Semakin tertekannya Ukraina di hari-hari terakhir ini menimbulkan banyak spekulasi tentang sikap NATO dan sekutunya yang sangat berhati-hati dalam mengambil langkah. Pihak barat melalui pernyataan Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, dalam Pidato State of the Union address menegaskan bahwa Amerika Serikat, sebagai negara kontributor terbesar NATO dan sekutunya tidak akan terlibat secara fisik dalam konflik antara Rusia dan Ukraina, tetapi akan membantu dalam bentuk lain. Hal ini juga diamini oleh para pemimpin NATO dalam berbagai kesempatan terlepas permohonan berulang-ulang dari Presiden Volodymyr Zelensky. Sikap NATO ini adalah sikap rasional untuk menghindari peperangan nuklir dengan Rusia dan meluasnya konflik fisik ke wilayah lainnya diluar Ukraina. Bahkan, saya berani berspekulasi bahwa NATO dan pihak barat dalam waktu dekat ini tidak berniat untuk terlibat dalam perang fisik berskala besar dengan Rusia di Ukraina ataupun di tempat lain di dunia.
Senjata nuklir, sejak pemboman Hiroshima dan Nagasaki, berfungsi lebih sebagai agen perdamaian daripada penyebab kehancuran dan demi Tuhan semoga senjata tersebut tidak akan pernah lagi digunakan. Fungsi perdamaian senjata nuklir inilah yang telah bertindak sebagai salah satu faktor pembelenggu utama negara-negara NATO untuk tidak melawan Rusia secara langsung. Umat manusia berada pada era kedamaian sejak tahun 1945, dimana tidak ada perang antara negara maju yang bereskalasi hingga menjadi perang dunia ketiga karena kekuatan senjata nuklir yang menjamin kehancuran umat manusia dalam skala besar apabila perang tersebut terjadi. Perang menggunakan negara proxy sebagai lingkungan pertempuran dipandang sebagai salah satu cara yang dapat diterima untuk menghindari kehancuran yang tidak terbayangkan. Dan saat ini, Rusia sedang tidak bermain melalui proxy lagi.
Menyebutkan pihak barat takut akan kekuatan militer Rusia atau tidak berani bertempur di Eropa timur adalah narasi yang kurang tepat. Secara hitungan diatas kertas, saya pikir belum ada negara di dunia ataupun aliansi pertahanan di bumi yang memiliki kekuatan militer yang lebih kuat daripada NATO. NATO adalah sebuah gabungan kekuatan militer yang dahsyat. Setidaknya 3 negara anggota NATO yaitu Amerika Serikat, Inggris dan Prancis adalah kekuatan nuklir dunia. Ditambah dengan kemampuan angkatan perang dunia pertama serta kekuatan kas perang dari 30 negara anggota NATO, saya meyakini, berani atau tidak berani serta kuat atau tidak kuat bukanlah merupakan faktor penentu dalam keputusan barat untuk menghindari konflik langsung dengan Rusia.
Tanda-tanda NATO mempersiapkan balasan serangan berskala besar pun tidak terlihat. Saat Rusia mempersiapkan serangan ke Ukraina, terlihat penumpukan pasukan di sekitar perbatasan antara Ukraina dengan Rusia dan perbatasan antara Ukraina dengan Belarusia. Persiapan serangan tersebut tidak mungkin terjadi dalam tempo sebentar. Meskipun dibungkus dengan cerita bahwa Rusia dan Belarusia "hanya" sedang melaksanakan Latihan militer, penumpukan pasukan dengan jumlah kekuatan kurang lebih 120 ribu orang jelas tidak bisa dipandang remeh dan dilaksanakan dalam waktu berbulan-bulan. Apabila NATO memang berniat untuk konflik secara terbuka, maka tentunya mereka juga akan melaksanakan "Latihan militer" tandingan disekitar perbatasan Ukraina saat Rusia sedang melaksanakan mobilisasi pasukan. Hal tersebut tidak dilakukan menunjukkan bahwa sejak awal, langkah konfrontasi langsung memang tidak disiapkan oleh NATO apabila negara NATO tidak diserang.
Mengharapkan pasukan NATO menginjakkan kaki di Ukraina saat ini untuk menghadapi Rusia secara langsung menjadi sangat-sangat berisiko dan hampir tidak mungkin dilakukan. Dengan takaran akan menghadapi pasukan dengan kekuatan 120 ribu orang dari Rusia maka NATO, sesuai dengan doktrin pertempuran barat, harus menyiapkan sedikitnya kekuatan 3 kali lipat dari jumlah pasukan tersebut. Termasuk mobilisasi sejumlah peralatan perang lainnya yang tidak kalah rumitnya. Dan saat perang sudah terjadi, dengan tensi yang sangat tinggi, kerumitan dan resiko mobilisasi pasukan dalam jumlah besar meningkat berkali-kali lipat. Sebagai sedikit gambaran, mobilisasi tentara dengan truk standar militer Indonesia, Isuzu NPS 2,5 ton, dapat mengangkut 20 personil dengan perlengkapan tempurnya. Jadi, setidaknya perlu 18 ribu truk angkut personil standar militer Indonesia untuk menyiapkan pasukan NATO dalam menghadapi serangan Rusia di Ukraina dan persiapan ini  jelas perlu waktu dan ruang. Apabila NATO memang berniat terlibat secara fisik di Eropa Timur, pasti kita sudah melihat penumpukan pasukan mereka jauh sebelum Rusia menyerang Ukraina, dan kita tidak melihat hal itu hingga saat ini.
Sanksi ekonomi dan mengucilkan Rusia dari pergaulan dan perdagangan internasional adalah jalan yang dipilih oleh pihak barat untuk memaksa Vladimir Putin menghentikan agresi di Ukraina. Ide ini memang belum tentu berhasil cepat di negara otoriter seperti Rusia. Pihak barat mengharapkan masyarakat Rusia akan merasa kesulitan secara ekonomi dan menekan pemimpinnya untuk menghentikan kekerasan. Tapi sejauh ini, kita belum melihat hasil yang signifikan dari sanksi-sanksi yang sudah dilakukan. Hasil polling terakhir dari sebuah lembaga survey internasional menunjukkan bahwa keputusan untuk berperang di Ukraina masih didukung oleh sebagian besar masyarakat Rusia. Dan tentu saja, opresi pemerintah Rusia terhadap masyarakat yang menentang keputusan pemerintah untuk melaksanakan kekerasan di Ukraina memberikan efek jera kepada sedikit masyarakat yang bersuara berseberangan dengan pemerintah Rusia saat ini. Sanksi ekonomi mungkin akan berhasil, tapi akan membutuhkan waktu yang panjang untuk membentuk keberanian masyarakat Rusia melawan pemerintahnya sendiri akibat tekanan ekonomi. Dan saya pikir Putin sudah menghitung faktor tersebut. Faktor itu juga yang akan menjadi salah satu faktor penentu dalam perundingan-perundingan damai yang akan berlangsung nantinya.
Pihak barat memilih jalan damai pada konflik di Ukraina demi menghindari konflik yang lebih dahsyat. Berpikir logis dan menghindari kekerasan adalah suatu langkah yang mungkin bisa dikatakan mulia. Sekalipun serangan Rusia ke Ukraina dilakukan oleh Rusia untuk membela kepentingan nasional mereka, tindakan yang menyebabkan korban manusia dengan cara kekerasan demi mencapai tujuan adalah langkah yang akan sama-sama disesali oleh semua pihak di masa depan. Kedua pihak yang bertikai akhirnya akan meratapi para korban perang saat semua ini selesai. Dan semoga pengorbanan tersebut tidak sia-sia dan dilakukan untuk suatu tujuan yang mulia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H