Tujuan penyelenggaraan JKN adalah menjamin peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan (UU No. 40 Tahun 2004 Pasal 19). Yakinkah hal tersebut dapat dicapai bila masih ada tenaga kesehatan (nakes) yang tidak kompeten? Jangan-jangan bukannya sehat tapi malah menjadi sakit. Bisa jadi nakes malah berperan meningkatkan angka kematian dan angka kesakitan.
Sebuah kasus di seputar Jabodetabek: seorang bidan merujuk ibu hamil yang akan melahirkan ke rumah sakit. Saat pihak RS menanyakan, dia pun gelagapan, tidak tahu atas indikasi apa dia merujuk. Apakah yang tejadi sebenarnya? Mungkinkah karena dia merasa tidak mampu, padahal standar profesinya menuntut sederet kompetensi. Lantas, kompetensi nakes tanggung jawab siapa? Setidaknya merupakan tanggung jawab nakes itu sendiri, Institusi pendidikan, organisasi profesi, pemberi Surat Tanda Registrasi (STR), pemberi Surat Izin Praktik (SIP), dan institusi pelayanan kesehatan, dan BPJS sebagai “pengontrak” institusi pelayanan kesehatan di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Nakes harus secara sadar meningkatkan atau setidaknya mempertahankan kompetensinya dengan cara selalu ‘update’ ilmu dan inovasi-inovasi baru di bidang keahliannya. Jangan selalu mengandalkan jatah pelatihan dari tempat kerja yang entah kapan akan datang. Pengetahuan dan wawasan sudah terbuka lebar di dunia cyber. Buku teks kini tak lagi mahal, karena free e-book pun sudah banyak tersedia, jurnal medis pun demikian. Teknik medis dapat diasah melalui youtube. Nakes senior pun seharusnya dengan sangat senang hati berbagi ilmu dan pengalaman kepada para junior. Tinggal kembali tanya pada hati nurani, apakah sudah terbersit niat baik untuk memberikan pelayanan prima kepada klien? Jika niat baik sudah ada tetapi fasilitas minim karena kendala keuangan atau geografis, itu lain soal. Harus ada pembicaraan dan komitment lintas sektoral.
Institusi pendidikan nakes seharusnya senantiasa mengevaluasi apakah benar lulusannya sudah sesuai dengan standar kompetensi lulusan yang telah ditetapkan. Apakah benar mahasiswa kita sudah mampu menolong persalinan normal, jika selama ini hanya belajar lewat partus pandang? Benarkah mahasiswa kita sudah mahir menginfus pasien, jika selama ini phantom (boneka untuk praktik kedokteran/medis) saja tidak pernah dia infus karena tidak tersedia di kampus? Apa iya mahasiswa kita sudah mampu menulis resep, padahal dosennya saja tidak tahu bagaimana cara menulis resep yang benar karena dia fresh graduate yang belum pernah praktik? Yakinkah mahasiswa kita sudah terbiasa melayani pasien dengan hati ketika tak pernah kita ajarkan muatan etika di kampus? Buka mata, buka telinga, buka hati. Itu “curhatan” para clinical instructor (nakes yang membimbing mahasiwa calon nakes untuk praktik di fasilitas pelayanan kesehatan) di beberapa failitas pelayanan kesehatan yang pernah saya kunjungi. Aturan yang dibuat sudah lengkap, tinggal dijalankan, bukan diakal-akali asal perkuliahan bisa jalan.
Organisasi profesi yang juga ikut andil dalam memberikan rekomendasi perizinan praktik sebaiknya juga meninjau ulang kembali implementasi peranannya. Sudahkan organisasi profesi memberikan bimbingan dan arahan yang tepat bagi para anggotanya? Atau baru sekedar bisa menuntut pembayaran upeti dari para anggota setiap tahunnya. Institusi pemberi STR/SIP, apakah sudah memperhatikan dengan seksama hasil uji kompetensi para nakes yang mengajukan permohonan STR/SIP? Sudahkan benar-benar memenuhi standar atau dipaksakan agar dapat lulus uji kompetensi? Para pemberi kerja dan level manajer, sudahkah nakes kita diberikan update berkala untuk meningkatkan kompetensinya? Sudah baikkah supervisi dan pengawasannya? Lebih jauh lagi, sudah adilkah kita terhadap hak-haknya? Jangan hanya peras keringatnya lewat double shift dan lembur administrasi, tetapi lupa menghargai peluhnya. Kadang, sekedar ucapan terima kasih pun belum sempat terlontar untuk para nakes. Perlindungan hukum dan perlakuan adil dalam pembagian jasa pelayanan mutlak diberikan (baca juga: http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2014/10/28/memangnya-cuma-peserta-bpjs-yang-harus-puas-tenaga-kesehatan-juga-harus-puas-698953.html ).
BPJS sebagai “pengontrak” fasilitas pelayanan kesehatan beserta segala isinya, termasuk nakes, hendaknya benar-benar melakukan kontrol terhadap kualitas pelayanan. Benarkah kredensialing telah dilakukan dengan ketat? Betul ada syarat kelengkapan SDM dalam kredensialing. Namun tidak cukup hanya kuantitas, kualitas nakes di fasilitas pelayanan kesehatan juga mutlak diperlukan.
Jadi bagaimana caranya agar kompetensi nakes meningkat? Diperlukan kerjasama yang baik dan usaha optimal dari seluruh komponen di atas untuk itu. Bila kita nakes/ calon nakes, mari bekerja dan belajar dengan cerdas, keras, dan ikhlas. Bila kita di dalam institusi pendidikan nakes, mari optimalkan sarana dan prasarana dan kita tingkatkan kualitas pengajaran. Bukan sekadarnya, apalagi sekadar meraup keuntungan dari mahasiswa. Ingat, kita mendidik orang yang akan bertanggung jawab atas nyawa manusia! Bila kita pengurus organisasi profesi, mari kita optimalkan pembinaan dan memberi rekomendasi hanya kepada nakes yang benar-benar kompeten. Bila kita pelaku pemberi STR/SIP, berikan surat sakti itu hanya pada orang yang kompeten. Bayangkan jika kita adalah pasien yang ditangani nakes tidak kompeten, relakah? Bila kita pemberi kerja, mari lakukan rekrutmen dan seleksi yang benar-benar dapat memperlihatkan kompetensi seseorang. Pilihlah yang terbaik, atur dengan SOP yang baik, penuhi haknya dengan adil. Manusiakan para nakes kita tercinta. Bila kita pasien, hargai nakes yang sudah membantu kita, ingatkan bila mereka memiliki kesalahan/ kekurangan. Bila kita seorang pengamat, mari cermati dengan baik, saling mengingatkan, dan tuliskan…seperti tulisan ini :)
Bravo nakes Indonesia !!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H