Mohon tunggu...
Miftachudin Arjuna
Miftachudin Arjuna Mohon Tunggu... Dosen - Educational Technology and TESOL

Sehari-hari mengajar di IAIN Salatiga bidang teknologi pendidikan dan Bahasa Inggris. Selebihnya belajar mengembangkan diri lewat bisnis dan kerja sosial untuk masyarakat. Moto: Give more, receive most insyaallah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Makan Malam "Halal Pork + Halal Wine"

3 Oktober 2011   20:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:22 925
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hidup di lingkungan multikultural memang bukan hal yang gampang dan penuh tantangan. Bisa jadi dua sisi koin yang mendorong kita untuk lebih perasa untuk menghargai perbedaan dengan kita tetap berdiri ditempat kita atau ikut bergabung kepada kultur baru tersebut. Inilah yang saya rasakan saat ini, tinggal di akomodasi kampus dengan kewajiban berbagi kamar mandi, toilet, dapur, ruang makan dan ruang keluarga. Tinggal dengan orang-orang yang berasal dari bermacam negara. Tinggal bersama budaya yang agak sama atau bahkan bertentangan sama sekali. Dari sinilah kisah Halal Pork dan Halal Wine muncul dalam kehidupan saya.

Cerita punya cerita, saya sering makan malam bersama di ruang makan bersama satu teman Indonesia, satu orang Polandia dan satu lagi dari Jepang. Dari moment itulah kami menjadi akrab satu sama lain karena seringnya ngobrol baik menanyakan budaya, kebiasaan ataupun cuaca negara masing. Bahkan akhirnya sering menyinggung soal pribadi misalnya agama, pasangan, visi ke depan dan pekerjaan. Ejek mengejek dan menggoda satu sama lain adalah satu hal yang membuat makan malam kami menjadi istimewa karena dari situlah tawa lepas dan ngakak guling-guling terjadi. Sesuatu yang tidak saya alami selain di momen tersebut. "What are you cooking?" itu adalah pertanyaan pokok saat investigasi ke dapur dengan tujuan untuk mencoba satu dua cicip sebelum ritual makan dimulai. Rentetan jawaban yang bermacam-macam saya temui, mulai dari salad, pasta, daging ayam, ikan dan Pork alias daging babi. Karena saya adalah seorang muslim yang tidak makan daging babi, mendengar kata babi membuat agak shok dan menghela nafas. Huff...baru kali ini melihat dagingnya dimasak di depan mata. Kebetulan saat itu teman dari Jepang yang sedang memasak dan saya mulai menjelaskan bahwa saya seorang muslim dan tidak makan daging babi karena satu dan lain hal. Dia pun mengangguk tanda mengerti. Saat makan malam, teman Jepang yang satu ini mulailah dengan candaannya yaitu menyodori daging babinya kepada saya dengan mengatakan "this is halal pork, please try some". Spontan saya jawab "What a!". Dia tahu kata halal karena di sekitar tempat tinggal kami banyak restoran dan penjual daging yang berasal dari Timur Tengah ataupun India yang menempel stiker halal di depan toko mereka. Dia pun melanjutkan pertanyaan "Can we say this pork as halal". Bercanda sekaligus menjadi pertanyaan sederhana yang sulit. Saya berpikir sejenak dan menjawab "Yes, of course, why not". Sekarang dia yang jadi bingung. He... seri kita. Dia bingung karena tadi saya jelaskan bahwa saya tidak makan daging babi karena tidak halal, sedangkan sekarang saya mengatakan daging tersebut jadi halal dan boleh dimakan. Dengan penasaran dia pun kembali bertanya "why, why, why?". Inti jawaban saya adalah saat kita dalam kondisi kritis dan harus bertahan hidup, misalnya terdampar di pulau terpencil dan tidak ada makanan sama sekali kecuali daging babi maka daging tersebut menjadi halal untuk dimakan. Diapun cuma menjawab "I see, oooo..." Candaan pun berlanjut saat mereka bertiga yaitu teman dari Indonesia, Polandia dan Jepang mengakhiri makan malam dengan minuman penutup yaitu wine, mereka kompak menawari saya ikut minum dengan alasan "this is halal wine". aha...ha... cuman ngakak saya sambil jawab "If I am cast away in remote isolated small tiny island and I have nothing to drink, I will do that". Negosiasi pun selesai sampai di situ, semuanya puas. Saya pikir cultural shock adalah sesuatu yang umum terjadi saat kita hidup di lingkungan baru. Aneh bin ajaib adalah kata-kata pertama kali yang saya ucapkan dalam hati saat melihat hal-hal yang sangat berbeda yang dilakukan orang lain. Hal tersebut terjadi tentunya karena perbedaan norma dan tata aturan yang dianut. Jadi saya pikir tidak perlu dirisaukan jika kita memang berbeda. Tetap menjadi diri sendiri dan percaya diri dengan apa yang kita percayai baik. Kita menjadi teman bukan hanya karena kecocokan tetapi juga karena kita memiliki sesuatu yang spesial yaitu pribadi yang berbeda. Peace! Indonesiaku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun