Pada suatu sore di tahun saya masih menginjak bangku sekolah dasar, dimana saya masih ingat betul kata kata guru kelas saya bahwa ber-ber-ber sedia ember. Maksud beliau adalah bulan oktober, November dan desember. Memang dulu musim penghujan masih datang teratur, seperti periode mensturasi dari anak gadis remaja. Dan waktu itu pak Harto masih mewajibkan setiap orang dari etnis tionghoa mempunyai nama dua, alias. Ko Ping Ho alias Andi Budiman. Mungkin belum terbersit dalam pikiran Andi untuk bisa merayakan Xin chia seperti sekarang dengan nama yang sudah menjadi Ko Ping Ho. Mungkin belum terpikirkan sebelumnya oleh Ko Ping Ho bisa mendapatkan hari libur pada saat xin chia sambil menunggu hujan turun pertanda tahun ini mendapat rejeki yang berlimpah. Dan mungkin belum terpikir oleh kita juga jika sekarang kita bisa berinteraksi langsung dengan ibu negara melalui media bernama instagram, atau memfollow suaminya di twitter. Ya… disuatu sore itu datanglah seekor anak ayam tanggung di depan rumahku.
Anak ayam itu tidak lagi berbentuk anak ayam yang suka dijual abang-abang di depan halaman Sekolah dasar sekolah saya dengan warna hijau, merah dan ungu sudah menutupi seluruh bulu mereka. Nah, jenis anak ayam ungu, merah, hijau biasanya tidak lama hidupnya, paling beberapa hari saja. Beberapa kali saya membeli anak ayam jenis ini selalu mati, padahal sudah saya beri makan lalat-lalat yang berkeliaran di waktu hujan, saya tebas memakai sapu lidi. Entah apa karena lalat nya atau warna merah,hijau, dan ungu adalah warna lethal bagi mereka. Pedagang anak ayam biasanya menggelar koran untuk duduk disamping tukang gameboy yang merangkap judi kartu bergambar dan juga mencabut biji karet, siapa yang bisa mencabut tali yang ada biji karetnya, anak anak bisa mendapatkan uang receh sebesar dua ratus rupiah. Bisa jadi lebih besar dari uang jajan harian mereka yang hanya seratus sehari. Betapa judi memang sangat memikat bahkan untuk anak kecil. Betapa pakong dan togel hanya bentuk turunan dari pelajaran pertama judi tarik tali biji karet. Dan sebelum kita melanjutkan perjalanan menuju judi ala las vegas, kita kembali lagi ke anak ayam. Anak ayam itu tidak juga berbentuk ayam yang sudah siap dipotong dagingnya. Mungkin kira kira dagingnya hanya sebesar telur dan ditumbuhi bulu- bulu yang sudah mulai solid seperti bulu yang biasa dipakai pada olahraga bulutangkis. Istilahnya, ini adalah anak ayam puber.
Anak ayam puber itu lewat depan rumahku. Seperti gaya anak ABG jaman sekarang ketika masuk ke mall untuk pertama kalinya, anak ayam puber itu celingak-celinguk di depan rumah. Mungkin saja ia lapar, tetapi tidak bisa mengutarakan keinginannya. Seakan mengerti keinginan anak ayam puber itu, saya memberikan satu genggam beras kepadanya. Dengan lahap ia makan beras tersebut. Bak kuli bangunan yang baru saja selesai mengaduk semen seharian, ia menghabiskan segenggam beras tersebut dalam hitungan detik saja. Habis tak tersisa, laksana pasang laut tsunami yang meluluhlantahkan ujung utara pulau sumatera. Ibarat dana taktis yang ditujukan untuk fasilitas anggota dewan yang terhormat. Anak ayam itu membunyikan suara kur… kur… kur… alih alih suara ayam dewasa yang bunyinya petok.. petok.. petok… suaranya lebih mirip burung tekukur. Mungkin karena masalah pubertas ayam. Dia pikir lebih merdu jika suaranya seperti itu. Selesai makan, ia mengepakkan sayapnya yang hanya terdapat beberapa bulu dan pergi lagi entah kemana.
