Mohon tunggu...
Mida Mardhiyyah
Mida Mardhiyyah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Aku menulis, maka aku bahagia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Karim: Kami Berbeda, Bukan Tidak Bisa

22 September 2013   10:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:33 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1379819605935694086

Saya sudah memperhatikan pria itu sejak dia masuk. Melihat tangannya, saya tahu kalau dia seorang tunadaksa. Dia memilih kursi di deretan paling depan. Di tangannya dia membawa satu kresek konsumsi dan koran, seperti peserta Diskusi Pendidikan lainnya. Sebentar kemudian, dia sadar kalau kursi itu diperuntukkan jajaran akademisi dan eksekutif di DIY yang menjadi undangan acara. Dia melirik kursi yang kosong disamping saya dan dengan mantap berjalan dan meminta izin duduk di samping saya yang saya sambut dengan anggukan. Sambil menunggu pembicara yang juga idola saya, Pak Jokowi, Karim membuka percakapan dengan pertanyaan sederhana "mbknya dapat info ini kapan?". Dari situ percakapan mengalir. Karim adalah salah satu penggiat Difabel yang sekarang tengah menempuh pendidikan Sarjana di salah satu kampus unggulan di DIY. Tidak tanggung-tanggung, Karim yang menurut pengakuannya menyukai isu politik dan pemerintahan, mengambil jurusan hukum untuk strata satunya. Bahkan, dia sudah tahu konsentrasi apa yang akan diambilnya kelak. "Saya mau ambil Hukum Tata Negara" katanya. Karim banyak bercerita tentang kegiatannya di kampus. Karim menjadi satu diantara ketiga teman sesama Difabel yang merintis UKM Difabel. UKM yang baru seumur jagung ini didirikan untuk mewadahi para Difabel di kampus megahnya. Menurut Karim, kampusnya seharusnya menjadi percontohan kampus yang ramah difabel. Saya mengiyakan, kampus skala international memang seharusnya sudah serba ramah untuk banyak hal. Termasuk pelayanan pada Difabel. Selama ini, menurut Karim baru dua kampus yang sudah merintis program untuk Difabel. Dua-duanya kampus negeri di Yogyakarta. Meskipun UKM ini sudah ada, Karim menyayangkan karna SK terhambat birokrasi sampai sekarang belum juga keluar. Akhirnya, UKM yang terdiri dari 30 orang dengan 3 diantaranya adalah Difabel terkatung-katung tanpa sekretariat. Karim berujar, "kami rapat dimana saja, selama ini sieh di rektorat ya. Lesehan biasa". Untungnya keadaan ini tidak mematahkan semangat organisasi ini. Setidaknya, mereka sudah melakukan beberapa kegiatan seminar sebagai sarana penguatan internal. Disela-sela percakapan saya tanyakan isu apa saja yang biasanya diperjuangkan di UKM ini. Karim akhrinya bercerita mengenai seorang dosen yang menyampaikan kuliahnya dengan metode ceramah. Padahal, di kelas itu ada satu tuna rungu yang hanya mengandalkan slide untuk memahami mata kuliah yang disampaikan. Solusi yang ditawarkan UKM ini adalah dengan memberikan pendamping yang sekaligus teman untuk membantu mencatat kuliah yang disampaikan. Sampai di sini saya tahu, betapa pentingnya organisasi ini. Karna banyak sekali kaum difabel yang juga ingin berkuliah di kampus bergengsi dan berkualitas juga. O iya, Karim berhasil masuk ke kampusnya melalui jalur undangan tanpa tes. Artinya, dia adalah salah satu anak cerdas di DIY. Dari sebagian besar percakapan, saya tertarik membahas mengenai istilah yang disampaikan Karim. Sebelum UKM ini resmi, para foundernya sendiri sempat mengalami perdebatan mengenai istilah mana yang cocok untuk UKM mereka. Mereka sendiri pernah mengangkat beberapa istilah seperti penyandang cacat dan Disabled. Tapi kemudian mereka sepakat memakai istilah Difabel. Menurut Karim, alasan menggunakan istilah itu sederhana saja. Dia dan kawan-kawannya bukanlah manusia-manusia yang tidak bisa berbuat apa-apa. Menurut mereka, kita hanya memiliki kemampuan yang berbeda. Jadilah mereka menamai UKM nya Different Ability. Apa yang Karim sampaikan memang tidak salah, malah seratus persen benar. Seperti Karim. Dia masih bisa mengikuti Diskusi Pendidikan ini, dia bahkan antusias mengangkat tangannya pada sesi tanya jawab yang sayang sudah ditutup. Dia datang ke diskusi ini sendirian!. Tapi dia mengikutinya penuh suka cita dan percaya diri. Dia tertawa, sama seperti yang lainnya. Dia berbicara sama berbobotnya seperti para manusia cerdas lainnya. Dia hanya berbeda. Sama seperti profile saya di hadapannya. Kami hanya berbeda. Dan perbedaan adalah hal sangat amat lumrah di dunia ini. Bahkan, Allah menegaskannya sebagai Rahmat. Perbedaan ada rahmat bagi manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun