Seberapa Penting Personal Branding di Kompasiana?
[caption id="attachment_125594" align="aligncenter" width="640" caption="From: Carevolution Site"][/caption]
Banyak tulisan telah menggagas tentang pentingnya personal branding. Banyak yang mengutarakan bahwa personal branding itu penting. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, siapa yang memerlukan personal branding? Sampai sejauh mana pengaruhnya? Bagaimana membentuknya dan bagaimana mempertahankannya?
Personal branding tidak melulu milik para blogger atau penulis. Di luar sana banyak sekali yang membutuhkan branding dan personal branding, sebut saja diantaranya: dunia marketing, dunia iptek, dunia wisata, dunia fotografi dan masih banyak lagi. Bahkan kehidupan pribadi seseorang pun tidak jarang direcoki dengan betapa pentingnya memiliki personal branding. Paling nggak untuk lingkungannya sendiri. Dengan harap-harap cemas, siapa tahu kelak terpilih sebagai kepala desa atau ketua RT. Lumayan kan?
Dalam kehidupan sosial juga personal branding boleh ada dan berkembang. Bahkan sudah menjadi daya tarik tersendiri. Tujuannya? Supaya lebih terkenal dan semakin dikenal banyak orang. Keterkenalan yang dibarengi dengan spesifikasi khusus, atau sesuatu yang unik dan melekat dalam diri seseorang. Makanya ada juga yang berseloroh usil, kenapa tidak melacurkan diri saja agar dikenal banyak orang? Jadi pelacur? Wah, nggak salah? Tapi ada juga yang beranggapan, jadi “pelacur” why not! Kata melacurkan di sini sebenarnya sudah sering digunakan oleh Bob Sadino, yang menurutnya adalah menjual diri kita kepada banyak orang. Menjual diri supaya menjadi lebih baik tentunya. Memperomosikan diri bahasa halusnya. Terserah melalui dunia maya atau dunia nyata. Yang pasti, menurutnya “menjual diri” itu perlu.
Ciri khas adalah bahasa lain dari personal branding, bisa hadir di dunia maya juga dunia nyata. Kemanapun yang bersangkutan pergi, terbawa segala ciri khas yang ada di dalam dirinya. Tapi ciri khas itu perlu dibentuk dan dikembangkan. Contohnya Bob Sadino dengan ciri khas celana pendeknya, atau teman saya dengan warna biru-nya. Kemanapun dan apapun yang ia pakai hampir selalu berwarna biru. Itu ciri khasnya. Atau juga masing-masing Anda dengan ciri khas sendiri-sendiri yang merepresentasikan diri Anda. Ada yang mungkin dengan topi pet-nya, ada yang dengan kaca mata kudanya, ada yang dengan celana hawaian-nya, atau dengan gigi tonggosnya dan masih banyak lainnya. Itulah personal branding yang hendak dibangun di dunia nyata sana. Dan dipertahankan dengan menjaga konsistensinya. Tidak gampang memang. Butuh waktu cukup lama untuk melekatkan dan dikenal luas ciri khas atau personal branding kita.
Dalam dunia maya, para blogger dan penulis lepas, selalu pengen dikenal. Keterkenalan itu dapat dibentuk dengan memiliki personal branding masing-masing. Tapi juga personal branding penulis atau blogger tidak dapat hanya dibatasi oleh isi tulisan. Dalam arti personal branding dapat terbentuk tidak hanya dengan ketika kita menulis suatu topik dan topik yang kita tulis itu-itu melulu. Penguasaan suatu topik memang dapat membentuk personal branding kita, tapi bukan satu-satunya cara. Contoh lainnya adalah foto profil yang kita pakai harus selalu sama.
Mari kita menyelam sambil tenggelam lebih dalam lagi. Di Kompasiana ini, banyak yang sudah memiliki personal branding masing-masing, sadar atau tidak. Ada kompasianer yang personal brandingnya “tukang komen” atau “raja komen”. Mendaftar sejak tahun 2009 tapi tidak ada satu artikel pun yang pernah ditulis di Kompasiana ini, tapi sangat rajin berkomentar kiri-kanan, nyelekit lagi! Kompasianer ini punya personal branding tersendiri. Ada juga yang lain, Kompasianer dengan gaya bahasa sangat khas, setiap kali menulis…apapun yang ia tulis, gaya bahasanya selalu enak dibaca dan memiliki selera tingkat tinggi dalam mengolah kata menjadi kalimat, kalimat menjadi alinea. Enak dibaca, sedap ditelan. Itu personal branding yang bersangkutan. Apa lagi yah? Ooh iya, penulis filsafat tingkat tinggi, apapun yang ditulisnya selalu berfilsafat ria, bahkan humor dan puisinya penuh dengan makna filosofis, bahasa filsafatlah yang dipakainya yang tak jarang susah untuk dimengerti orang yang awam filsafat. Anda mungkin kenal beberapa penulis yang memiliki personal branding seperti ini. Lalu ada Kompasianer yang memiliki personal branding sebagai penulis terpendek. Sudah memosting hampir ratusan tulisan, selalu hanya 2-3 baris. Paling banyak mungkin 7 baris. Nah, personal brandingnya adalah menulis pendek. Istilah kerennya “One linier only”. Ada yang personal brandingnya “manusia humoris”, semua dibikin lucu. Hal yang serius pun jadi lucu ditangannya. Ada yang personal brandingnya ketawa-ketiwi. Apapun disambut dengan ber-haha-hihi, bahkan mungkin dalam duka sekalipun masih bisa ber-haha-hihi. Sah dan wajar-wajar saja tentunya. Masih banyak lainnya.
[caption id="attachment_122022" align="alignright" width="300" caption="From: Stockphoto."]
Rupa-rupanya di dunia ini selalu berlaku two sides of a coin. Dua sisi uang logam. Kalau tidak ekor ya kepala. Kalau tidak baik ya jelek (buruk), begitu juga dalam membangun personal branding. Mau yang positive personal branding atau negative personal branding terserah pilihan masing-masing. Bola sudah ada di tangan Anda. Kemana Anda hendak melemparnya, adalah urusan masing-masing.
Blog-blog yang ada (termasuk Kompasiana) sebagai media sosial dan atau media jurnalis warga memang merupakan trend baru yang akan selalu berkembang secara fenomenal. Dan fenomena yang fenomenal ini sepertinya tidak akan mudah pupus digilas zaman. Ada banyak kelebihan blog daripada situs jejaring sosial lainnya. Blog itu ibarat dalam tubuh manusia adalah otak atau tubuh kita, sedangkan FB, Twitter dan lainnya itu adalah tangan dan kaki. Jejaring sosial itu adalah sarana berpromosi kita. Hanya sebatas itu. Ada penulis atau blogger yang penghasilan utamanya dari dunia blogging, mereka mencari nafkah lewat dunia blogging, hal mana tidak didapat dengan ber-facebook ria maupun ngetweet doang. Kecuali berpromosi tentunya. Sebagai sarana promosi tentu FB dan Twitter sangat cocok.
Jadi ternyata memang penting menjaga kualitas diri lewat personal branding yang positif. Sosial Media dan blog serta Facebook atau Twitter saat ini bukan barang baru lagi bagi kehidupan kita. Mulai dari penjual bakso, penjual sate pinggir jalan dan tukang ojek sampai kaum pebisnis kelas dunia seperti Donald Trump, Bill Gates, Warren Buffet dan masih banyak lagi yang menggunakan sosial media ini untuk urusan komunikasi dan lainnya. Bahkan mungkin saja ada perusahaan-perusahaan yang HRD-nya menggunakan media sosial tertentu untuk mengetahui kepribadian para pelamar secara lebih mendalam lagi atau sebagai bahan perbandingan dan pertimbangan tertentu.
Lalu kalau di Kompasiana seberapa pentingkah Personal Branding itu? Jawabannya tentu saja tergantung dari sudut pandang masing-masing. Ada yang menjadikan sarana ini sebagai alat aktualisasi diri, ada yang semata-mata sebagai tempat iseng doang. Ada yang amat serius menggeluti dan memasuki dunia tulis-menulis di Kompasiana ini, tapi ada juga yang sekedar pengen ngompas doang. Ada yang menulis dengan semangat menyala-nyala dan “berdarah-darah” tentu dengan secuil harapan bahwa ada penguasa pun pengusaha yang sekiranya melirik untuk dijadikan partner kerja. Sebab bukankah di sini juga berseliweran para pejabat negara, pengusaha sukses, dokter hebat, rektor sebuah universitas dan sebagainya itu? Tapi ada juga yang menulis malah sambil makan rujak cingur dan ngunyah “kacang goyang”. Rileks, santai, tanpa berharap apa-apa. Ada yang serius mewartakan kebaikan tapi juga ada yang hobby menciptakan polemik. Ada yang penuh dinamika dan sangat bersemangat serta penuh antusias, tapi tak sedikit yang “suam-suam kuku”. Bukankah katanya ada 70 ribu pengguna Kompasiana aktif maupun pasif. Tentu saja ada 70 ribu otak di dalamnya. Karenanya, sangat mungkin ada 70 ribu ide, 70 ribu cara aktualisasi diri, 70 ribu pilihan mengembangkan personal branding, 70 ribu karya. Tapi lepas dari semuanya itu, saya yakin bahwa dari 70 ribu kepala itu tidak satu pun yang akan menelan tulisan ini mentah-mentah.
Karena isi setiap otak pasti berbeda. Output-nya pun pasti berbeda. Tidak ada harga mati. Implikasi-nya juga sudah barang tentu akan berbeda pula. Jadi? Anggap saja ini sebagai secuil masukan untuk menggenap-genapi apa yang memang sudah ada dalam otak dan hati setiap kita. "Melacurkan" diri demi personal branding? Why not! Kalau itu bernuansa positif. Tancap! Siapa takut....***
Selamat menulis.
Wassalam,
Michael Sendow.
***
Baca juga:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H