Ini tempat terbaik yang pernah kusinggahi/Â Hawanya mengingatkanku pada kebahagiaan/ Yang aku kasihi berada di kota ini/Â Harumnya selalu memanggilku untuk pulang/Â Hidup begitu ringan terasa saat ku di sini/Â Lepas penatku dalam pelukan kota Solo
(Rindu Solo -Elizabeth Sudira)
Sejak tahun 2003 hingga sekarang (2020) saya singgah di Solo, singgah tapi betah. Kurang lebih tujuh belas tahun saya berada di kota ini, meninggalkan kampung halaman di Grobogan untuk bersekolah, kuliah, hingga kini mencari penghidupan.
Saya merasa nyaman dengan suasana Solo, kota yang dikenal sebagai pusat kerajaan dan budaya Jawa. Keberagaman terjalin harmoni di Solo. Suku Jawa, entis Tionghoa, Arab, dan etnis lainnya hidup rukun di kota ini.Â
Meski sejarah kelam pernah terjadi, kerusuhan rasial di masa lalu. Begitupun stigma negatif sarang teroris yang menyesakkan dada. Itu hanyalah oknum, bukan mencerminkan kerukunan warga Solo seutuhnya.Â
Jika ada oknum yang masih antipati terhadap etnis tertentu, jangan dijadikan gambaran betapa harmoni warga Solo. Tak adil jika di era sekarang kita masih berpegang teguh pada peribahasa "karena nila setitik, rusak susu sebelanga". Kota Solo bukan susu, Solo adalah bunga. Nila setitik tentu takkan merusak harum bunga sekeranjang.
Ragam atraksi budaya dan wisata menyambut Tahun Baru Imlek 2571 di Solo. Satu hal yang menjadi perhatian saya adalah kemeriahan hari raya Imlek yang diperingati oleh etnis Tionghoa setiap tahun yang turut memikat warga Solo. Mereka membaur.Â
Wartawan senior Detik Muchus Budi R. (2017) menyebutkan tidak ada yang mempersoalkan keyakinan, warna kulit, asal etnis, usia, maupun strata sosial.Â
Semua menyambut Imlek sebagai peristiwa budaya milik seluruh warga kota. Â Semua berbaur, tak hanya yang Tionghoa, namun juga warga Jawa dan warga Solo dari berbagai etnis lainnya.