Indonesia saat ini menghadapi ancaman serius dari perjudian online. Meski ilegal dan telah dilarang dalam pasal Pasal 27 Ayat 2 juncto Pasal 45 Ayat 2 UU ITE dan pasal 303 Ayat 2 KUHP judi online tetap tumbuh pesat. Bahkan berdasarkan survei dari Drone Emprit, Indonesia merupakan negara dengan jumlah pemain judi online terbanyak di dunia mencapai jumlah fantastis yaitu 201.122 orang. Fenomena ini merajalela, terutama di kalangan masyarakat menengah ke bawah, yang semakin terjebak dalam lingkaran kemiskinan akibat praktik ini. Judi online bukan lagi sekedar masalah individu, tetapi sudah menjadi ekosistem yang sulit dihentikan, dengan dampak ekonomi dan sosial yang sangat destruktif.
Lalu Pertanyaannya, Mengapa Judi Online Sulit Dihentikan dan Diberantas?
Salah satu hal yang membuat Judi online begitu sulit dihentikan karena operasinya yang licin. Sebagian besar platform berbasis di luar negeri, membuat mereka sulit dijangkau oleh hukum Indonesia. Situs-situs tersebut kerap berganti domain untuk menghindari pemblokiran pemerintah. Selain itu mengutip dari Kompas. com bahwa tantangan muncul dari temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang menyebutkan sekitar 97.000 personal TNI dan Polri terlibat dalam judi online. Hal tersebut semakin memperparah operasi pemberantasan judi online.
Tak hanya itu, promosi agresif juga menjadi faktor utama. Judi online masuk ke semua lini kehidupan digital, dari iklan media sosial hingga aplikasi game anak-anak. Bahkan, ironisnya banyak influencer dan artis besar yang secara langsung maupun tidak langsung mempromosikan situs judi online melalui tautan atau konten terselubung. Situasi ini memperburuk keadaan karena menormalisasi judi di mata masyarakat, khususnya generasi muda.
Judi online bukan lagi aktivitas terisolasi namun telah menjadi ekosistem yang melebar dan meninggi. Kini Judol telah menjadi ekosistem yang kompleks. Dari operator besar hingga agen-agen kecil yang mencari pemain baru dengan iming-iming bonus dan hadiah besar, semua saling terhubung. Pemain yang kalah sering kali didorong untuk merekrut pemain lain demi mendapatkan komisi. Hal ini menciptakan efek domino yang melibatkan lebih banyak orang dan memperluas jaringan. Mengutip dari Tempo.co, Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana mengatakan bahwa pada tahun 2024 nilai transaksi judi online sudah tembus Rp 283 triliun. Dan meningkat dibandingkan catatan transaksi judi online pada semester pertama 2024 yang mencapai Rp 174 triliun. Angka tersebut tentu melebihi transaksi di tengah semester 2023 dan melampaui satu tahun penuh pada 2022.
Normalisasi ini semakin memperparah persoalan. Judi online tidak lagi dipandang sebagai aktivitas ilegal, melainkan sebagai peluang untuk meraih keuntungan cepat. Sayangnya, masyarakat tidak menyadari bahwa peluang menang hampir tidak ada. Sebaliknya, yang terjadi adalah kerugian finansial yang berujung pada kehancuran ekonomi keluarga.
Kehancuran Ekonomi, Psikologis dan Sosial pada Masyarakat Kelas Bawah
Dampak paling nyata dari judi online adalah kehancuran ekonomi, terutama di kalangan masyarakat kelas bawah. Judi online menjanjikan keuntungan besar dengan modal kecil, transaksi judi online meningkat lantaran para pemain dimudahkan dengan nilai deposit yang kecil, bahkan mulai dari 10 ribu masyarakat sudah bisa berjudi secara online tetapi pada kenyataannya, sebagian besar pemain justru kehilangan lebih dari yang mereka miliki. Uang hasil kerja keras habis untuk berjudi, sementara hutang menumpuk, baik melalui pinjaman online maupun rentenir.Â
Judi online tidak hanya menghancurkan ekonomi, tetapi juga psikologis atau kesehatan mental masyarakat. Kekalahan terus-menerus menyebabkan frustrasi, depresi, dan kecemasan. Tak sedikit yang akhirnya kecanduan, mengorbankan keluarga, pekerjaan, dan hubungan sosial.
Kasus-kasus kriminal tragis banyak ditemukan di media. Mulai dari kasus polwan bakar suaminya, pembunuhan yang mengorbankan anggota keluarga dan pegawai koperasi, perampokan dan pembunuhan sopir taksi yang dilakukan oleh anggota Densus 88. Hingga kehilangan rumah, kendaraan, atau aset lainnya akibat judi. Lingkaran setan inilah yang memperburuk kemiskinan, membuat masyarakat semakin sulit keluar dari jeratnya.