut dengan matematika. Siswa dan guru berusahan senantiasa mengkaitkan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari. Setiap selesai pembelajaran selalu berusaha memikirkan apa manfaatnya untuk kehidupan sehari-hari. Siswa bersama guru juga senantiasa mencari barang bekas apa di sekitar yang dapat digunakan untuk proses pembelajaran.

Dengan peningkatan motivasi para siswa dalam belajar dan kemauan guru memotivasi siswa untuk berpikir kreatif, hasilnya begitu membanggakan. Nilai matematika para siswa yang tuntas meningkat sangat signifikan. Dari data yang diperoleh, awalnya jumlah siswa yang tuntas di bawah 50% meningkat di atas 70%. Rata-rata nilai Ujian Nasional matematika yang biasanya menempati urutan ke-4 setelah Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan IPA, menjadi diurutan ke-2 setelah Bahasa Indonesia. Penulis menyadari Penggunaan alat peraga menggunakan barang bekas bukan merupakan satu-satunya kunci kesuksesan siswa meraih prestasi belajar matematika. Akan tetapi dampak dari proses pembuatan alat peraga itulah yang berpengaruh. Misalnya psikologi anak dan pola pikir siswa yang mulai bergeser. Matematika ternyata adalah mata pelajaran yang menyenangkan. Matematika itu ternyata dapat dipelajari sambil bermain. Matematika itu ternyata dapat dikaitkan di kehidupan sehari-hari. Ternyata matematika penting dan asik untuk dipelajari. Matematika dapat memanfaatkan sesuatu yang bekas untuk belajar.

Miftahudin Nomor 74

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun