Mohon tunggu...
Mifda
Mifda Mohon Tunggu... -

Aktivitas: Mahasiswa Komunikasi Universitas Hasanuddin\r\n Kru Koran Kampus identitas Unhas, Makassar\r\nNo hp : 081340870768\r\n

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Peran Pemuda dan Ilusi Ukhuwah

7 Juli 2012   03:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:13 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Berbicara tentang pemuda, maka hal ini tidak terlepas dari pemahaman akan peran pemuda sebagai agen perubahan yang dapat memperbaiki kondisi sekitarnya hingga kepada permasalahan bangsa. Peran tersebut tentu saja tidak terlepas dari nilai-nilai kreativitas dan inovasi yang menjadi ciri khas dari seorang pemuda.

Karenanya, pemuda yang memiliki pemikiran kritis akan melahirkan pemikiran-pemikiran baru. Namun melihat kondisinya, pemuda nampaknya harus diajarkan dan dididik agar tetap berada pada koridor yang tepat, terutama dalam hal agama.

Dalam kenyataannya, telah banyak aliran-aliran menyimpang yang mulai menyemarak sehingga timbul masalah akan penistaan dan penodaan terhadap agama. Walaupun mayoritas umat moderat, namun resistensi terhadap aliran eksklusif dan ajaran-ajaran yang ekstrem pun kini jadi masalah yang kian mencuat. Sehingga, peran pemuda sebagai agen perubahan dan memiliki pemikiran yang modern diharapkan memahami dan mampu untuk turut berperan serta.

Terdapat tiga masalah utama yang menjadi tantangan pemikiran dan aqidah dewasa ini. Pertama,di masa lalu pemuda merupakan potret keemasan dalam setiap perjuangan Islam termasuk di Indonesia. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, para pemuda pun menjadi rusak dan menjadi sasaran utama para musuh-musuh Islam.

Sebagai dampaknya,para pemuda telah teracuni pikirannya oleh paham-paham menyimpang. Sejumlah fakta sejarah menunjukkan bahwa pada masa orde baru, paham-paham sesat kurang berkembang di Indonesia karena langsung di counter oleh penguasa dan jajarannya yang menggunakan pendekatan keamanan dalam pemerintahannya.

Baru setelah masuknya era reformasi sejak tahun 1998,paham-paham aneh dan nyelenehdengan bebasnya bermunculan, yang berlindung di bawah ketiak demokrasi. Akhirnya,para penguasa pun menjadi terkesan kurang tegas menyikapi aliran-aliran sesat yang ada.

Kedua,aksi yang berlebihan terhadap agama rupanya “diuntungkan” dengan isu Hak Asasi Manusia (HAM) yang sedang marak. Sehingga tiap ada yang menghalangi aktifitas mereka, selalu dianggap melanggar HAM. Padahal siapapun tahu, bahwa persoalan HAM ini tidak berdiri sendiri. Melainkan justru didalamnya melekat Kewajiban Asasi Manusia (KAM).

Pada hakikatnya, sebagai warga masyarakat yang baik seyogyanya mendahulukan untuk menunaikan KAM sebelum menuntut HAM. Apalagi yang menyangkut masalah keyakinan dan aqidah.Ini merupakan sesuatu yang essensial dalam kehidupan rohaniah setiap HAM.

Ketiga, penyimpangan lain dalam bidang teologi yakni pemahaman qadariyah dan jabariyah. Paham Qadariyah berkeyakinan bahwa manusia mempunyai otoritas untuk berbuat apapun, Tuhan hanya tahu setelah sesuatu itu terjadi. Artinya, tidak ada campur tangan Tuhan terhadap sesuatu.Tuhan hanya tahu hasil akhirnya menurut mereka.

Adapun kaum Jabariyah merupakan antitesa dari paham qadariyah. Menurut Jabariyah, Tuhanlah yang menentukan segalanya. Contohnya, kalau Tuhan menakdirkan seorang manusia bodoh, maka selamanya ia akan bodoh walaupun telah berusaha dengan berbagai cara.

Salah satu persoalan krusial dan perlu penanganan hukum karena dianggap mengancam keamanan nasional adalah ketegangan antara Islam Sunni dan Syiah. MUI pusat telah menerbitkan fatwa kewaspadaan terhadap Syiah. Pengaruhnya sudah mulai terasa di masyarakat, melalui aktivisme di kampus-kampus, pengkaderan di pesantren ataupun pengajian khas dan penerbitan secara selektif mengenai syiah dan revolusi itu sendiri, serta pengiriman siswa ke Qum (Iran).

Setelah tamat kaderisasi, mereka mendirikan yayasan-yayasan, melakukan mobilisasi opini publik, penyebaran kader ke sejumlah partai politik, dan upaya membuat lembaga. Semakin lama jaringan ini makin meluas, apalagi memiliki sumber-sumber finansial yang sangat besar.

Masalah Syiah ini sebenarnya bukan saja karena perbedaannya yang prinsipil (karena menyangkut pondasi aqidah).Namun juga lantaran keyakinan Syiah ini diekspresikan dalam bentuk-bentuk ritual melalui buku dan ceramah yangbermuatan pelaknatan terhadap para sahabat dan isteri Nabi Muhammad.Maka sudah pasti akan menimbulkan benturan bagi umat lain, yakni Sunni.Sehingga, cita-cita untuk menciptakan toleransi yang harmonis jadi semacam ilusi.

Persoalan Syiah di Indonesia tidak bisa disederhanakan, misalnya sebagai urusan pribadi ataupun sekadar mazhab seperti mazhab lain. Justru lebih dari itu, karena konsep “Imamah” (kekuasaan mutlak harus dibawah para imam) sangat rentan terjadinya benturan dengan Pancasila, UUD1945 dan NKRI.

Karenanya, MUI membuat fatwa pada 1984 mengenai kewaspadaan terhadap syiah, bukan saja sebagaipaham yang menyimpang dari ajaran esensial islam (Ushuluddin) namun juga ancaman ideologi politik imamahnya.

Tawaran untuk mengurangi ketegangan menghadapi masalah syiah ini, kiranya perlu diupayakan lebih dahulu peredaan ketegangan.Pertama, diimbau agar syiah tidak melakukan syiaisasi melalui ceramah dan buku-buku kepada umat yang sudah menganut akidah ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja), apalagi isinya dapat melukai keyakinan Sunni. Kedua,mereka yang melakukan penistaan atau penodaan terhadap agama dengan melaknat para sahabat dan isteri Nabi, harus diselesaikan secara hukum. Ketiga, karena perbedaan prinsip akidah dan fiqih,agar direkomendasikan hanya bekerja sama dibidang mu’amalah saja, bukan dibidang aqidah, ubudiyah dan siyasah.

Disamping itu, secara internal dikalanganAswaja sendiri, harus mulai tumbuh kesadaran untuk bersatu dan menyatukan Safdalamukhuwah. Timbulnya ‘tekanan’ eksternal terhadap Aswaja ini karena perpecahan di dalam yang berkutat di masalah furu’ di antara ormas-ormas Islam sendiri selama ini. Sebagian tampak ada yang tidak toleran dalam perbedaan furu’, namun sangat toleran dalam perbedaan ushul (aqidah).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun