Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Merdeka Tapi Masih Terjajah!

17 Agustus 2011   05:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:42 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Merdeka Tapi Masih Terjajah

Dari jaman nenek moyang kita, Indonesia ini terkenal sebagai negara yang kaya. Artinya negara ini menyimpan potensi kekayaan alam yang maha dahsyat. Tapi kenapa rakyat miskinnya tetap banyak dan semakin bertambah? Janganlah kemudian kita semua mengatakan bahwa itu karena faktor kemalasan! Sebab menurut data BPS ada sekitar 30-an juta orang yang kehidupannya sangat tidak layak. Berada jauh di bawah garis kemiskinan, masak sih 30-an juta orang miskin itu menjadi miskin karena malas? Atau bisa jadi mereka yang memang sudah miskin menjadi tambah miskin karena salah urus negara ini? Korupsi dan kolusi merajalela di mana-mana. Tidak lagi ada perasaan berdosa untuk mengambil yang bukan miliknya? Dan apakah juga karena pendidikan agamanya yang kurang? “Aaaaah, tak taulah…” kata banyak orang.

Kita juga rupa-rupanya belum mampu mengoptimalkan sumber-sumber daya yang ada. Apa karena kebanyakan sibuk gontok-gontokan memperebutkan kekuasaan? Mari kita lihat lebih dalam lagi membuka fakta-fakta perangsang ‘syaraf berpikir’ kita:

Bukankah singkong merupakan ciri khas negara kita dan merupakan makanan pokok ketiga setelah beras dan jagung? Tapi kok kenapa ya kita masih mengimport singkong dari Italia dan Cina?  Menurut BPS kita mengimport ubi kayu dengan total 4.73 ton dengan nilai 21.9 ribu USD (Jan-Juni 2011). Walaupun negara kita punya Pulau Garam, toh kita masih mengimport garam dari Australia, India, Singapore, Selandia Baru dan Jerman yang banyaknya alamak! Mencapai 1.80 juta ton dengan nilai 95.42 juta USD (Januari-Juni 2011).

Padahal sejak jaman ekspedisi Cheng Ho tahun 1405-1432 kemudian ekspedisi-ekspedisi selanjutnya yang datang ke Indonesia adalah karena ketertarikan mereka akan rempah-rempah dan sumber daya alam yang kita miliki. Bahkan Belanda dan Jepang sempat mengecapi nikmatnya kekayaan alam kita. Tapi mari kita lihat kenyataannya kini. Justru kita tetap kekurangan di tengah-tengah keberlimpahan kita, ada apa ini?  Menurut data BPS kita malah mengimport cabe segar dingin dari Vietnam dan India sebanyak 112 ton dengan nilai sekitar 90-an ribu USD, itu khusus untuk data 1 bulan doang! (Bulan Juni).  Untuk bulan yang sama kita juga sudah mengimport  bawang putih dari Cina dan Taiwan sebesar 33,471 USD. Bawang merah? Import lagi…import lagi….itu tuh untuk bulan juni saja sebanyak 18,918 ribu ton. Jadi apakah negara kita tidak mampu mengolah sumber daya alam sendiri atau….?

Jangan-jangan salah urus dan mental koruplah yang membuat negara kita dan sebagian besar penduduknya tetap miskin di tengah-tengah kekayaan yang berlimpah. Tetap terjajah ketika pekik kemerdekaan mengumandang di mana-mana.

Kita sudah merdeka sejak 1945. Oleh karenanya merdekakanlah banyak hal. Bebaskanlah banyak hal. Termasuk keterbelengguan kita oleh “mental penjajah” dan keterikatan serta ketertarikan kita terhadap mental koruptor. Jangan sampai deh punya pemikiran…”Apa-apa buat saya semata. Apapun caranya. Yang lain boleh mati, saya tidak!” Merampaskan kemerdekaan dan kebebasan orang lain, kemerdekaan rakyat sendiri, kemerdekaan fakir miskin dan anak-anak terlantar.

Akhirnya ijinkanlah pula saya meneriakkan pekik “MERDEKA!”  Ingat, 17 Agustus 1945 kita bebas dari belenggu penjajahan. Kita merdeka dari para penjajah. Tapi sepertinya roh penjajahan masih melayang-layang hingga kekinian. Kita masih harus bebas dari buta huruf, kemiskinan, keterbelakangan, diskriminasi dan rasialisme. Kita juga harus membebaskan diri dari “budaya jajah”. Boss menjajah anak buah. Manager menjajah karyawan. Atasan menjajah bawahan. Guru menjajah murid. Tokoh agama menjajah umat. Pemimpin negara menjajah rakyat. Wakil rakyat menjajah yang mereka wakili, dan sebagainya itu. Lagi-lagi saya harus rela bersedih. Kita belum sepenuhnya merdeka, coba lihat cita-cita Pasal 34 UUD 1945 yang hanya isapan jempol belaka: “Pembangunan itu adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Nyatanya? Hanya milik segelintir orang.

Jadikanlah berkibarnya Merah Putih sebagai simbol kesucian dan keberanian pada aras yang benar. Bahwa kemerdekaan itu sejatinya adalah milik setiap warga dan semua anak bangsa. Oleh karenanya jangan pernah membelenggu dan menjajah penduduk negeri dengan kekuasaan dan jabatan. Kalau kemerdekaan dan kebebasan dirampas, sama artinya dengan merah putih kembali diturunkan. Dan tiada gunanya upacara memperingati hari kemerdekaan itu selalu kita laksanakan dengan rasa haru dan tetesan air mata.

Perjuangan kita melawan penjajahan bersenjata itu memang telah usai. Tapi melawan keserakahan, ketamakkan yang berujung pada korupsi serta tindakan manipulatif belumlah usai, bahkan mungkin baru dimulai. Perjuangan memerdekakan yang miskin, yang papah, yang tertinggal, yang terisoler, yang tertindas, masilah panjang. Perjuangan membebaskan yang buta huruf, putus sekolah, pengangguran barulah setengah jalan, masih ada jalan panjang yang harus dilalui.

"Dirgahayu Republik Indonesia"

Kalau sudah? Ya Sekali MERDEKA tetap MERDEKA!

17 Agustus 2011,

Michael Sendow.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun