Mohon tunggu...
miftachul huda
miftachul huda Mohon Tunggu... Freelancer - rajin pangkal pandir

setiap kita merasa paling benar..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Musim Hujan dan Cerita Kemunculan Ular-ular Itu

5 Januari 2021   16:41 Diperbarui: 5 Januari 2021   17:08 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Intensitas perjumpaan saya dengan ular makin intim saat musim hujan tiba. Kadang saya harus berhenti cukup lama karena seluruh lebar ruas jalan yang saya lalui sedang dilewati ular. Saya pun harus menunggu sampai ular itu benar-benar lewat. Namun tak jarang juga harus ada korban saat roda motor saya terpaksa menggilas ekornya.

***
Syahdan 2016 lalu, di bawah rintik hujan bulan Desember, saya pulang seperti biasa sekitar pukul 01.30 Wita dari kantor. Pekerjaan saya sebagai editor di Pulau Dewata, Bali mengharuskan saya berangkat pukul 16.00 Wita dan pulang pukul 01.00 bahkan lebih.

Ya, pekerjaan lebih banyak saya habiskan di malam hari karena profesi ini menuntut produk dari editan saya harus siap didistribusikan ke daerah-daerah, mulai dini hari hingga subuh berkumandang, atau setidaknya sebelum ayam jantan berkokok harus tuntas.

Pekerjaan yang sudah mirip cerita Roro Jonggrang ini saya tekuni enam tahun lamanya--, kesetiaan saya dengan profesi ini harus saya pungkasi sejak awal 2019 lalu.

Pada musim-musim hujan itu, hujan lebih suka turun pada malam hari dan terus memberondong rintikan hingga pagi buta. Celakanya lagi itu adalah jam-jam saya pulang kerja dan itu juga jam-jam ular (barangkali) mencari 'kehangatan' setelah seharian basah oleh hujan pikir saya.

Oh ya, rumah tempat saya tinggali ini perumahan di wilayah Tabanan, Bali atau sekitar 20 kilometer dari tempat saya bekerja di Gianyar. Pengembang cukup berani dengan membuat perumahan yang diapit oleh tebing, yang terdapat aliran sungai. Radius dengan pemukiman sebelumnya cukup jauh, kondisi ideal berbagai satwa berkembang biak. Jarak dari jalan raya besar menuju rumah saya harus saya tempuh lagi sepanjang sekitar 400 meter.

Saat memasuki jalan ini laju motor yang saya bawa tentunya lebih lambat karena bukan jalan nasional, tapi jalan menuju perumahan yang lebarnya lima sampai enam meter. Di kanan kiri sepanjang jalur ini dulu hanya ada satu, dua rumah, sisanya adalah sawah, dan kebun yang banyak ditumbuhi rumput liar dan pohon-pohon besar.

Hari itu adalah bulan-bulan pertama saya pindahan. Setelah melaju belasan hingga puluhan meter tak ada apapun yang menghalangi jalan.

Namun betapa terkejutnya, di bawah lampu penerang jalan saya melihat ular hitam melingkar di bawah tiang lampu. Sontak reflek kaki saya angkat meski jarak dengan ular masih terpaut sekitar setengah meter. Belum reda 'prank' dari ular tadi, di depan lagi ada ular yang tengah melintang.

Alih-alih mencoba tenang justru saya panik, seketika motor saya belokkan ke arah trotoar dan... tak mengenai ular.  Jantung masih dagdigdug disusul nyaring suara kodok saling bersaing.

Perjalanan masih cukup jauh, agak gelap dan basah, dan lagi-lagi ada kilatan pantulan kulit ular dari sorot lampu motor kembali mengejutkan saya. Kali ini bahkan ukurannya lebih besar. Mencoba untuk mengerem, justru tangan ini maunya ngegas terus, dann gresss... suara dari roda motor saya mengenai ular.

Saya makin panik, kali ini motor saya masih berjarak sekitar 100 meter lagi masuk ke komplek perumahan, rintik hujan masih terus turun. Saya melirik ke arah kanan kiri lagi-lagi ada ular. Saya tambah kecepatan, dan dari jarak jauh saya melihat seperti kayu atau ranting melintang.

Bekas air hujan masih banyak menggenang di sana-sini, cipratan air menambah kesan berbeda pada malam itu. Saat mendekati pemandangan yang saya kira ranting yang bekas tersapu air hujan, ternyata bergerak.

Ya benar, itu bukan kayu, tapi ular, ternyata ketakutan membuat mata saya salah mengirim pesan ke otak. Ya Tuhan, lebar jalan yang saya lewati sekitar lima meter ini hampir penuh menampung panjang ular ini.

Seketika saya berhenti, Hasrat julit khas netizen muncul, saya abaikan rasa takut, dan ambil ponsel lalu jepret. Ya ini benar ular sungguhan. Sayang kualitas gambar pada malam hari dan tanpa mengatur resolusi hasil gambar tak cukup bagus. --Saat saya tunjukkan ke tetangga katanya ular sanca.

Setelah beberapa puluh detik saya tunggu, ular itu akhirnya masuk juga ke got dan entah kemana. Sejak pertama masuk jalur ini hingga sampai depan rumah saya mengira ada banyak ular yang nongkrong di tengah jalan, sekadar lewat, atau meringkuk di tepi jalan yang saya lihat. Tidak sampai belasan, tapi jumlahnya sepanjang yang saya ingat mungkin kisaran 7 sampai 9 ekor. 

Meski jumlahnya tak sebanyak dan ukuran tak sebesar hari pertama, pemandangan ini saya jumpai saat pulang kerja di hari-hari berikutnya, khususnya selepas malam diguyur hujan. Namun ketika tidak turun hujan saya tak pernah menjumpai.

Di hari-hari berikutnya saya mencoba untuk sedikit tenang meskipun juga masih sangat takut setiap di depan ada ular.

Dari pengalaman saat musim hujan itu, semua bukan pengalaman mistis, sama sekali bukan klenik, namun banyak pesan penting tentang hidup di era modern hari ini.  

***

Saat cerita itu terjadi, saat itu sedang massifnya pembangunan. Sawah-sawah produktif yang entah bagaimana ceritanya berubah jadi perumahan. Namun anehnya perumahan-perumahan ini memiliki IMB (izin mendirikan bangunan) dari pemerintah setempat.

Sawah dan kebun serta pohon dan batu-batu yang jadi habitatnya berubah menjadi Kawasan pemukiman. Ini terjadi di banyak kota, kota-kota pinggiran atau kota satelit, atau daerah-daerah yang sedang berkembang.

Ular yang ketika hujan harus menyesuaikan suhu tubuhnya pun kesulitan mencari tempat, akhirnya rumah, jalan beraspal bahkan tiang listrik yang jadi tempatnya. Itu mengapa ada banyak cerita ular masuk rumah saat musim hujan tiba untuk menghangatkan tubuhnya atau mencari daerah yang lembab sesuai suhu tubuhnya.

Rumah juga kadang menjadi tempat terakhir untuk telur-telur menetas, karena habitatnya makin menyempit dengan pesatnya pembangunan, sawah jadi pemukiman, sungai menyempit, pohon-pohon berkurang.

Pada akhirnya, semua yang bisa menjadi berkah bagi manusia tak selalu menjadi berkah bagi mahluk hidup lainnya, seperti hujan yang jadi berkah bagi manusia, namun belum tentu bagi ular?

Hujan hari itu mendatangkan berkah sekaligus peringatan kewaspadaan..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun