Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Makan Bersama Tuhan, Menunya Enak-enak!

7 Desember 2011   08:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:43 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Makan Bersama Tuhan, Menunya Enak-enak!

Saya memiliki imajinasi dan impian yang luar biasa. Bahwa kelak saat kita tiba di tempat tinggal Tuhan, di mana pun Ia berada, maka kita akan langsung diajak untuk makan bersama Dia. Lho? Ya iya, namanya berimajinasi. Makan bersama Tuhan menjadi acara yang pertama. Menariknya, setelah tiba di kediaman Tuhan tersebut kita bukan disuruh mendaftarkan diri dan mengisi rupa-rupa formulir. Ia juga tidak meminta KTP kita, ataupun SIM tanda bahwa kita bisa drive. Bukan pula disuruh ikut kebaktian, atau pengajian. Bukan disuruh mengaku dosa-dosa. Bukan ditanya ini dan itu. Tidak pula diperiksa dan diinterogasi. Tidak sama sekali! Acara pertama adalah makan. Wah, ini tentu menjadi sesuatu yang menarik.

Bayangkan….Ia sudah menunggu kita di depan gerbang masuk. Begitu pintu terbuka, Ia langsung menyambut dan berkata, “Mari masuk. Silahkan duduk. Mari kita makan!” Wah, benar-benar sebuah kesempatan yang luar biasa. Imajinasi saya pun berkembang lebih lagi. Betapa menakjubkan duduk berdua saling berhadapan dengan Tuhan di depan meja makan. Meja yang tak terlalu panjang tapi rapi dan sangat menawan itu dipenuhi dengan rupa-rupa makanan. Mata saya melotot, sambil menelan liur berulang kali.

Nah, sejak kecil saya memang tertarik dengan semua hal yang berhubungan dengan yang namanya makanan. Saya pun sebenarnya (di kemudian hari) suka banget masak-memasak. Kembali ke masa kecil dulu. Waktu itu saya sering sekali mengamati, mengagumi, dan mengingini berbagai jenis makanan. Banyak pengalaman yang saya alami sehubungan dengan hal makanan. Dan pengalaman-pengalaman tersebut tentu tak akan pernah terlupakan. Tapi, hal itu tentu saja tidak serta merta menunjukkan bahwa saya mendukung quote nakal yang berkata bahwa “manusia hidup untuk makan.” Saya lebih mengamini yang sebaliknya, bahwa manusia makan untuk hidup. Tentu saja.

Cerita pertama adalah tentang Tinutuan, atau sebagian menyebutnya dengan “bubur Manado”. Ini adalah makan favorite saya sejak kecil, pun sampai saat ini. Tinutuan adalah makanan khas Manado. Walaupun agak mirip gado-gado karena bercampurnya berbagai macam sayuran dalam sekali aduk itu, namun tinutuan jelas berbeda dengan gado-gado. Persamaan lain antara keduanya, konon bahwa tinutuan dan gado-gado pernah menjadi menu sarapan utama mantan Presiden Soeharto setiap harinya. Perbedaan utamanya adalah tinutuan dibuat sedikit berkuah, bercampur dengan bubur, serta tidak memakai bumbu kacang. Kalau makan tinutuan, apalagi dengan dabu-dabu roa, wuih sampai keringatan layaknya baru habis jalan 10 km. Puas dan kenyang. Heemmm….

Sekarang tentang Dodol Amurang. Waktu itu saya masih seorang anak kecil yang kalau berkunjung ke kampung ibunda di Lopana Amurang, luar biasa senangnya. Karena apa? Karena di sana ada Dodol Amurang yang sangat terkenal itu. Dodol itu menjadi lebih gurih dan yummy ketika dicampur kacang dan kenari. Kami anak-anak kecil sering ditawari dodol asalkan menimba air dari sumur yang sangat dalam, untuk memenuhi bak-bak mandi yang ada. Saya ditawari upah dodol asal menimba air. Tanpa pikir apa-apa lagi, saya terima tawaran itu. Ternyata capek juga menimba air dari sumur yang begitu dalam, bak mandi yang mesti diisi juga seakan-akan tak mau penuh-penuh juga. Pundak dan tangan saya terasa benar-benar sakit. Capeknya bukan main, mana hari hujan lagi. Akhirnya, selesai sudah saya mengisi penuh bak mandi di rumah tante. Badan basah kuyup oleh air hujan, tapi yang terbayang-bayang di pelupuk mata saya hanyalah Dodol Amurang itu. Ketika tante memberikan beberapa dodol itu, dengan lahapnya saya makan empat buah. Tak peduli badan yang masih basah kuyup oleh keringat dan hujan, saya melahap dengan asyiknya dan rasanya? Aduh mak! Enak banget gila!

Pengalaman masa kecil membuat saya terpukau dengan kondisi makan bersama Sang Pemberi sejati itu, sudah barang tentu sebatas imajinasi saya itu. Lalu pikiran saya menerawang jauh ke depan. Terbang menembus awan-awan. Jauh tinggi ke langit biru. Meja makan yang menakjubkan itu penuh dengan rupa-rupa masakan yang hampir semuanya belum pernah saya cicipi. Wangi bumbu makanannya mulai menusuk hidung. Sedaaaaap, begitu mungkin istilah paling tepat menggambarkan aromanya. Ada yang berwarna agak kuning. Ada yang kehijauan seperti sayur-sayuran, tapi bukan sayur. Ada yang malah berwarna sangat biru, entah apa itu. Semuanya begitu menggiurkan. Dan sudah barang tentu mengundang selera amat sangat. Saya mengaku, bahwa sedari tadi sudah menelan air liur berkali-kali.

Kegiatan berikutnya adalah mengambil tempat. Saya duduk sesopan mungkin. Saya melirik sejenak ke wajah Tuhanku yang begitu mengasihi umatNya. Wajahnya yang berwibawa itu nampaknya sedang memikirkan banyak hal, tapi tetap damai dan sangat tenang. Ia tak banyak bicara. Tanpa banyak basa-basi Ia lalu memberkati semua makanan di atas meja itu, lalu sambil tersenyum hangat Ia memandang saya dan berkata, “Ayo, mari kita makan bersama. Silahkan…!”

Wow..wow…wow, semua makanan saya cicipi dan lezatnya tak tertandingi oleh apapun yang pernah saya makan sebelumnya. Dengan lahapnya saya habisi apa yang sudah saya ambil. Tinutuan dan Dodol Amurang terlupakan sama sekali. Semua makanan asing ini terasa sangat enak, dan tak kuasa saya memikirkan yang lain-lain. Saya terpusat dengan apa yang ada di atas meja itu. Ketika saya melirik ke sang pemilik rumah, ternyata Ia sementara memandangi saya. Waduh! Mati saya. Tiba-tiba Ia tersenyum seperti seorang ayah yang tersenyum puas melihat keluguan anaknya melahap makanan. Wajahnya terlihat seperti bersinar dan bercahaya. Penuh kasih. Saya tergetar.

Lalu Ia pun berkata, “Silakan tambah lagi. Coba saja semua apa yang tersaji. Semua hidangan ini bebas kamu makan sampai kenyang.” Dengan sopan saya menjawab, “Terima kasih, Tuhan!”

Ini betul-betul merupakan pengalaman luar biasa. Bahwa saya boleh makan bersama Tuhan. Pada akhir jamuan makan bersama itu, saya berkata sambil menunduk sopan, “Semua makanan ini enak Tuhan. Terima kasih untuk semuanya!” Ia kembali membalas ucapanku dengan tersenyum. Senyuman yang sangat khas dan menyejukkan. “Ingat, kamu tidak akan menderita lapar dan haus lagi di rumahKu” Ia menutup pembicaraan singkat itu.

Ngomong-ngomong, terus terang aja, saya sebenarnya ingin sekali membungkus beberapa makanan dan kue-kuenya untuk dibawa pulang sih. Tetapi saya malu. Masa mau dibawa pulang makanannya Tuhan. Orang Manado bilang, “So smokol frei balolo lai. So kanyang babungkus lai” Artinya, sudah sarapan gratis, nyolong pula. Sudah makan kenyang, bawa pulang pula! Oh..betapa.

Michael Sendow

Note: Tulisan ini sudah saya draft-kan dengan set-up for scheduled publish. Moof maaf tidak bisa merespon tanggapan apapun dari kawan-kawan yang budiman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun