Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pentingnya Menghargai Perbedaan Agama Dalam Konstelasi PILPRES 2014

16 Juni 2014   23:55 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:27 2036
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

HIDUP di dunia yang serba berbeda adalah suatu keniscayaan. Kita tidak dapat menolak perbedaan. Bahkan perbedaan dan keberagaman itu sendiri sudah ada sejak kita dilahirkan. Perbedaan dan keberagamaan adalah sesuatu yang hakiki, bahkan pun sejak Tuhan menciptakan dunia dan segala isinya ini, Ia juga menciptakan perbedaan dan keragama. Dengan kata lain perbedaan itu adalah kehendak Tuhan yang tidak bias kita tawar-tawar. Keberagaman adalah kekayaan. Semakin beragam maka akan semakin kaya kita. Namun terkadang justru keberagaman itu dianggap sebagai malapetaka atau bencana. Acap kali keberagaman agama-agama yang ada justru memunculkan banyak pertikaian dan peperangan, sesuatu yang amat sangat disayangkan. Agama yang harusnya menjadi berkat bagi sesama manusia, malahan menjadi yang sebaliknya. Ini tentu tidak bisa kita generalisasi bahwa setiap peristiwa itu diakibatkan oleh semua individu pemeluk agama, namun biasanya hanyalah oleh ulah beberapa pengikut garis keras agama tersebut.

Di tiap agama memang mesti diakui terdapat orang-orang bergaris keras. Orang-orang berhaluan garis keras ini mungkin saja tidak banyak jumlahnya, mereka hanya sebagian kecil dari keseluruhan pemeluk agama yang mereka wakili, namun suara mereka amat lantang dan keras. Mereka dikenal dengan macam-macam sebutan, umpamanya radikal, ekstrem, intoleran, fanatik buta, atau juga fundamentalis. Tapi olehkarena akibat ulah sekelompok pemeluk agama garis keras itu, terjadilah konflik dimana-mana dan berlangsung secara luas. Imbasnya adalah banyak pengikut agama lainnya ikut terbawa dan terhasut. Ini menjadi penyulut terjadinya konflik yang lebih besar lagi..

Sekarang kita sementara memasuki masa-masa “kritis” pemilihan presiden. Hanya dalam hitungan hari kita akan mendapatkan Presiden baru pilihan rakyat. Semua cara sudah dilakukan oleh kubu kedua belah pihak. Dan ternyata, dalam situasi seperti ini, sentimen keagamaan masih saja dibawa-bawa, dijadikan sebagai alat propaganda dan sarana mempengaruhi massa pendukung. Koran Obor Rakyat adalah salah satu contoh penistaan berlebihan hanya karena pilihan yang berbeda. Kelatahan menggunakan sentiment keagaman sebagai alat mencapai tujuan, di lain sisi menunjukkan kekerdilan cara kita berpikir. Ketika agama dipolitisasi, dan atau sebaliknya ketika politik ‘diagamisasi’, ini akan menjadi sangat rentan, dan mudah menjadi pemicu.

Dalam konteks pemilihan Presiden saat ini, yang hanya menyisakan dua calon saja, tentu akan memunculkan dua kepentingan besar, dua agenda besar, dan dua perbedaan besar yang bergerak di sana. Kita kemudian tidak serta merta bisa lari dari perbedaan dan benturan-benturan yang terjadi di sana. Kita mesti siap menghadapinya. Itulah sebabnya keniscayaan perbedaan ini harus kita terima dengan bijak.

Bukankah dalam rangkaian isi dari visi – misi kedua Capres-Cawapres, baik itu Jokowi-Jk maupun Prabowo-Hatta, adalah memperjuangkan banyak hal baik yang sama-sama kedengaran manis di telinga kita? Oleh sebab itu, bila dua-duanya bermaksud untuk menjadikan Indonesia ini lebih baik dan lebih bermartabat, maka cara-cara yang dipakai dalam mewujudkan tujuan-tujuan tersebut perlu juga ditelaah dan dikritisi. Apakah kita sudah berpolitik dengan baik dan benar? Apakah kita sudah berkampanye dengan baik dan benar? Ataukah kita malah menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan. Apakah kita masih suka menggunakan sentimen keagamaan demi meraih apa yang ingin kita capai?

Kita tidak boleh menutup mata terhadap sejarah. Konflik antar umat beragama dan bahkan dalam lingkup umat seagama sudah terjadi di hampir seluruh belahan dunia. Misalnya sebagai contoh, konflik orang Kristen Protestan dan Kristen Katolik di Irlandia, orang Muslim Sunni dan Muslim Syiah di Iran, orang Sikh dan Hindu di India, orang Buddha dan Muslim di Thailand, orang Muslim Sunni dan Muslim Ahmadiyah di Pakistan, orang Kristen dan Muslim di Lebanon, orang Hindu dan Buddha di Srilanka, orang Muslim moderat dan Muslim gerakan Islamis di Tunisia, dan masih banyak contoh lainnya. Itu belum termasuk berbagai macam konflik keagamaan yang terjadi di negeri kita sendiri, Indonesia.

Dalam konflik-konflik seperti itu apa yang kemudian terjadi? Orang akan saling serang, saling melukai, dan bahkan saling bunuh. Rumah ibadah dilempari dan kalau perlu dibakar. Kitab-kitab suci dihancurkan dan dimusnahkan. Ketika ditanya demi nama siapa, semua bakalan menjawab demi nama Allah. Demi nama Tuhan. Ini yang mesti kita pikirkan sekali lagi, apakah kita saling benci dan saling serang adalah demi nama Allah? Bayangkan saja Tuhan di atas sana akan melihat kita dengan bingungnya, ketika didapatinya kita sedang saling serang dan bunuh satu sama lain mengatasnamai Dia. Apakah ini cara kita mengagungkan nama Tuhan? Cara kita menyatakan cinta kasih Tuhan? Atau jangan-jangan agama sudah dipakai dan diperalat sebagai propaganda kedengkian serta kebencian. Memunculkan bibit-bibit angkara murka bagi sesama manusia? (Dr. Andar Ismail – Selamat Berpadu).

Bilamana produk religiositas adalah konflik, apalah gunanya kita hidup beragama? Ketika agama kemundian lantas hanya mendatangkan mudarat daripada manfaat, untuk apa kita selalu hadir di rumah-rumah peribadatan, mengagungkan dan memuliakan nama Tuhan? Dan kalau agama hanya membentuk sekat-sekat dan semakin mengkotak-kotakkan kita, alangkah kasihannya para pendiri agama mula-mula, mereka yang tentu bertujuan sangat mulia itu, oleh karena ternyata kita tidak memaknai agama itu seperti apa yang mereka harapkan. Bukankah sangat tidak mungkin agama didirikan sebagai alat pertikaian dan sarana pemecah belah?

Beberapa hari lagi kita akan memiliki Presiden baru. Siapapun yang terpilih nanti, hendaknya ia adalah seseorang yang mampu mempertahankan bingkai NKRI ini berfilosofikan Bhinneka Tunggal Ika. Hendaklah juga, ia adalah seseorang yang punya niat tulus menjaga kemurnian pemilihan Presiden 2014 ini, selama masa kampanye, pun seusai kampanye dan saat ketika ia terpilih sebagai Presiden. Menyitir apa yang dikatakan Mpu Tantular dalam Kitab Sutasoma, “Bhinneka Tunggal Ika”, saya berkeyakinan bahwa seberapa berbedapun keyakinan dan pilihan kita, serempak kita mesti lantang bersuara bahwa kita semua tetaplah satu jua. Satu nusa. Satu bangsa. Satu bahasa. Satu harapan: Indonesia yang lebih baik, lebih maju, lebih sejahtera, dan lebih bermartabat. Semoga. ---Michael Sendow---


"Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai bentuk-bentuk perbedaan dalam kehidupan berbangsa. Individu yang besar adalah orang-orang yang siap untuk berbeda, dan sanggup hidup dalam perbedaan...MS"

#menghargaiperbedaan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun