Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Mutiara Belum Terjamah, Pantai Lopana

10 September 2014   20:26 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:05 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_341924" align="aligncenter" width="603" caption="Pantai Lopana (Dok. Pribadi)"][/caption]

Tak disangsikan lagi, terdiri lebih dari 13 ribu pulau (tadinya 17 ribu pulau), menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Kita dapat menyaksikan dan terkagum-kagum melihat bentangan keindahan alam nan rupawan yang tak perlu diragukan lagi dari Sabang sampai Merauke. Juga, sudah sejak jaman dulu, bangsa kita ini ternyata sudah dikenal sebagai bangsa maritim. Bangsa kita adalah ‘raja’ di laut dengan memiliki pelaut-pelaut yang sangat tangguh. Makanya bangsa kita sudah selayaknya untuk berbangga diri, dan dengan lantangnya terus berucap “Di lautan kita berjaya….”

Dengan segala keunikan dan keindahan lautnya, bangsa kita melalui rentang sejarah yang amat panjang, sudah membuktikan kepada dunia luar, bahwa keindahan pantai-pantai kita memanglah sangat tak terkirakan. Turis-turis pun serempak berdatangan ingin melihat secara langsung melihat betapa indahnya pantai-pantai di Indonesia tersebut, bukan hanya isapan jempol semata. Ada Pulau Hoga di Taman Nasional Laut Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Ada pula Bunaken yang sudah mendunia di Sulawesi Utara. Ada Raja Ampat di Papua Barat. Ada Bali yang melegenda itu. Ada Togean di Sulawesi Tengah. Dan masih banyak lagi pantai-pantai indah yang dengan mudah dapat ditemukan tersebar merata di seluruh Nusantara kita ini.

Pada kesempatan kali ini, saya ingin mengajak kita sekalian untuk berkunjung dan jalan-jalan ke daerah asal saya, yang sudah begitu lama saya tinggalkan namun akhir-akhir ini mulai sering saya kunjungi. Kenapa ke situ yah? Karena di desa itulah saya ingin memperkenalkan sebuah pantai yang indah namun belum begitu di kenal banyak orang. DesaLopana dan nama pantainya adalah Pantai Lopana. Desa Lopana terletak di salah satu ujung bagian Selatan Kabupaten Minahasa. Lokasi ini memang belum begitu banyak dikenal. Sama sekali belum menasional apalagi mendunia. Padahal, sesungguhnya potensi wisata di Pantai Lopana kalau diseriusi pemerintah, saya amat sangat yakin akan banyak sekali turis yang datang berkunjung ke sana. Syukur-syukur mau menetap di sana hehehehe.

Singkat cerita, kala itu saya berkesempatan mengunjungi kembali Pantai Lopana setelah belasan tahun tidak menyambanginya. Ini bagi saya adalah sebuah ‘berkah’ tersendiri, karena bagi saya Lopana itu adalah ibarat mutiara indah yang belum terjamah. Pantai Lopana adalah satu di antara sedikit pantai alami yang menyajikan rupa-rupa pengetahuan serta keindahan terpendam kepada setiap pengunjung. Kita dapat belajar kehidupan biota laut, sosial kemasyarakatan, budaya nelayan setempat, karakteristik laut, dan lain sebagainya. Dari Manado saya menempuhnya sekitar 1 jam lebih, ya lumayan dekatlah (atau mungkin lumayan jauh bagi sebagian orang), tergantung kebiasaan kita berkendaraan di jalan tentu saja.

Sebelum memasuki Desa Lopana kita mesti melewati dulu beberapa desa, seperti Desa Matani dan Tumpaan. Nah, di dua desa ini mata kita sudah disuguhi dengan pemandangan yang luar biasa indah. Ada dataran tinggi dan dataran rendah. Di pinggiran jalan kiri dan kanan terhampar sawah-sawah hijau menguning. Di latar belakangnya kita dapat melihat deretan pohon-pohon kelapa yang rupanya menjadi mata pencaharian utama para petani di sana. Di samping itu jejeran perahu-perahu nelayan juga sudah mulai terlihat di sebelah kanan jalan. Jadi, selain bertani, sebagian besar penduduk di sana juga berprofesi sebagai nelayan.

Sekitar 10 menit dari ke dua desa tersebut saya sudah memasuki ke Desa Lopana, tujuan perkunjungan saya kali itu. Desa Lopana juga dimayoritasi oleh para petani dan nelayan, sama seperti desa-desa tetangganya. Bahkan ada yang “rangkap jabatan”, sebagai petani dan nelayan. Keterangan itu saya peroleh sendiri dari kesaksian Om Freddy, warga Desa Lopana yang selain sebagai petani juga merangkap sebagai nelayan. Hal itu dilakukan katanya untuk mencukup-cukupi kebutuhan sehari-hari dalam keluarga. Namun kini Om Freddy sudah pergi jauh ke Timika Papua, untuk mengadu nasib di sana, berharap mendapatkan sesuatu yang lebih baik.

Setelah sampai di Lopana, saya mencari-cari lokasi paling dekat ke Pantai dimana saya dapat memarkir mobil. Akhirnya ketemu. Saya mengunakan ‘parkiran’ di kintal (pekarangan) salah seorang warga yang memiliki halaman lumayan luas. “Om boleh parkir oto di sini toh?” (Om bisa parkir mobil di sini kan?). Demikianlah saya meminta ijin untuk parkir mobil di halaman rumahnya, dengan dialek (logat) Manado yang masih lumayan kental. Pemilik rumah itu mengiyakan dengan senyum lebarnya yang amat sangat ramah menurut saya, “Oh iyo, ndak apa-apa parkir jo di situ tu oto, aman kwa…” (Oh iya, tidak apa-apa parkir saja mobilnya di situ, aman…) balas om itu dengan logat Manado yang sangat kental.

Setelah memarkir mobil dan memberi salam serta bercakap-cakap sebentar dengan pemilik rumah, yang ternyata masih kenalan jauh ibu saya, warga asli Desa Lopana, saya pun bergegas mengambil perlengkapan jepret-jepret saya dan buru-buru berjalan menuju pantainya, maklum hari masih pagi sekali, saya berpikiran bahwa pagi hari adalah saat sangat bagus untuk mengabadikan momen-momen pinggir pantai yang pastinya akan membuat mata kita memujanya dengan tak berkedip.

Desa Lopana memang terletak di pinggir pantai, jadi saya hanya perlu menyusuri jalan-jalan setapak di antara rumah-rumah penduduk untuk mencapainya. Sebetulnya saya masih harus menyeberangi sebuah sungai untuk dapat mencapai pantainya. Namun ternyata sungai tersebut kini sudah kering tertimbun jutaan ton pasir. Air sungai sudah terbelokkan arahnya menuju pantai di bagian yang lain desa ini. Setelah tanya kiri kanan, ternyata hal itu diakibatkan oleh letusan gunung Soputan beberapa waktu yang lalu, yang lantas letusan tersebut kemudian mengirimkan butiran-butiran pasir gunungnya melalui anak sungai, hingga mencapai Desa Lopana dan akhirnya ke Pantai Lopana. Makanya tidak mengherankan ketika sampai di pantai saya melihat ada begitu banyak roda sapi (pedati) dan truk-truk yang mengangkut pasir-pasir membukit hasil kiriman Gunung Soputan itu. Pasir-pasir kiriman itu kemudian menjadi bisnis tambahan bagi warga sekitar, dengan cara mereka mengumpulkannya dan menjualnya ke yang membutuhkan pasir untuk bahan bangunan umpamanya.

[caption id="attachment_341925" align="aligncenter" width="554" caption="Keindahan Pantai Lopana. Nampak beberapa anggota keluarga seorang nelayan yang mengantarnya untuk mencari ikan, tentu saja sebagai upaya untuk terus menghidupi keluarganya (Dok.Pribadi)"]

14103282011737469641
14103282011737469641
[/caption]

Sesampainya di lokasi yang sayatuju, hidung saya langsung mencium aroma khas pantai. Bebauan yang sangat khas itu seperti merobek ruang-ruang dalam rongga penciuman saya, sekaligus menstimulasi syaraf-syaraf saya dalam menatap keagungan ciptaan Tuhan di hadapan saya itu. Terkagum-kagum. Mata saya hampir tak berkedip menyaksikan keindahan alami tiada taranya itu, seraya menyeruput es kelapa muda, minuman kesayangan saya yang selalu hadir kemanapun saya berwisata, saya menyaksikan hamparan laut membiru, diselimuti langit yang juga biru, dan tentu dihiasi perahu-perahu nelayan menebar jala demi mencari ikan buat hidup sekeluarga.

Di latar belakang Pantai Lopana juga saya masih tetap akan selalu tertegun melihat bersihnya pasir pantai itu di mana saya dapat tidur dengan nyamanya sambil menikmati gorengan pisang yang saya beli di pedagang pisang goreng pinggri jalan. Jauh di sudut kanan dari spot yang saya pilih, Nampak jelas teluk Amurang dan semacam pondokan-pondokan (sabuah) tempat tinggal yang tertata apik, berada tepat di bibir pantai. Ada juga pepohonan rimbun yang saya tidak tau apa nama pohon-pohon itu. Dan, yang pasti di sekitar pinggiran pantai banyak sekali pohon nyiur yang selalu melambai-lambai tertiup semilir angin sepoi-sepoi. Uuuuhhh memesona banget pokoknya situasi, suasana, dan pemandangannya.

