Gundah, aku ingin bercerita perihal resah yang kian menghujani nalarku. Aku lelah sedari tadi dibelenggu olehnya. Kali ini aku ingin berbagi cerita padamu, gundah. Cerita yang mungkin tak bisa dicerna oleh nuraniku. Atau pula tak bisa diwajarkan oleh mentalku. Mungkin kepadamu, resahku ini akan terpelihara.
" ingin menceritakan perhal apa?" tanyamu lirih seakan ingin melepas semua nestapa yang tengah membelengguku.
Gundah kamu tampaknya pula lelah. Barangkali terlalu sibuk dengan urusanmu menceramahi amygdalaku, hingga berhasil meninabobokannya untuk sejenak. Lalu akhirnya kamu yang bertengger mengatur semua sistem kerja otakku. Kamu terlalu sibuk hari ini, gundah. Sibuk menetap dan berselancar pada nalarku. Itulah alasannya, mengapa aku percaya, barangkali hari ini kamulah yang paling handal memaklumi resahku.
"Jadi begini, dari tadi nalarku terus dihujani ribuan pertanyaan yang tentu kian menenggelamkanku pada sebuah keresahan. Bukankah, setiap jiwa yang berkesempatan melukis warna didunia memiliki batasan untuk tetap berwarna? Bukankah batasan itu tidak mengenal usia, gender, maupun kasta? Kenapa waktu tak pernah memandang perlu? Perlu untuk memperbaiki kesalahan yang bertengger di masalalu. Itu-itu saja yang mengitari amygdalaku sedari tadi." Tankasku menyudahi jawaban pertanyaan gundah.
 Sembari menyeduh pertanyaanku yang tengah hangat-hangatnya itu. aku mencoba merebahkan tubuh kepada si pemilik semesta mimpi. Mengingat-ngingat perihal kebaikan-kebaikan apa yang telah aku persiapkan untuk kelak kupresentasikan di hadapan tuhan. Ternyata belum ada, betul belum ada. Aku menyesali diriku yang kian tumbuh tanpa dipupuk oleh kebaikan-kebaikan itu. Sebaliknya aku mendewasa karena terpupuk oleh jutaan dosa yang berwarna.
Dosa yang melupakan aku, kepada janji yang pernah kusematkan pada sang pencipta. Benar aku telah melupakanya. Aku terlalu asyik tenggelam pada nuansa jahanam, tanpa sesekali mengingat pedihnya rasa saat dirajam.
"Gundah aku ingin kembali, pada apa-apa yang membuatku kembali suci. Aku malu pada tuhan, aku malu pada kebaikan yang seringkali kuanggap tiada. Gundah, masih adakah kesempatan untukku berdamai pada kebenaran? Kali ini aku betul-betul tersambar kenyataan. Kenyataan perihal maut yang tak ingin memandang kasta. Aku yang terlahir sebagai putri raja, juga pasti akan diselimuti tanah. Aku yang kini berbalut brand ternama, juga kelak akan terbalut kain sedehana." Jelasku pada gundah.
Dunia kemarin sepertinya memeluku begitu erat pada kenikmatan sekejap, yang kusadari itu tak berlangsung lama. Hingga melupakanku untuk sadar bahwa tiap-tiap dari kita, adalah utusan yang memiliki batas andilnya sendiri-sendiri perihal melukis warna pada semesta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H