Namaku Adel. Aku adalah seorang wanita berusia 38 tahun, dan sudah sejak 10 tahun lalu menikah dengan sorang laki-laki blasteran Eropa. Semenjak menikah dengannya aku langsung diboyong ke Amerika Serikat, negara besar yang sesungguhnya hanya ada dalam semua mimpi-mimpiku. Tapi 10 tahun yang lalu itu, atas dorongan orang tuaku juga maka aku akhirnya mengiyakan keinginan suami tercinta yang mengajakku untuk hidup di negeri orang. Kebetulan suamiku menjadi supervisor sebuah perusahan bonafide di jantung kota New York. The city that never sleep. Big Apple. Surga belanja dunia.
Awal mula aku berkenalan dengan suamiku memang serba kebetulan. Waktu itu di kampungku ada lomba bintang vokalia, karena aku memang gemar bersenandung, suaraku tinggi melengking, sopran satu, maka kala itu tanpa ragu-ragu aku pun mendaftar menjadi salah seorang peserta lomba tersebut. Pada waktu itu, penyandang dana tunggal terlaksananya acara tersebut menurut kabar burung, datang dari seorang lelaki separoh baya yang telah sukses besar di Amerika. Dialah lelaki yang kelak di kemudian hari menjadi suamiku. Nah, singkat cerita dari keberhasilanku menjadi juara 1 lomba tersebut semakin mendekatkan aku dengan lelaki yang bernama Edwine tersebut. Hanya sempat pacaran 3 bulan, saya pun diajak nikah olehnya. Bulan-bulan pertama kami menikah, rasanya hidup ini terasa amat sangat sempurna bagiku. Aku begitu bersyukur memiliki suami yang begitu sayang padaku dan selalu menomorsatukan aku. Tidak pernah aku menjadi nomor dua. Menomorduakan diriku tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Tapi kebahagiaanku ternyata hanya seumur jagung. Tidak berlangsung lama.N
Awal dari malapetaka rumah tangga kami bermula dari ajakannya menetap di Amerika yang saya iyakan itu. Waktu itu saya juga mengajak ibuku menemani kami berangkat ke Amerika. Harapanku sederhana saja, bahwa kalau ibu ikut maka setidak-tidaknya dapat menemaniku di kala suamiku tak ada di rumah. Namun untung tak dapat diraih, malang tak kuasa ditolak. Baru saja satu minggu menikmati negara makmur ini, mimpi buruk demi mimpi buruk sudah mulai berdatangan melanda hidupku. Belang suamiku baru terlihat setelah kita jauh dari Indonesia. Setelah kita hidup di negeri rantau. Pelangi indah ternyata tiada bertahan lama dalam kehidupan cinta dan rumah tanggaku.P
Rupa-rupanya di negeri orang itu, suamiku memiliki banyak teman wanita, dan hampir tiap malam mereka begadang di teras rumah pemberian perusahaannya yang sekarang kita tinggali, tepat di depan hidungku sendiri. Hati istri mana yang tak akan hancur melihat suaminya sendiri bercumbu rayu dengan wanita-wanita asing di depan mata sendiri. Minum-minuman keras, sambil bersenda gurau sampai jauh tengah malam, bahkan tak jarang ketika subuh menjelang barulah mereka mau beranjak pulang dari rumah kami. Pemandangan yang menimbulkan luka dan mengoyak-ngoyak sisi kewanitaanku. Bahkan membakar meluluhlantakan perasaan dan pikiranku. “Aku begitu mencintainya, tapi kenapa balasan ini yang harus kuterima ya Allah.” Doa yang kupanjatkan setiap malam.
Aku berusaha sekuat tenaga untuk mencoba mengerti, bahwa mungkin saja itu dilakukan suamiku karena capek di tempat kerja. Atau karena beban berat mendapat tekanan atasannya. Tapi masak sih harus dengan perempuan-perempuan lain.
Pernah suatu kali aku menawarinya secangkir kopi hasil seduhanku sendiri, tapi dengan kasarnya ia menepis cangkir kopi di tanganku sampai-sampai kopinya jatuh menghitamkan lantai, mungkin sehitam pikiranku saat itu. Dengan kasarnya ia lalu berkata, “Adel, kamu memang tidak becus ya jadi istri?”
“Lho apa salahku toh mas? Aku kan hanya membuatkanmu secangkir kopi, biasanyakan mas pulang kerja mesti minum kopi panas dulu baru mandi.”
“He! Dengar baik-baik yah, aku tidak butuh kopi darimu, lagian siapa juga yang nyuruh kamu bikin kopi buatku haaa?” Ketusnya dengan nada meninggi. Bukannya ucapan terima kasih yang kudapatkan tapi dampratan dan makian kasar yang selalu kuterima.
[caption id="attachment_411429" align="aligncenter" width="510" caption="Ilustrasi Kompasiana - Ajie Nugroho Kompasianer Hobi Jepret"][/caption]
Tidak ada satu hari pun yang kulalui tanpa makian dan bentakan dari suami yang sungguh sangat aku cintai dan kasihi dengan sepenuh hati. Ia yang begitu kukasihi dengan sepenuh jiwa, dan dengan setulus-tulusnya. Seseorang yang kepadanya sudah ku pertaruhkan segala hidup dan cintaku. Seseorang yang kepadanya tidak mungkin lagi aku berpaling atau mendua hati. Tetapi laki-laki yang sama itu jugalah yang merobek-robek hatiku, menorehkan luka yang teramat dalam.
Ulah suamiku membuatku sampai pada suatu titik dimana aku mulai mempertanyakan keadilan Tuhan. Bahwa hidup ini memang tidak adil. Apakah Tuhan benar-benar masih mengasihiku? Hatiku berontak melawan, tapi aku tersadar bahwa tidak boleh dan tidak sepantasnya aku mempersalahkan Tuhan, seberapa beratpun beban hidup ini harus kutanggung. Aku masih yakin seyakin-yakinnya bahwa hanya Dialah tempat satu-satunya bagiku untuk membagi segala keluh-kesahku. Bahwa Ia tidak akan pernah membiarkan aku jatuh sampai tergeletak. Dan bahwa tidak sekali pun ia akan meninggalkanku sendiri menanggung segala perkara dan beban berat ini. Tak putus-putusnya kuberdoa, meminta dengan amat sangat, supaya Tuhan menilik bahtera rumah tangga kami yang di ambang kehancuran. Kebahagiaan perkawinan tidak lagi pernah bisa kukecapi selama di Amerika.
Untuk menghibur diri, terkadang aku memilih jalan-jalan sendirian ke Madison Square Garden, atau sekedar ‘cuci mata’ di Macy’s dan juga di 42nd street yang melegenda itu. Hati memang sedikit terhibur berada di pusat-pusat keramaian seperti itu. “Hey girl, wazzup yo...!?” Seorang pria bule menegurku karena hampir menabrak dirinya di pintu masuk Macy’s. Itulah diriku, meskipun terhibur berada di pusat keramaian namun pikiranku tak bisa diajak kompromi untuk berkonsentrasi penuh.
***
Sudah dua bulan aku hidup seperti ini, tidak ada niatan untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik dari suamiku, bahkan situasinya justru semakin parah. Sekarang bukan hanya aku yang dibentakin dan dimarah-marahin tanpa sebab, ibuku juga mulai diperlakukan yang sama. Sepertinya keberadaan aku dan ibuku di rumahnya itu tidak lagi dibutuhkan. Kami tidak lagi diperlakukan sebagai istri dan ibu, melainkan diperlakukan begitu rupa bahkan lebih rendah dari orang-orang suruhan.
Semua urusan menyangkut dirinya kami yang kerjakan. Apapun yang diperintahkannya harus sesegera mungkin kami lakukan, termasuk hal-hal yang sebetulnya bisa dikerjakannya sendiri. Memang di Amerika kita itu seharusnya bisa dan harus hidup mandiri. Jarang sekali ada rumah tangga yang memiliki pembantu, kecuali orang-orang yang sangat kaya. Tidak dengan suamiku, ia semakin menjadi-jadi dan keenakan dalam menjalani hidup ini. Apalagi karirnya meningkat amat pesat, sekarang posisinya sudah menjadi Manager Sumber Daya Manusia di perusahaan tempatnya bekerja. Maka semakin angkuh dan congkaklah dia. Apa-apa mau dipamerkan ke teman-teman sejawatnya. Tak jarang ia membawa teman-temannya ke rumah, lalu dengan teganya mempertontonkan kehebatannya memerintah aku dan ibuku, laksana kami ini hanyalah budak belian yang tak ada harganya sama sekali. Ibuku pun seolah sudah habis air matanya, setiap hari selalu mencucurkan air mata tanpa henti. Belum sekalipun aku melihat ada hari dimana mata ibuku tak lembab oleh karena meneteskan butiran-butiran air mata yang amat menyedihkan dan menyayat hati itu.
Hingga akhirnya di puncak kesadaran ibuku menahan beban sakit hatinya yang tak tertahankan, ia pun akhirnya harus jatuh sakit. Tak tanggung-tanggung ia terkena stroke. Tak ada lagi yang bisa dikerjakan beliau di rumah itu selain hanya tidur dan menerima perawatan intensif dokter. Suamiku bukannya menaruh iba dan prihatin, malah ia memandang kejadian itu sebagai beban bagi hidupnya.
“Ibu kamu hanya akan menurunkan pamorku. Ia hanya akan membebani keuanganku dan mengotori rumah bersihku ini. Kirim pulang saja ibumu ke Indonesia!”
“Astagfirullah mas…dia kan ibuku berarti ibumu juga. Mana mungkin aku mengirimnya pulang begitu saja, kasihanilah ibu mas, tolonglah kami ini. Kami memang orang tak punya, entah kenapa juga mas mau menikah denganku…..tapi jangan perlakukan kami seperti ini dong mas, please.”
“Pokoknya aku tidak mau tahu, dalam minggu ini aku akan belikan ibumu tiket dan dia harus pulang!” Keputusan suamiku tak bisa ditawar lagi.
Akhirnya ibuku dikirim pulang ke Indonesia. Semenjak kepulangan ibuku ke kampung aku benar-benar menjadi lebih tertekan lagi. Sewaktu ada ibu, kita masih bisa saling berbagi, saling membantu dan saling mengerti satu sama lain. Sekarang aku benar-benar sendirian dan kesepian. Untunglah, bagi ibuku, di kampung sana ia masih ada kakak-adik yang mau merawatnya dengan tulus. Paling tidak itu mengurangi bebanku sepersekian persen.
***
“Hello good morning, M’am.” Suara keras dan tegas namun terdengar sangat berwibawa itu muncul dari seberang telepon pagi itu.
“Apakah ini dengan istrinya Sir Edwine?” Demikian suara itu bertanya.
“Iya, saya sendiri, ada apa ya pak?” Jawabku setengah gugup. Ada sebersit perasaan tak nyaman di hatiku. Entah apa dan mengapa.
Kalimat berikutnya dari orang itu, yang ternyata adalah salah satu atasan suamiku, datangnya seperti halilintar menyambar di telingaku. Merobek-robek seluruh keberadaan diriku. Mengoyak-ngoyak perasaanku yang paling dalam. Suamiku ternyata mengalami kecelakaan tepat di jalan raya depan kantornya. Kondisinya saat itu cukup kritis. Tanpa perlu diperintah bergegas ku sambar jacket kulit yang tergantung di sandaran kursi, lalu dengan segerea kucegat Yellow Cab Taxi yang selalu mangkal di jalanan depan.
“John F Kennedy Hospital sir” kusebutkan nama rumah sakit dimana suamiku terbaring tak berdaya. Dengan kecepatan tinggi, seakan tahu kalau aku diburu waktu sang driver memacu mobilnya begitu cepat, melewati jalan-jalan pintas yang sepertinya ia sudah hafal betul. Hanya butuh 30 menit baginya untuk sampai di pelataran rumah sakit megah itu. Aku membayarnya sekitar $30,- (plus tip tentunya.)
Menangis aku melihat suamiku yang terbaring tak sadarkan diri itu. Kaki dan tangan serta wajahnya diperban. Meskipun ia begitu acuh, begitu jahat dan kasar padaku tapi aku sangat mencintainya, dan tetap mencintainya. Cintaku padanya selalu saja melebihi rasa cintaku pada diriku sendiri. Bagiku, Tuhan sudah memberikan suami yang harus kujaga dan pertahankan, apa pun dan bagaimana pun keadaannya. Itu prinsipku. Ia tetaplah suamiku, dan akan tetap menjadi suamiku sampai kelak maut yang memisahkan kami.
Singkat cerita, sebulan setelah suamiku kecelakaan hidupnya berubah drastis, dan mungkin tidak akan pernah seperti dulu lagi. Ia benar-benar down. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan kecuali berbaring di tempat tidur dan sesekali mengelilingi rumah besarnya dengan kursi roda. Keangkuhan dan kesombongannya laksana sirna ditiup angin. Ia tak bisa apa-apa lagi, dan bukan siapa-siapa lagi. Dokter sudah membuat kesimpulan akhir. Ia mengalami kelumpuhan permanent, dan harus kehilangan tangan kirinya oleh karena mesti diamputasi. Semenjak peristiwa itu juga ia tak banyak bicara. Suamiku menjadi seorang yang sangat pendiam dan introvert. Ia benar-benar shock dan depresi berat, tak bisa menerima keadaannya seperti itu, bahwa ia bukan apa-apa lagi. Bahkan tak satu pun nona-nona Amerika temannya itu yang sudi mengunjunginya lagi. Itulah hidup. Seperti apa kata pribahasa, “Habis manis sepah dibuang” mungkin begitulah tepatnya keadaan suamiku diperlakukan teman-temannya.
Setiap hari aku bantu dia memakaikan bajunya, menyuapin dia karena tangan kanannya belum pulih benar, dan tak bisa digerakkan. Tak jarang aku gosok badannya dengan minyak urut sekedar demi menghangatkan tubuhnya, maklum udara di Amerika kan tidak menentu. Kadang panas kadang dingin datang menusuk tulang.
“Mas malam ini aku bikinin sup ayam kesukaanmu yah?
Sumiku hanya menatapku dengan pandangan kosong. Lalu tiba-tiba suamiku berkata dengan lirihnya “Adel, mendekatlah ke sini aku ingin bicara.”
Lalu aku pun duduk di sampingnya, “Ada apa toh mas?”
“Adel, kamu sungguh seperti malaikat. Setelah semua yang kulakukan padamu dan ibumu, masihkah kamu menaruh cinta yang begitu besar dan merawatku yang cacat tak berguna ini?”
Aku melihat jelas, lelaki yang tadinya kekar dan angkuh serta kasar, dan yang sombongnya minta ampun itu mulai meneteskan air matanya. Lelaki itu tak lagi mampu menahan tangisannya di depanku.
Suamiku masih melanjutkan kalimat yang membuat aku terpukul,
“Adel, kamu wanita yang baik, penuh welas asih, penuh kasih. Kamu pun masih muda dan cantik, aku akan segera menceraikan dirimu supaya kamu bisa menikah dengan laki-laki lain yang lebih pantas dan yang mampu membalas cintamu dengan tulus. Bukan aku. Aku sudah terlalu lama dan terlalu sering menyiksa kamu Del, sekarang sudah saatnya kamu bebas. Aku akan merelakan kamu pergi. Tidak perlu lagi kamu merawat dan mengurusi laki-laki lumpuh dan tak berdaya seperti diriku ini. Aku sadar, tidak layak dan pantas lagi aku bersanding dengan wanita luar biasa seperti dirimu.”
Aku menangis. Aku menangis karena sedih dan aku juga menangis bahagia karena kata-kata suamiku yang jauh dari kesan angkuh, sombong dan kasar yang selama ini melekat pada dirinya. Aku juga menangis karena pernyataannya yang akan menceraikanku demi kebahagiaanku aku.
“Mas, kalau aku mengiyakan permintaanmu itu berarti aku gagal sebagai istri. Aku gagal menjadi seorang istri yang baik, dan yang mampu menemani serta mendampingi mas di saat-saat terberat dalam hidup. Aku juga gagal menjadi penolong yang sepadan bagi mas. Kalau aku meninggalkan mas hanya karena mas sudah lumpuh dan tak berdaya, berarti aku juga gagal menjadi istri yang benar. Tapi kalau pun mas memintaku bercerai demi kebahagiaanku, itu juga salah besar. Kebahagiaanku hanya ada di sampingmu, ketika kita boleh seperti bulan pertama pernikahan kita. Kebahagiaanku adalah di sisimu mas, bukan jauh darimu. Jadi aku tidak akan pernah setuju kalau harus bercerai dan meninggalkan mas. Titik.”
Edwine lalu menarik lembut tanganku sembari berbisik “Tapi aku sudah terlalu banyak membuat kesalahan dan bikin kamu menderita Del.”
“Mas, bagiku tidak ada kesalahan yang tak bisa dimaafkan. Tidak ada luka yang tak bisa disembuhkan. Apa pun itu dan bagaimana pun kamu akan tetap menjadi suamiku. Yang aku kasihi dengan tulus dan masih aku cintai dengan amat sangat.”
Suamiku tak sanggup lagi mengangkat wajahnya. Ia hanya tertunduk. Dan mungkin berdoa. Sepertiku yang juga berdoa karena Tuhan menjawab permohonanku minta tolong.
Hatiku merasakan damai yang tak terhingga. Dan juga merasakan kebahagiaan yang sudah lama hilang. Seakan-akan damai dalam keluarga yang telah lama hilang merekah kembali. Cinta suamiku yang seakan sudah lama memudar, kembali tertata dan bergelayut mesra dalam asa dan anganku. Tapi juga bukan hanya dalam angan, melainkan dalam realita kehidupan kami. Berkat-berkat kembali mulai mengalir dalam keluarga kami. Buah hati yang sudah bertahun-tahun tak kunjung datang, yang mungkin juga adalah salah satu pemicu keretakan keluarga, kini menyambangi kami dalam harap. Aku sudah mengandung buah kasih cinta kami. Ya, memang sudah dua minggu ini aku mengandung benih cinta di antara kami (tentu setelah keeratan itu kembali hadir.)
Pagi ini, aku harus belanja ke supermarket untuk keperluan sehari-hari. Dan di atas meja kamar tidur suamiku, sudah kubikinkan secangkir kopi hangat yang telah kuaduk penuh rasa cinta. Aroma kopi itu sudah melingkupi seisi kamar. Aroma dan kehangatan cintaku yang tak akan pernah pudar dimakan zaman. Sampai kelak benar-benar maut yang akhirnya akan memisahkan kami. Tak lupa di sebelah secangkir kopi itu aku letakkan sepucuk surat berisi beberapa kalimat:
“……Suamiku, biarlah tidurmu tadi malam berisi mimpi indah tentang hari depan kita. Biarlah cinta kita tak ternodai lagi dengan apapun. Sesudah kamu bangun, minumlah kopi cinta yang sudah kubuatkan itu. Kalau aku tidak ada di rumah, bukan berarti aku lari dari rumah…..tapi aku lagi belanja keperluan kita. Di samping itu aku lagi cari mangga muda. Kayaknya aku ngidam mangga muda. Jangan lupa, aku kan lagi hamil anak kita…buah cinta kita….Dan ingatlah satu hal. Bahwa Tuhan tidak pernah mengecewakan kita, Ia tidak pernah meninggalkan perbuatan tanganNya. Bukankah Ia juga sudah mengembalikan kamu ke sisiku?”
Dari istrimu yang begitu menyayangimu,
Adel.
XXX
Catatan penulis: Intisari dari kisah ini diceritakan oleh sahabat lama penulis, teman semasa kecil, dan kawan bermain sewaktu kanak-kanak. Seseorang yang bagi penulis adalah sosok mengagumkan dengan segudang prilaku yang pantas diancungi jempol, serta memiliki dedikasi dan kesetiaan yang luar biasa. Nama tokoh dalam cerita ini bukanlah nama asli.