Saya menghabiskan waktu cukup lama di Pantai Lopana. Sempat mewawancarai pemilik roda sapi yang sementara mengangkut timbunan pasir. Saya juga sempat menanyai nelayan yang baru saja mau melaut. Sang nelayan itu mengatakan bahwa ia memang harus melaut setiap hari, hujan atau panas. Ini semua dilakoninya tanpa mengeluh adalah diolehkarenakan hanya itulah mata pencaharian utamanya. “Kalu nyanda mangael di laut, mo makang apa kasiang kita pe keluarga…” (Kalau tidak melaut untuk mencari ikan, mau makan apa keluarga saya nantinya?)

14103290791149617512
14103290791149617512


Waktu itu, saya jalan-jalan berwisata ke Pantai Lopana pada hari Sabtu pagi, toh suasana di sekitar pantai masilah begitu sepi. Tak banyak dijumpai pengunjung dari luar daerah. Paling yang datang berkunjung hanyalah penduduk setempat, dan ada juga sedikit yang dari Manado serta sekitar Minahasa. Pantai Lopana indah rupawan. Mampu membuai pengunjungnya untuk menghilangkan kesuntukan dan hectic-nya kehidupan kota besar. Namun memang pantai ini belum mendapat jamahan khusus oleh pemerintah sekitar, pun juga oleh pemerintah pusat. Padahal, saya berani bertaruh, kalau diseriusi dan dipromosikan besar-besaran. Fasilitas sekitar Lopana juga dibangun dan dirapikan, maka pantai ini tidak akan kalah dibanding pantai-pantai lain yang ada di Nusantara ini. Dijamin!

Setelah siang tiba, waktunya untuk makan siang, saya langsung menuju mobil dan bergerak menuju Amurang. Kota Amurang ini adalah ‘ibukota Minsel’. Dapat dikatakan kota termaju di seluruh Minahasa Selatan itu. Perjalanan dari Desa Lopana hanya memakan waktu sekitar 7-10 menit. Di Amuranglah saya membiarkan perut saya yang sudah do re mi fa sol keroncongan itu terisi penuh. Apa menu hari itu kira-kira? Jangan ditanya. Karena sudah pasti ikan bakar segala macam jenis. Di sini Anda tinggal pilih mau makan ikan bakar yang seperti apa. Goropa, gorango, tuna, cakalang dan sebagainya. Saya pilih yang sangat pedes, maklum lidah saya memang lidah Minahasa asli he he he. Goropa Bakar Rica, itulah pilihan saya, ditemani sayur bunga pepaya. Adodoe, memang pe nikmat deng sadaaaaap sekali…Saya menyantapnya sampai ludes. Piring saya bersih tanpa sisa. Kecuali tulangnya tentu saja, karena saya tidak makan tulang. Habis itu saya mengunci acara makan siang dengan mencuci mulut lewat segelas es ‘advocado garo’. Tetap saja, tak lupa juga diakhir santap-santap itu, saya kembali menikmati es kelapa muda. Maka lengkaplah sudah kenikmatan saya di Lopana dan Amurang. Kini tiba waktunya untuk kembali ke Manado, dan selanjutnya istirahat barang sejenak untuk kemudian terbang ke Jakarta di malam hari.

Demikianlah sepenggal kisah perjalanan dan jalan-jalan saya yang tak terlupakan ke Pantai Lopana di Minahasa Selatan. Perjalanan panjang, sedikit melelahkan, namun tiada pernah kusesali. Keindahan Pantai Lopana pastilah akan terus membekas di dalam ingatan saya. Dan ingatan itu pulalah yang kelak akan membuat saya sanggup mengajak kawan-kawan saya yang lain di Jakarta untuk mempersiapkan diri pada liburan-liburan berikutnya, supaya mau berkunjung ke Lopana. Ya, itung-itung buat promosi juga sih… Sebab kalau bukan dari kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Kan belum banyak orang yang pernah menikmati indahnya Pantai Lopana itu? Okelah, apakah Anda mau menjadi salah satunya juga? Ayo segeralah berkunjung ke sana… Saya doakan duit Anda terkumpul banyak, rejeki juga banyak yang mengalir datang supaya bisa berkunjung ke sana. Pssssssttttt…! Jangan lupa ajak-ajak saya yah. Amin.

---Michael Sendow---

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun