Zaman ini adalah zaman dimana setiap orang dapat dengan mudahnya memengaruhi orang lain, kapan saja dan dari mana saja. Era digital. Era tanpa batas, ditambah longgarnya batasan-batasan yang ada.
Era komunikasi tak berbatas seakan memampukan setiap orang untuk melihat apa saja dari Internet, dan sekaligus memungkinkan setiap orang untuk juga memajang, memosting apa saja yang ia sukai. Mulai dari gambar tak senonoh sampai kepada tulisan vulgar. Mulai dari memuliakan diri sampai kepada menghina dan membunuh karakter orang lain (character assassination). Ini adalah keniscayaan, semakin canggih sebuah era maka akan semakin ‘gila’ dan tak terkendali para pelakunya.
Tak jarang media sosial dijadikan pula ajang saling bantai dan serang, bahkan untuk hal-hal yang sebetulnya tak perlu. Tentu kita tak lupa beberapa hari yang lalu di saat kematian Ketua KPU Husni Kamil Manik, yang lalu memunculkan tanggapan-tanggapan negatif. Sangat jelas terlihat betapa mudahnya kita menghakimi seseorang.
Bertebaran di sana-sini komentar-komentar biadab dan yang sama sekali tak berprikemanusiaan. Media sosial dijadikan sarana menebar kebencian. Kalaupun bukan menebar kebencian, maka tak sedikit yang kehilangan empati dan nurani yang seakan mati. Kehilangan empati dan lenyapnya perasaan kasih menjadi tanda keburukan memaknai arti kemanusiaan yang sesungguhnya.
Memang kebanyakan dari kita cenderung beranggapan bahwa kebalikan dari kasih adalah benci. Tidak selamanya seperti itu, karena memang pada dasarnya lawan kata dari kasih bukanlah benci. Mungkin ada segelintir orang tidak membenci orang lain, tetapi dia lupa bahwa apa yang dia share, apa yang dia katakan, apa yang dia komentari, status apa yang dia update, cerita apa yang dia sampaikan, semuanya itu dapat sangat memengaruhi orang lain (kendatipun dia tidak sementara membenci).
Psikoterapis Rollo May dalam bukunya Love and Will menulis demikian: “Hate is not the opposite of love, apathy is.” Jadi, lawan kata kasih bukanlah benci melainkan apati. May lalu kemudian menjelaskan bahwa, “Apathy is a state of feelinglessness…..affectlessness, lack of passion…indifference, it is a withdrawal of feeling….”Jadi pada intinya apathy adalah ketiadadaan perasaan atau miskin rasa terhadap orang lain.
Keadaan ini (apathy) dapat saja tumbuh secara bertahap mulai dari sikap yang nampaknya biasa-biasa saja seperti sikap cuek dan tak mau tahu, tak mau peduli, tetapi lantas kemudian bisa pula ia tumbuh menjadi sikap atau perbuatan kejam dan ‘menghancurkan’.
Misalnya orang yang selalu saja memunculkan status-status penghinaan, penghancuran karakter dan nama baik seseorang tanpa kebenaran yang jelas. Nah, secara psikologi saya amat meyakini orang-orang tersebut adalah mereka yang sudah ‘mati rasa’. Ketiadaan perasaan yang mengakibatkan ia akan super cuek dengan status yang ia pajang, semenyakit apapun dampaknya bagi orang lain.
Dia tak peduli. Dia tak pernah merasa bersalah. Ini jelas prilaku orang-orang yang ‘sakit keras’ dan justru perlu berobat secara psikis. Ini gangguan yang kalau terus dipelihara maka akan semakin akut menggerogoti butir-butir emphaty, kasih, dan sikap tenggang rasa yang mestinya tetap ada serta bediam dalam diri setiap manusia.
Sikap apati ini dapat muncul dalam beragam bentuk dan berbagai turunannya. Orang dewasa yang memerkosa anak-anak lalu membunuhnya adalah salah satu fenomena apati. Lalu ada orang tua yang menghajar anaknya sampai babak belur hanya oleh karena anak tersebut mengajukan pendapat bersebarangan, ini juga adalah contoh sederhana adanya apati. Pemimpin yang sok berkuasa, bertindak tidak adil, dan yang selalu mau menang sendiri tanpa pernah mau mengakomodir pendapat serta permintaan orang lain juga adalah gejala-gejala apati.
Apati yang adalah wujud nyata dari hilangnya rasa, atau ketiadaan perasaan (miskin rasa) terhadap orang lain ini bermanifestasi dalam banyak bentuk. Orang-orang yang apati ini juga kebanyakan tak malu dan cakap dalam memanfaatkan fasilitas medsos sehingga dengan mudahnya mempertotonkan ‘sakit’-nya itu kepada orang lain. Sikap tak mau peduli semakin mencuat dan rasa dalam diri mereka justru semakin menciut.