Mohon tunggu...
MICKO SURYA DINATA
MICKO SURYA DINATA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Advokasi Hak Penyandang Disabilitas sebagai Gerakan Sosial Baru di Kota Semarang

18 Juni 2024   22:15 Diperbarui: 19 Juni 2024   01:17 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kota semarang telah menerbitkan Peraturan Daerah No. 9 Tahun 2021 tentang penyandang disabilitas, yang mengatur hak dan aksesibilitas penyandang disabilitas, meliputi hak kesehatan, pekerjaan, dan keagamaan sebagai turunan dari UU No. 8 Tahun 2016 tentang hak penyandang disabilitas di Indonesia. Perda ini merupakan wujud komitmen pemerintah Kota Semarang dalam mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas, yang jumlahnya cukup tinggi dengan data Dinas Sosial tahun 2019 menunjukan disabilitas fisik sebagai yang tertinggi (39,71%) dan disabilitas ganda sebagai yang terendah (4,81%). Berdasarkan badan pusat statistik, pada tahun 2019 terdapat 4864 penyandang disabilitas di Semarang dari total penduduk 1.814.110 jiwa (0,26%) dengan distribusi tertinggi di Kecamatan Tembalang (11,84%) dan terendah di Kecamatan Tugu (3,15%). Pendataan penyandang disabilitas yang lebih akurat di perlukan melalui pendekatan pintu ke pintu dengan melibatkan Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD). Meski begitu, data yang ada sering tidak mencerminkan realitas karena stigma masyarakat yang menganggap disabilitas sebagai aib, menyebabkan beberapa keluarga menyembunyikan anggota keluarganya yang disabilitas. Pandangan ini lebih umum di pedesaan, sementara di kota masyarakat lebih terbuka dan banyak melibatkan penyandang disabilitas dalam kegiatan kemasyarakatan, serta lebih terjangkau oleh program pemerintah, memudahkan komunikasi dan pemberdayaan.

Analisis Sosial Model Terhadap Kebijakan dan Data Penyandang Disabilitas di Kota Semarang

Pendekatan sosial model dalam disabilitas memandang bahwa disabilitas bukan disebabkan oleh kondisi fisik atau mental individu, melainkan oleh hambatan-hambatan sosial dan lingkungan yang menghalangi partisipasi penuh mereka dalam masyarakat. Berdasarkan Peraturan Daerah No. 9 Tahun 2021 tentang Penyandang Disabilitas di Kota Semarang, pemerintah kota telah menunjuk komitmen untuk menghilangkan hambatan-hambatan ini dengan mengatur hak dan aksesibilitas penyandang disabilitas. Namun, data dari Dinas Sosial tahun 2019 yang menunjukan jumlah disabilitas fisik tertinggi (39,71%) dan disabilitas ganda terendah (4,81%) serta distribusi penyandang disabilitas berdasarkan kecamatan mengindikasikan bahwa meskipun ada kebijakan tantangan dalam implementasi dan stigma sosial masih menjadi hambatan utama. Misalnya, tertinggi jumlah penyandang disabilitas di Kecamatan Tembalang mungkin mencerminkan akses lebih baik terhadap layanan dan pendapatan sementara di kecamatan dengan penduduk lebih sedikit, seperti Kecamatan Tugu penyandang disabilitas mungkin kurang terdata dengan baik dengan baik karena keterbatasan akses dan keterlibatan masyarakat.

Hambatan-hambatan sosial juga terlihat dalam pandangan masyarakat terhadap penyandang disabilitas, seperti yang diungkapkan oleh ketua Komunitas Sahabat Difabel. Sikap yang menganggap disabilitas sebagai sesuatu yang memalukan dan harus disembunyikan menunjukan adanya stigma kuat yang menjadi penghalang utama dalam pemberdayaan dan inklusi sosial penyandang disabilitas. Model Sosial mendukung gagasan bahwa sikap ini harus diubah melalui edukasi dan kampanye kesadaran untuk menghilangkan pandangan negatif dan memperlakukan penyandang disabilitas sebagai individu yang setara dan berhak mendapatkan kesempatan yang sama. Hal ini penting karena stigma yang ada tidak hanya mempengaruhi pendataan yang akurat tetapi juga akses penyandang disabilitas terhadap layanan dan program pemerintah yang dapat memberdayakan mereka.

Penerapan model sosial dalam kebijakan dan program Kota Semarang perlu lebih mengedepankan pendekatan inklusif yang melibatkan penyandang disabilitas dalam setiap proses, mulai dari perencanaan hingga evaluasi kebijakan. Keterlibatan Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD) dalam pendataan dari pintu ke pintu adalah langkah positif yang harus diperluas untuk memastikan data yang akurat dan representatif. Selain itu, program-program pemberdayaan perlu disesuaikan dengan kebutuhan spesifik penyandang disabilitas, dengan fokus pada penghapusan hambatan-hambatan fisik, sosial, dan ekonomi yang menghalangi partisipasi mereka. Dengan demikian, Kota Semarang dapat menjadi contoh penerapan model sosial yang efektif di mana penyandang disabilitas tidak hanya dilihat dari segi penerima tetapi juga sebagai kontributor aktif dalam masyarakat.

Analisis Human Right Model Terhadap Kebijakan dan Data Penyandang Disabilitas di Kota Semarang


Pendekatan human model right dalam konteks disabilitas menekankan bahwa setiap individu, termasuk penyandang disabilitas, memiliki hak-hak fundamental yang tidak dapat diabaikan. Peraturan Daerah No. 9 Tahun 2021 yang mengimplementasikan di Kota Semarang mencerminkan Prinsip-prinsip ini dengan mengatur hak-hak dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, sejaln dengan UU No. 8 Tahun 2016 tentang hak penyandang disabilitas di Indonesia. Namun, data dari Dinas Sosial tahun 2019 menunjukan bahwa masih ada ketidaksesuaian antara jumlah dan total penyandang disabilitas dan jumlah yang terdaftar secara akurat. Hali ini menunjukan bahwa hak-hak dasar penyandang disabilitas untuk diakui dan didukung belum sepenuhnya terpenuhi, karena pendataan yang akurat dapat menghambat akses mereka terhadap layanan yang sesuai dan perlindungan hukum yang tepat.

Dalam perspektif human right model penting untuk memastikan bahwa kebijakan dan program dan program yang ada benar-benar mencerminkan prinsip-prinsip hak asasi manusia, seperti kesetaraan, non-diskriminasi, dan partisipasi aktif penyandang disabilitas dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Hal ini mencangkup pendekatan inklusif dalam pendataan, dimana pendapat dan kebutuhan penyandang disabilitas diakui dan diprioritaskan. Selain itu, pemberdayaan masyarakat harus ditingkatkan melalui pendidikan dan kampanye kesadaran untuk mengubah sikap dan perilaku yang menghambat inklusi penyandang disabilitas dalam masyarakat.

Penerapan human right model dalam konteks penyandang disabilitas di Kota Semarang membutuhkan komitmen yang kuat dari pemerintah dan masyarakat untuk mengubah paradigma dari pandangan yang didasarkan pada belas kasihan menjadi pandangan yang didasarkan pada keadilan dan kesetaraan. Ini melibatkan penyedia layanan dan fasilitas yang ramah disabilitas seperti aksesibilitas fisik yang memadai dan akses ke pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan yang setara. Dengan memperkuat kerangka kebijakan yang berlandaskan hak asasi manusia, Kota Semarang dapat menciptakan lingkungan yang inklusif dan ramah disabilitas, dimana setiap individu termasuk penyandang disabilitas dapat hidup dengan martabat dan menjalani hidup secara mandiri dan bermakna.  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun