“You have not lived today until you have done something for someone who can never repay you.”
― John Bunyan
Orang kaya menolong yang miskin. Yang berkelebihan menolong yang berkekurangan. Yang punya apa-apa membantu yang tidak punya apa-apa. Dalam bahasa sederhananya, John Bunyan membahasakannya sebagai “...Done something for someone who can never repay you..” Rupa-rupanya falsafah “gotong royong” mengakomodir apa yang ada dalam pikiran Bunyan.
Bangsa Indonesia terkenal sebagai masyarakat yang tingkat kegotong-royongannya amat tinggi. Bahkan kerap kita jumpai istilah “gotong royong” telah menempati posisi terhormat untuk hal apapun. Ia sudah berakar dan membudaya, sekaligus membumi sejak sebelum kita merdeka pun sampai setelah kita merdeka. Gotong royong sangat sering dijadikan kata kunci oleh para tokoh bangsa dalam setiap apa pun yang hendak mereka perjuangkan dan capai. Meski pada kenyataannya, di jaman modern ini falsafah tersebut kelihatannya sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan orang.
Proklamator sekaligus Presiden pertama kita Bung Karno pernah berpidato tentang betapa pentingnya gotong royong itu: “….Jikalau saya peras yang lima (Pancasila) menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu “gotong royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong! Alangkah hebatnya! Negara gotong-royong!...”
Bahkan dalam suatu kesempatan lain, Bung Karno mengatakan bahwa gotong royong itu adalah paham yang dinamis, tidak statis, ia jauh lebih dinamis dari sekedar ‘kekeluargaan’. Gotong royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan (satu karyo, satu gawe).
Bung Karno berkata,“.......Gotong royong adalah membanting tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah gotong royong! Rakyat itu semua harus digotong-royongkan dalam perjuangan raksasa ini!” (Sumber: www.sukarno.org)
Hubungan Pancasila, Gotong Royong, dan Jaminan Sosial
Bung Karno menyampaikan bahwa ada lima sila boleh diperas sehingga tertinggal tiga saja, yaitu sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan. Lalu jika itu diperas lagi maka akan muncul menjadi satu ungkapan saja yaitu “gotong-royong”. Oleh sebab itu Pancasila sebetulnya adalah perwujudan nyata dari gotong royong.
Di dalam Pancasila terkandung semangat kebersamaan, saling bahu membahu, ringan sama dijinjing berat sama dipikul. Semangat untuk takwa dan beriman. Semangat untuk berprikemanusiaan. Semangat untuk bersatu. Semangat untuk musyawarah mufakat. Semangat untuk menciptakan keadilan sosial. Kesemuanya itu mewujud lewat sifat-sifat kegotong-royongan yang sudah lama terbangun lewat praktek nyata turun temurun dalam hidup berbangsa kita. Dalam sejarahnya, gotong royong lahir murni dari akar budaya di kepulauan nusantara kita ini. Hampir semua kebudayaan di Nusantara mengenal istilah gotong royong, meskipun banyak yang sudah terbungkus istilah kedaerahan masing-masing tentu saja.
Semangat kolektifitas itulah yang mendasari filosofi utama dalam budaya gotong royong. Kita bertanya kenapa bisa seperti itu? Jawabannya ada dalam kenyataan kehidupan kita, yaitu oleh karena kita mau dan mampu bekerja secara bersama-sama dalam menyelesaikan pekerjaan dan secara bersama-sama pula menikmati hasil pekerjaan tersebut secara adil. Bila ditelaah secara mendalam maka kita dapat simpulkan kegiatan gotong royong tersebut adalah suatu usaha atau pekerjaan yang dilakukan murni tanpa pamrih dan secara sukarela dilaksanakan oleh semua masyarakat, yang tentu saja menurut batas kemampuannya masing-masing.
Pasal 28 H ayat 3 UUD 45 mengatakan: