Mohon tunggu...
Mieska Despitasari
Mieska Despitasari Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa S3 UI

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Tenaga Kesehatan Abal-abal? Fatal!

2 Januari 2015   13:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:59 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang tenaga kesehatan (nakes) harus kompeten? Jelas merupakan suatu keharusan. Keselamatan pasien ada di tangan mereka. Tanpa kompetensi yang baik, nyawa pasien bisa melayang. Setiap organisasi profesi nakes (seperti IDI, IBI, PPNI, dsb.)  telah menetapkan standar kompetensi bagi angotanya. Namun sejauh manakah standar kompetensi tersebut dipenuhi oleh para anggota? Benarkah uji kompetensi telah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya sehingga tidak mungkin meloloskan seorang perawat yang tidak terampil memasang infus ke dunia pelayanan kesehatan? Kenyataannya masih ada yang demikian di lapangan.

Setahun yang lalu, saat orangtua saya dirawat di High Care Unit (HCU) sebuah RS pemerintah dan harus diinfus, seorang perawat senior menusuknya berkali-kali sebelum mendapatkan tempat yang pas untuk masuknya cairan intravena. Pada akhirnya perawat tersebut pun menyerahkan proses “penusukan” pada rekannya yang lain, tentu saja, saat orang tua saya telah kesakitan untuk kesekian kalinya akibat “percobaan penusukan” sang perawat senior. Kenapa tidak sejak awal diserahkan pada yang lebih kompeten? Gengsikah? Jadilah orangtua saya korban gengsi seorang perawat senior yang kurang kompeten. Beberapa hari yang lalu, kembali orangtua saya menjadi korban “infus menginfus”. Kali ini terjadi infeksi jarum infus (phlebitis), kulit dan jaringan lain sekitar tempat “infusan” meradang (merah, bengkak, dan terasa sakit). Saat mengunakan infused pump, tidak semua perawat juga memahami cara penghitungan konsentrasi dan volume cairan obat anti hipertensi yang harus masuk. Beruntung kali ini kerja tim rekan perawat cukup baik sehingga setiap akan mengganti obat via infus akan selalu dipanggilkan perawat yang kompeten menghitung konsentrasi dan volume. Bayangkan jika ada perawat yang tidak kompeten dalam perhitungan tersebut, tetapi “sok tahu” dan gengsi, hiii…nyawa pasien bisa hilang.

Mengapa kompetensi nakes bisa beragam padahal kurikulum yang digunakan sama? Sepertinya implementasinya yang berlainan. Semenjak input pun sudah berlainan. Ada institusi pendidikan nakes yang menerapkan sistem seleksi mahasiswa baru yang ketat. Namun sebaliknya, ada juga yang boleh dibilang “asal-asalan” dalam memilih calon mahasiswanya. Dari sebuah penelitian yang saya ikuti pada tahun 2013, ternyata memang ada institusi pendidikan nakes yang menerima mahasiswa dengan latar belakang SMK jurusan mesin alias STM. Hal ini agak membuat saya kebingunan, bukankah calon mahasiswa yang akan mengikuti pendikan nakes seharusnya memiliki latar belakang IPA yang kuat? Semua yang akan mereka pelajari setidaknya membutuhkan dasar ilmu Biologi yang baik, bukan pemahaman tentang hal-hal mekanik. Mereka akan menghadapi manusia, bukan mesin! Pembuluh darah dan bukan kabel!  Dari penelitian yang sama, hasil wawancara saya dengan beberapa orang nakes yang sempat menjadi instruktur klinik bagi para mahasiswa kedokteran dan kebidanan, memang terdapat keluhan yang senada, diantaranya

“Disuruh masang infus malah bengong, kadang tensi aja ga bisa”

“Ga berani nolong (persalinan), karena di kampus cuma belajar partus pandang (hanya mengamati proses menolong persalinan, bukan mencoba menolong sendiri)”

Sepertinya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) untuk pendidikan kedokteran perlu ditinjau ulang. Jangan-jangan kurikulum sebelumnya yang sebenarnya cocok untuk iklim pendidikan kedokteran Indonesia? Atau setidaknya optimalkan Program Internsip Dokter Indonesia sebagai pemahiran para lulusan Fakultas Kedokeran. Untuk pendidikan nakes lain, porsi praktik mungkin perlu ditambah. Seiring juga dengan peningkatan kualitas pengajar. Sebab ternyata saya pernah temukan di suatu institusi pendidikan kebidanan, ada juga dosen yang belum pernah praktik sebagai bidan. Jadi memang secara teoretis beliau ahlinya, tapi untuk keterampilan medis perlu dipertanyakan. Jangan sampai dosen dan mahasiswa seperti orang buta yang menuntun orang buta lainnya.

Institusi pendidikan nakes yang kian menjamur memang menjadi bisnis yang menggiurkan, tapi mengakibatkan kompetisi untuk mendapatkan lahan praktik mahasiswa semakin berat. Terkadang mahasiswa dijejalkan di satu fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes). Akibatnya, mereka hanya bisa menjadi penonton, bukan pelaku. Bagaimana mereka akan menjadi nakes kompeten jika demikian? Perizinan pendirian institusi pendidikan nakes sebaiknya diperketat, demi menjaga kualitas lulusan. Persyaratan supaya institusi pendidikan nakes harus memiliki fasyankes sendiri tampaknya bisa menjadi alternatif solusi kompetisi lahan praktik.

Lantas cukupkah hanya kompetensi alias hard skill yang dibutuhkan oleh seorang nakes? Tentu tidak, sebagai salah satu pemberi jasa, nakes harus juga memiliki soft skill.Misalnya kemampuan berkomunikasi, bekerjasama, bernegosiasi, beradaptasi, kejujuran, tanggung jawab, dan keuletan bekerja. Seorang nakes harus dapat berkomunikasi dengan sesama nakes, pasien, keluarga pasien dan pihak terkait lainnya. Keramahan dan ketulusan menjadi obat tersendiri untuk pasien. Seperti seorang dokter spesialis penyakit dalam di sebuah RS pemerintah, sebut saja doker L, yang sangat sabar mendengarkan keluhan pasien meskipun dia dalam kondisi kelelahan akibat ujian S3, visite, dan praktik. Dokter ini bersedia dihubungi 24 jam via messenger dan pasti akan membalas pesan yang dikirim pasiennya. Pasien tidak perlu sering datang ke tempat praktiknya untuk hanya sekedar mengganti dosis obat anti hipertensi, cukup laporkan berapa tensinya, maka dosis pun terkirim via pesan singkat di HP. Saat pasien hendak berkonsultasi di RS, pasien tidak diminta mendaftar, cukup pertemuan informal sejenak di sebuah ruangan atau bahkan selasar RS. Saat komplikasi terjadi pada pasien, dengan bijaksana beliau akan mengkonsulkan pasiennya kepada sejawat yang lebih kompeten. “Saya bukan tipe dokter pencari uang”, ungkapnya renyah. Dokter L akan menyampaikan seluruh informasi dan penjelasan tentang kondisi pasien dengan sejelas-jelasnya kepada keluarga pasien, tetapi hanya akan menyampaikan informasi yang menenangkan bagi pasien. Lain dengan seorang dokter lain, sebut saja dokter X, “Ibu sudah kena stroke ringan, jadi sekarang kalau makan jangan cepat-cepat”…ups…melonjaklah tekanan darah si pasien akibat pernyataannya yang terlampau gamblang. Lebih nyaman sebenarnya apabila diungkapkan seperti seorang dokter lainnya, “Memang stroke nya ada, tapi  penambahan spot-spot kecil saja bu dari yang sebelumny, tapi bisa diabaikan, ga apa-apa itu mah ya…santai aja” disertai informasi selengkapnya kepada keluarga pasien diluar ruangan perawatan, membuat legaaaa si pasien.

Bahasa tubuh saat memberikan layanan kepada pasien pun sebaiknya diperhatikan. Pasien pun manusia, serendah apapun pendidikannya, serendah apapun status ekonominya. Rugikah jika nakes memandang mata pasien dengan penuh empati dan mendengarkan keluhannya? Saat anamnesa (menanyakan keluhan pasien), sebaiknya janganlah sibuk memandang catatan rekam medik atau kartu status. Saat hendak melakukan pemeriksaan atau tindakan, mintalah izin terlebih dahulu pada pasien. Bukankah hal demikian sudah tercantum dalam standar profesi dan kode etik masing-masing profesi nakes? Mengutip perkataan Dr. Yaslis Ilyas, kompasianer senior, “Pelayanan jika tidak dilakukan dengan hati, maka itu bukan pelayanan”. Service excellent alias pelayanan prima hanya dapat diberikan jika hard skill dan soft skill dikuasai oleh nakes.

Karakter yang melekat pada diri seseorang memang dapat menjadi kelemahan dibidang soft skill. Perlu usaha keras untuk mengubahnya. Namun demikian soft skill bukansesuatu yang stagnan. Kemampuan ini bisa diasah dan ditingkatkan seiring denganpengalaman kerja. Ada banyak cara meningkatkan soft skill. Salah satunya melaluilearning by doing. Selain itu soft skill juga bisa diasah dan ditingkatkan dengan caramengikuti pelatihan-pelatihan maupun seminar-seminar manajemen. Meskipun satucara ampuh untuk meningkatkan soft skill adalah dengan berinteraksi dan melakukanaktivitas dengan orang lain. Institusi pelayanan kesehatan tentunya berperan cukup besar dalam hal ini. Implementasikan kurikulum dengan baik, jika perlu, tambahkan mata kuliah khusus soft skill dengan praktikum berupa penerapan soft skill dalam kehidupan kampus sehari-hari. Dengan demikian pembiasaan tersebut dapat melekat erat dalam diri setiap nakes yang dihasilkan.

Patients don’t care how much you know until they know how much you care(Fottler, D.M, Ford, R.C. dan Heaton C.P., 2010) p.136

Say no to nakes abal-abal !

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun