Sungguh tidak mudah menjadi perantau di tengah musibah virus corona/ covid 19 yang belum kunjung terdeteksi kapan berakhir. Saya mengalami kerisauhan yang teramat mencekam, jauh dari kampung halaman dan terpaksa tetap bekerja di situasi penuh ketidakpastian di kota Solo, kota yang tercatat  berstatus zona merah persebaran virus corono atau covid 19.Â
Anjuran agar #stayathome, #dirumahaja, #workfromhome, #kerjadarirumah sungguh sangat menggiurkan bagi saya. Anjuran yang terlalu mewah untuk orang-orang kecil seperti saya.Â
Kata pepatah Jawa "Ora obah, ora mamah" (tidak bergerak/bekerja, tidak bisa makan). Begitulah nasib orang-orang kecil, berpenghasilan kecil pula. Gaji sebulan hanya bisa mencukupi kebutuhan bulan itu juga, terkadang malah kurang.Â
Harus pintar menyisihkan sebagian penghasilan. Sehari saja tidak bekerja bakal merusak rantai kebutuhan kehidupan.
Ingin sekali saya tinggal di rumah saja, tidak ke mana-mana, menghabiskan waktu bersama orang tua dan keluarga. Bagi saya, di rumah saja tak bakal menyelesaikan persoalan, perut harus diisi.Â
Dompet juga harus dipertebal menjelang lebaran, agar mampu menyisihkan uang saku untuk keponakan dan orang tua.
Kerja dari rumah tidak berlaku bagi saya, seorang karyawan rumah makan sederhana, sesederhana upahnya. Sejak sekolah dan kampus diliburkan, serta kantor-kantor mulai merumahkan karyawannya, warung tempat kami bekerja sepi pembeli.Â
Jika sehari biasa melayani kurang lebih 100 pembeli, gara-gara corona tak lebih 10 orang yang datang. Penjualan via aplikasi online juga nyaris tak membantu. Sepinya minta ampun.Â
Saya harus sering mengencangkan ikat pinggang karena karyawan sering diliburkan untuk menekan ongkos produksi. Saya pernah diliburkan selama seminggu. Makan sehari sekali terpaksa dilakukan rangka bertahan hidup.Â
Gaji yang tak seberapa sudah habis sebelum kembali bekerja, sedang di kantong hanya tersisa beberapa lembar uang ribuan. Mendekam dan menahan lapar di indekos adalah pilihan yang sungguh menyedihkan. Saya merasakan nuansa puasa sebelum Ramadan tiba.Â
Malu sebenarnya menuliskan kisah ini. Saya tak terbiasa mengeluh dan mengumbarnya. Seakan menjadi orang tak berguna dan patut dikasihani. Saya jarang mengeluh, termasuk kepada orang terdekat sekalipun, apalagi kepada orang tua.Â