A. Â Â Pengertian Qadariyah
Secara bahasa, Qadariyah berasal dari kata bahasa Arab "qadara" yang mempunyai arti kuasa atau mampu, ketentuan atau ukuran, dan menyempitkan.Â
Sedangkan menurut istilah, adalah kelompok yang menolak qadar (ketetapan Tuhan), yaitu kelompok yang tidak percaya adanya ketetapan Tuhan terhadap segala perkara. Kelompok aliran ini menolak kepercayaan bahwa Allah SWT telah menetapkan segala urusan sebelum diciptaannya
Pekiran aliran ini, setiap seorang hamba Allah SWT adalah pencipta bagi segala perbuatannya, dia dapat berbuat semena mena atas sesuatu atau meninggalkan kehendaknya sendiri. Dalam Tarikhu al-Fikri al-Falsafi fi al-Islami, dapat dinyatakan pendapat yang sama dengan ungkapan di atas bahwasanya aliran Qadariyah adalah golongan yang berpegang pada kebebasan manusia memilih dalam tindakannya dan memiliki hak dalam berkehendak.
Sebagian besar orang berpendapat asal-usul nama Qadariyah menjadi nama bagi kelompok aliran ini karena mereka menolak adanya qadar Allah dan menentukan qadar bagi mereka. Sebagian lain berkaidah tidak ada larangan menamai sesuatukelompok  dengan menggunakan nama yang bertentangan dengan isi nama itu sendiri.[1]
B. Â Â Latar Belakang Munculnya Qadariyah
Ada perbedaan pendapat mengenai latar belakang kemunculan aliran Qadariyah. Menurut Harun Nasution, kemunculan Qadariyah erat kaitannya dengan masalah perbuatan manusia bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya.Â
Ibnu Taimiyah mengemukakan sejarah timbulnya pemahaman ini, Qadariyah muncul sebelum paham Jabariyah. Paham Qadariyah muncul pada periode terakhir sahabat, bahwasannya ketika timbul perdebatan tentang qadar dan ketetapan Tuhan. para ulama Salaf dan para Imam telah membantah pendirian kaum Qadariyah.
Menurut Ibnu Nabatah, seorang ahli dan penulis kitab Syahral 'uyun mengatakan bahwa orang yang mula-mula mengembangkan paham Qadariyah adalah penduduk Irak. Pada awal mulanya, ia seorang Nasrani kemudian masuk Islam dan akhirnya menjadi Nasrani lagi.Â
Dari orang inilah Ma'bad al-Juhani dan Ghailan ad-Dimasyqi mengambil paham Qadariyah. Dapat dipahami bahwa pengaruh keyakinan Masehian mempengaruhi munculnya aliran ini karena pada masa itu, kaum muslimin bersentuhan langsung dengan penganut agama Yahudi dan Nasrani.
Abu Zahrah kemudian menyimpulkan bahwa kaum muslimin pada akhir masa Khulafaurasyidin dan masa pemerintahan Muawiyah ramai membicarakan masalah qadla' dan qadar.
Namun demikian, meski para pakar berbeda pendapat tentang latar belakang kemunculan aliran Qadariyah, para ahli sejarah hampir sepakat bahwa Ma'bad al-Juhani adalah orang yang pertama kali di kalangan muslimin yang menyampaikan paham yang menafikan qadar dan kekuasaan ketuhanan, dan ini terjadi pada masa akhir periode sahabat.[2]
C. Â Â Paham Qadariyah
Nama Qadariyah sebenarnya merupakan ejekan terhadap pendapat mereka, berdasarkan Hadits Nabi yang artinya : "Kaum Qadariyah adalah Majusi Umat ini (Umat Islam)". Demikian pula Hadits lain yang artinya : "Golongan Qadariyah itu merupakan golongan yang menentang Allah dalam masalah qadar".
Dikatakan Majusinya umat Islam karena berpendapat bahwa Allah itu hanya berbuat baik saja, sedang yang membuat keburukan adalah manusia dan juga syaithon. Faham ini menimbulkan adanya dua pencipta, sebagaimana dalam agama Majusi (Zoroaster), yaitu mempercayai adanya Tuhan kebaikan dan Tuhan kejahatan.[3]
Riwayat Qadariyah ini sangat pendek, karena tokoh-tokohnya mati terbunuh dan terlibat politik. Meskipun secara formil Qadariyah sudah tidak ada, namun pokok pikirannya masih berkembang dan diteruskan oleh golongan Mu'tazilah. Oleh sebab itu, golongan Mu'tazilah sering juga disebut Qadariyah. [4]
Imam Al Asy'ari memandang bahwa paham Qadariyah adalah pengikut hawa nafsu, yang bertaqlid kepada pemimpin-pemimpinnya, paham ini telah menyimpang dari kebenaran.
Ketidaksetujuan dan pendapat terhadap Qadariyah seperti di atas dapat dipahami, bahwasannya apabila kita perhatikan ajaran-ajaran Qadariyah. Hal ini karena tinjauannya hanya kepada ayat-ayat ikhtiari saja serta memahaminya dengan kekuatan akal pikiran semata, tanpa memperhatikan ayat-ayat yang menunjukkan adanya kekuasaan Tuhan. [5]
Dari paham ini dapat disimpulkan bahwa doktrin Qadariyah pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat kebaikan atau berbuat kejahatan. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang ia lakukan dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang telah diperbuat.[6]
D. Â Â Pendapat Qadariyah
   Adapun pendapat-pendapatnya yang lain adalah :
- Bahwa Kalamullah (al-Qur'an) itu baru, oleh sebab itu adalah makhluk. Mereka menta'wilkan ayat-ayat al-Qur'an dengan akal semata-mata, tidak mengambil dari hadits Rasulullah maupun pendapat Salaf.
- Menafikan sifat-sifat Allah yang azali, seperti Ilmu, Kudrat, Hayat, dan lain-lain, juga menolak riwayat bahwa manusia dapat melihat Allah dengan mata kepala sendiri di akhirat nanti. Demikian pula menolak adanya siksa kubur.
- Mereka berpendapat bahwa sesungguhnya Allah hanya berbuat baik saja, sedang yang membuat buruk/jahat adalah syaithon. Â Â Â Â Â Â Â Â Dari sebagian pendapat-pendapat di atas dapatlah diketahui bahwa golongan Qadariyah sangat menghargai akal pikiran manusia. Menempatkan ikhtiar manusia dalam status yang tinggi melebihi kekuasan tuhannya, yang menentukan segala perbuatannya.[7]
KESIMPULAN
Beberapa pakar berbeda pendapat tentang latar belakang kemunculan aliran Qadariyah. Akan tetapi, para ahli sejarah hampir sepakat bahwa Ma'bad al-Juhani adalah orang pertama di kalangan muslimin yang menyampaikan paham yang menafikan qadar dan kekuasaan ketuhanan, dan ini terjadi pada masa akhir periode sahabat.
Ajaran-ajaran Qadariyah memang sangat berlebihan di dalam memberikan kemerdekaan kemauan dan berbuat bagi manusia, sehingga menghilangkan sama sekali Qudrat dan Iradat Allah. Hal ini karena tinjauannya hanya kepada ayat-ayat ikhtiari saja serta memahaminya dengan kekuatan akal pikiran semata, tanpa memperhatikan ayat-ayat yang menunjukkan adanya kekuasaan Tuhan. Apabila meninjau ayat-ayat al-Qur'an secara menyeluruh, kiranya tidak akan berpendapat demikian.
DAFTAR PUSTAKA
Burhanuddin, Nunu, Ilmu Kalam dari Tauhid menuju Keadilan, Jakarta: Prenadamedia Group, 2016.
Ishak, Muslim,  Sejarah dan Perkembangan Theologi Islam, Semarang: Duta      Grafika, 1988.
[1]Nunu Burhanuddin, Ilmu Kalam dari Tauhid menuju Keadilan, Jakarta: Prenadamedia Group, 2016, h.34.
[2]Ibid., h. 35.