Lelaki bermata merah layu menahan kantuk. Ia mendapat jatah piket redaksi. Sigit nama lelaki itu. Ia tampak kegerahan sembari memandang layar komputer di ruang redaksi harian Garda Metro, sebuah koran nasional yang mempunyai anak cabang di kota ini. Ternyat deadline hari Sabtu membuatnya tak bisa konsentrasi penuh. Ia dikejar waktu menyelesaikan feature edisi minggu, mendapat tugas menulis artikel rubrik Budaya dan Humanioria. Semestinya ia mempunyai waktu yang leluasa untuk mengatur jam menulis karena rubrik itu terbit di hari Minggu. Ide kreatifitasnya  terpacu justru ketika mendekati deadline.
Sigit Ardian menyiapkan sebuah tulisan tentang pementasan teater monolog yang semalam ditonton di Taman Budaya. Putu Wijaya, seniman senior menjadi aktor tunggal pementasan malam itu. Sigit berhasil bertemu langsung dengan Putu Wijaya dan melakukan wawancara eksklusif yanf akan dimuat di rubrik Tiang Budaya. Pikirannya mulai mengkerut. Pekerjaan menulis memang membutuhkan konsentrasi penuh. Ia memilih membekukan isi otak, mencoba mengendapkan ingatan lalu menyaring menjadi sebuah tulisan.
Menjadi wartawan bukanlah pilihan utama bagi Sigit. Awalnya ia hanya menyukai sastra dan memulai menjadi penulis lepas dengan mengirim puisi dan cerpen ke berbagai media. Wintarto, seorang novelis yang juga redaktur sastra Garda Metro memberitahu kalau korannya membutuhkan wartawan budaya. Mungkin inilah saat ijasah S1 miliknya berfungsi.
Ia membuka folder MyFiles, folder yang berisi foto Dyah, seorang gadis yang diam-diam sering berdiri mematung sambil menajamkan pandangan tepat ke arah kantor Garda Metro. Wajahnya yang ayu di suatu pagi memaksa Sigit untuk mengabadikan dengan kamera  DSLR. Sudah seminggu ini gadis di seberang jalan itu menatap kosong. Kata Hendrajaya, rekan wartawan sekantor, perempuan itu kelahiran Wonogiri dan bekerja di warung kelontong. Hendra yang memberi tahu tentang nama perempuan berkulit putih itu. Sempat terbersit khayalan nyeleneh, memacari Dyah, mengajaknya nonton teater di taman Budaya atau menonton wayang orang di Gedung kesenian. Ah, gadis sekarang mana suka dengan tontonan yang bernilai seni tinggi itu, atau tontonan yang ketinggalan Zaman? Tapi Sigit bisa juga mengajaknya menonton konser musik, Slank, Ungu, Dewa yang juga sering mampir ngamen di kota ini.
Dua hari lalu Sigit sempat mampir ke warung itu. Saat itu Dyah memang tampak gelisah. Apa benar kata Hendra, kalau Dyah memperhatikanku? Gadis berwajah sendu itu tampak memerah kedua pipinya ketika menyadari Sigit memperhatikan wajahnya.
Gila, benar-benar gila. Tulisan yang seharusnya hari ini jadi, lalu tinggal diemail ke redaktur dengan dilampiri beberapa foto tak diselesaikannya. Ia hanya mengirim pesan ke redaktur kalau 4 jam sebelum deadline tulisannya baru dikirim.
***
"Kau suka gadis itu?" tuduh Hendra siang itu di kantor.
"Su-ka?"
"Layar komputer itu sudah jadi buktinya."
Sigit tak bisa mengelak. Ia baru saja menjadikan foto Dyah sebagai wallpaper layar desktop komputer.
"Lihat di seberang sana! Gadis itu sedang menatap ke arahmu," ujar Hendra. Dia si angsa betina yang tak tahu bagaimana cara menyeberangi sungai untuk menemuimu. Lihatlah tatapan matanya yang kau tangkap dengan kameramu."
"Dia hanya seorang penjaga toko"