Keesokan hari si anak ayam puber itu pun datang lagi. Kali ini ia tampak lebih percaya diri dengan setengah berlari kearah rumahku. Seperti biasa, saya membawakannya sejumput beras di tangan. Hap. Anak ayam puber itu pun melahap dengan cepat, diiringi bunyi kur… kur.. kur… dan hari hari berganti, berbagai peristiwa dunia telah terjadi. Yasser Arafat meninggal, Medali emas Indonesia di Olimpiade dari cabang Badminton, Nadia Hutagalung menjadi bintang Lux, sampai Pemilu yang masih saja dimenangkan oleh Golkar. Anak ayam puber itu tetap datang ke rumah dan melakukan ritual yang sama, selalu dengan bunyi kur… kur…kur. Entah kapan tepatnya, saya memanggilnya kukur. Sepertinya ia pun sadar akan nama barunya itu.
Beberapa bulan berlalu, Kukur sekarang sudah mulai merasa rumah ini adalah rumahnya juga. Setelah hampir tiap hari mondar-mandir pekarangan rumah, bak perusahaan minyak yang terus mengeksporasi dimana terdapat kandungan minyak bumi yang cukup potensial untuk dibor, akhirnya dia menemukan tempat untuk berteduh. Jika penduduk Jakarta sekarang suka tinggal di apartemen karena lokasinya yang strategis atau karena suka tempat yang tinggi, Kukur pun begitu. Ia memilih batang pohon rambutan di halaman depan rumah saya yang kira-kira tingginya melewati tinggi pagar rumah sedikit. Pohon Rambutan itu jenis rambutan Rapiah dari Aceh, buahnya kecil, rasanya manis. Entah mengapa Kukur memilih batang pohon Rambutan menjadi “rumah”nya, disana juga ada pohon belimbing, pohon sawo dan pinang putri. Yang pasti bukan hanya kebetulan atau pilihan random seperti memilih satu tali pada Judi tali biji karet. Mungkin saja sebelumnya Kukur tinggal di rumah orang Aceh yang biasa memasak menggunakan daun Rambutan, dicampur dengan daun Kari. Entahlah, andai saja saya bisa mengerti bahasa ayam.
Kukur mulai beranjak dewasa. Hanya berselang setengah tahun dia sudah menjadi Ayam jantan. Bulunya yang dulu hanya terdapat satu-dua, sekarang sudah bertransformasi menjadi bulu ayam jantan sempurna. Tak kalah dengan penampilan ayam bekisar. Badannya pun atletis, lebih mirip ayam Bangkok dibanding ayam kampong. Kalau anda membayangkan tokoh Jude Law di film2 Hollywood, mugkin Kukur adalah versi ayamnya. Tetapi hal yang terbaik dari Kukur adalah kokoknya, ia memiliki kokok yang bagus, setiap pagi menjelang, sekitar waktu sholat shubuh, kokoknya pun mulai terdengar. Ah, terkadang ia mengepakkan sayapnya terlebih dahulu sebelum berkokok. Kukur bagaikan alarm alam yang setia membangunkan warga di sekitar rumah kami. Kalau saja ada komunitas ayam betina di perumahan, pasti Kukur sudah menjadi primadona di kalangan mereka.
Kebaikan Kukur adalah ia satu-satunya Ayam di lingkungan kami, selain kokoknya yang menjadi penanda bahwa hari ini masih ada deadline pekerjaan, PR bagi kami anak-anak SD, kehadirannya pun menjadi penanda bahwa kami tinggal di pinggiran Jakarta, dekat dengan kota, tetapi suasana pedesaan masih terasa. Dekat komplek kami waktu itu masih ada sawah, saya ingat pernah melihat ular hijau ketika melintasi tegalan sawah yang sudah dipanen pada waktu itu. Dekat sekolah saya ada kebun pare, yang masih sering dijumpai kunang-kunang. Saya pernah mengambil beberapa kunang-kunang dan dibawa pulang ke rumah. Alih-alih mendapatkan pengalaman seperti film-film Disney yang mengganti lampu dengan cahaya kunang-kunang, waktu itu saya tidak bisa tidur karena mendapat cerita kalau pada malam hari kunang-kunang berubah bentuk menjadi kuku setan, atau kuku orang yang sudah meninggal. Tipikal orang pedesaan bukan? Begitulah kira-kira fungsi Kukur, membawa suasana villagers ke dalam kehidupan semi-urban penduduk pinggiran Jakarta.
Kelemahan Kukur pun karena ia satu-satunya Ayam yang berada di lingkungan rumah kami. Tidak ada teman sesama ayam jantan, tidak pula ada ayam betina yang menarik perhatiannya. Ia seperti politisi yang diasingkan oleh pemerintah colonial. Seperti Soekarno di tanah Ende, atau Syekh Sulaiman yang dibuang sampai ke Afrika Selatan. Ia mulai bergaul dengan kucing peliharaan rumah tante Butet, ikut mengejar-ngejar anak tikus yang akan dimakan oleh kucing tadi. Pikirannya tidak bisa membedakan mana peri-keayaman mana naluri kucing lapar yang siap menerkam tikus.
Kukur mulai menunjukkan tanda-tanda ketidakwajarannya sebagai Ayam. Pertama ia berkejar-kejaran dengan kucing. Entah apa yang ia ributkan. Saya tidak yakin ia suka tulang ikan atau kulit ayam dari sisa sate yang biasa menjadi favorit kucing-kucing di perumahan. Saya juga sanksi kalau ia sedang jatuh cinta pada salah satu kucing tetangga. Tidak mungkin Kukur Disorientasi spesies. Mungkin ia hanya butuh teman bermain. Atau ayam betina untuk kencan. Ah, andai saja dulu ada situs online untuk mempertemukan Kukur dengan ayam betina milik orang lain, mungkin saja ia sudah punya banyak keturunan. Sampai lah pada saat banyak pengaduan dari tetangga kalau Kukur sudah tidak menjadi sosok yang menakutkan. Banyak anak tetangga yang berdarah karena dipatok Kukur. Ada complain yang warga yang mengatakan, “kok ayamnya ndak dikurung saja, kan jadi masalah buat orang banyak…” waktu itu saya sebenarnya sangat malu dengan perilaku Kukur, tetapi tetap saja saya membela dan mengatakan : “lah, Anjingnya Bondan juga suka keliaran di jalan, eek dimana-mana. Emangnya ada yg bersihin eek anjingnya selama ini? …” tetapi terus terang pada saat itu saya kecewa dengan Kukur, sepertinya ia pun tahu itu.
Hari berganti, aktivitas rutin tetap berlangsung. Kukur tetap mendapat jatah berasnya pagi dan sore. Tapi kali ini saya memberikannya dengan diam. Pertanda bahwa saya sedang tidak menyukainya. Ia pun terlihat sadar dengan perubahan sikap saya. Pertama dia berkokok sebelum makan berasnya, saya diam saja. Lalu dia mencoba menari-nari memutar badannya sebelum menghampiri jatah beras sore, saya tetap diam.
Malam pun tiba, pintu-pintu rumah sudah mulai ditutup. Pagar pekarangan sudah digembok. Belakangan ini pencurian sedang maraknya terjadi. Minggu lalu kaca spion mobil mas Wawan hilang diambil orang. Ada juga mobil yang dipecahkan kacanya hanya karena terlihat ada beberapa lembar uang ribuan rupiah. Yang paling parah adalah, sepeda saya hilang!! Keluarga kami mempunyai dua sepeda gunung. Dua sepeda itu sudah dirantai satu sama lain, dan satu sepedanya dirantai lagi ke batang pohon jambu di dalam pagar rumah. Entah bagaimana satu sepeda bisa hilang. Dan itu adalah sepeda kesayangan saya. Sepeda yang saya bawa olahraga pagi ke senayan tiap minggunya. Sepeda yang sama ketika saya kecebur got karena mencoba melepas tangan sambil bersepeda dan mata tertutup. Setelah kejadian itu, keamanan warga diperketat.
Suasana malam hari pada awalnya sunyi senyap. Tiba-tiba Kukur mulai terbangun. Bunyi petok-petok pun terdengar. Hari masih terlalu larut untuk bunyi kokok pagi Kukur. Dan ia pun tidak berkokok, suara petok-petok makin terdengar nyaring. Awalnya saya terbangun, tetapi tidur lagi. Saya pikir apa lagi ulah Kukur malam ini, dia makin aneh saja dari hari ke hari. Saya pun kembali terlelap. Pagi ini tidak ada suara kokok dari Kukur, jam dinding telah menunjukkan pukul setengah enam. Aneh rasanya… ayah saya sedang terburu-buru mau berangkat ke kantor, maklum, daerah pinggiran Jakarta, jadi harus pergi lebih awal. Kalau tidak, wassalam, macetnya sinting luar biasa. Saya pun nantinya sejak SMP akan dibiasakan berangkat dari rumah pukul 5.30. karena SD saya dekat dengan rumah, bisa naik sepeda, jadi saya masih bisa member makan Kukur. Saya ambil beras di dapur. Perihal beras pun tadinya juga saya harus bernegosiasi dengan ibu, ia bilang masih banyak orang yang kekurangan makanan, mengapa saya membuang-buang beras dua kali sehari untuk seekor ayam, entah mendapat ilham darimana, saya berucap: “ma, rezeki kita itu yg atur Allah, ngga perlu khawatir. Lagian kata pak ustadz kan kl kita banyak sedekah, rezekinya jadi makin berkah.” Kali ini saya mau berdamai dengan Kukur. Tidak ada alasan untuk membencinya. Saya menuju ke batang pohon rambutan rapiah. Ia tidak ada disana. Saya panggil namanya. Kukur… kur… kur… tidak ada sautan juga, biasanya ia langsung mendekat menghampiri orang yang memanggilnya. Ah, kemana ayam itu. Di batang pohon belimbing tidak ada, pohon sawo… pohon pinang, mana ya…. Disaat saya mencari keberadaan Kukur, saya menemukan bercak-bercak darah. Tetesan darah yang sudah mulai mongering di lantai halaman rumah, tanah, dan…. Astaghfirullah…. Saya menemukan Kukur sudah tersungkur di dekat sepeda saya yang tersisa. Di dekatnya ada batu besar. Saya menghampirinya, sedih rasanya melihat Kukur seperti ini. Kur… Kur…. Badannya pun tidak bergerak lagi… sepertinya ia kehilangan darah yang banyak. Kur…. Ini berasnya kur…. Kur…. Makan dulu kur…. Kukuuuuur…… Innalillahi wa Inna ilaihi raaji’un. Kukur tidak berdaya menghadapi serangan dari entah siapa yang tega melakukannya… ia dipukul dengan batu besar di kepalanya. Kemungkinan ia sudah menggagalkan rencana pencurian sepeda saya. Ia turun dari batang pohon rambutannya. Tidak terasa air mata ini mengalir. Selesai sudah tugas Kukur menemani keluarga ini. selamat jalan sobat. Mungkin bagi orang lain Kukur hanyalah ayam jantan biasa, tetapi bagi saya… ia salah satu teman terbaik saya di masa kecil.
Teruntuk keluarga-keluarga pecinta hewan peliharaan.
Kalibata, 6 Februari 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H