Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Keputusan MK dan Tidak Legowonya Prabowo

27 Agustus 2014   17:06 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:24 770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah MK akhirnya memutuskan atau mengeluarkan vonisnya: Menolak gugatan pemohon (kubu Prabowo-Hatta) seluruhnya, maka mestinya gonjang-ganjingdan onak duri PILPRES kali ini usai sudah. Menyisakan tentu saja harapan masa depan bangsa ini yang akan terus dipoles menjadi lebih baik, dan lebih baik lagi, apapun perasaan kita atas hasil pemilihan ini. Karena toh tidak akan pernah mungkin ada dua pemenang dalam perhelatan akbar bernama PILPRES, yang bisa melahirkan dua Presiden. Belum pernah ada dalam sejarah. Entah sekarang, atau kapanpun. Yang selalu ada adalah: Ada pemenang yang terpilih sebagai Presiden, dan ada rivalnya yang mengucapkan selamat secara legowo. Sayangnya di Indonesia tahun ini hal itu belum terjadi. Bahkan katanya masih akan terus melanjutkannya ke PTUN, MA, Ombudsman, bahkan Pansus DPR, dan bisa jadi Pansus Malaikat Tingkat Tinggi.

Kubu Prabowo ternyata masih belum legowo. Setelah tidak puas dengan kinerja dan hasil kerja KPU, kini mereka tidak puas juga dengan keputusan dan vonis MK. Padahal menurut pendapat saya, segala upaya dan atau maneuver apapun, mengulur waktu, membeli kesempatan dalam kesempitan dengan cara-cara yang lebay dalam berpolitik, maka hal ini pada tataran tertentu hanya akan menghambat dan menahan-nahan gerak maju sebuah perubahan besar. Harusnya kita sudah semakin dewasa menyikapi hasil pilpres ini seberapa menyakitkan sekalipun. MK sudah menolak seluruh gugatan tersebut karena tidak terbukti selama persidangan. Mau dibawa ke mana lagi? Secara konstitusional maka vonis MK adalah final dan mengikat. Tidak boleh ada lembaga lain lagi yang berhak menyidangkan apa yang sudah diputuskan MK. Tidak PTUN, tidak juga MA.

Terpilihnya pemimpin yang baru ini, dalam hal ini Jokowi-JK adalah merupakan harapan baru di tengah-tengah gersangnya pemimpin yang mementingkan rakyat. Kalaupun kita tidak suka dengan terpilihnya Jokowi-JK, ya cobalah lebih adil dan tulus dalam menilai. Jangan ganggu dia dulu, bekerja saja dia baru akan memulainya. Ingin bersaing memperebutkan kursi nomor 1 itu lagi? Ya tunggu 5 tahun lagi, 2019 nanti. Sekarang semuanya sudah diputuskan secara konstitusional. Adalah teramat konyol bila kemudian kita lantas masih menganggap dua lembaga penting negara tersebut telah berbuat kesalahan, yakni KPU dan MK. Terus mesti tunggu Prabowo menang dulu baru semuanya beres dan selesai dan hasilnya dapat diterima? Kasihan sekali bangsa ini kalau begitu.

Keputusan MK Sudah Sangat Tepat

Apa sebab? Mari kita telisik secara sederhana. Gugatan kubu Prabowo-Hatta adalah bahwa katanya telah terjadi kecurangan yang bersifat TSM dan bahwa seharusnya merekalah yang menang dengan suara 67 juta sekian. Oleh karena gugatan mereka itulah maka semua dalil yang diajukan harus bisa dibuktikan di persidangan, sebab kalau tidak maka secara hukum gugatan itu akan gugur atau terbantahkan. Itu alasan paling rasional dalam memutuskan sebuah perkara gugatan kecurangan berdasarkan apa yang mereka gugat tadi. Namun, selama persidangan yang disiarkan secara terbuka, tidak ada dan sama sekali tidak nampak tim kuasa hukum Pabowo-Hatta mampu menunjukkan bahwa memang telah terjadi kecurangan bersifat TSM tersebut. Lebih jauh lagi, mereka tidak mampu menunjukkan bukti-bukti seperti yang didalilkan sebelumnya tentang kemenangan mereka yang 67 juta suara tersebut.

Membuktikan adanya kecurangan dengan selisih suara yang 8 juta suara itu hampir pasti mustahil. Menurud mantan Ketua Tim Kampanye Koalisi Merah Putih Mahfud Md sendiri, bahwa untuk membuktikan adanya kecurangan 100 ribu suara itu susahnya setengah mati. Artinya sangat tidak mudah membuktikan tuduhan KPU melakukan kecurangan TSM, apalagi KPU dapat membantahnya secara total. Akhirnya apa? Merasa tidak mampu membuktikan dari segi itu, maka dari dalil semula tentang adanya kecurangan TSM, kubu Prabowo-Hatta menggiring situasi arena persidangan ke topik yang menurut mereka sangat ‘seksi’ lainnya. Apalagi kalau bukan tentang DPT termasuk DPKTb. Mungkin mereka pikir, di sinilah celah yang bisa mereka masuki.

Sekarang mari kembali kita telusuri secara sederhana. Ketika persidangan menghadirkan para saksi ahli dari kubu ketiganya, yaitu pemohon, termohon, dan pihak terkait, secara gamblang kita disuguhi permainan kata-kata hukum dan ketatanegaraan tingkat tinggi. Dari kubu pemohon terlihat kengototan mereka tentang DPKTb yang bermasalah dan lagi katanya itu tidak sah secara hukum. Ahli tata negara Margarito Khamis sangat keras mengenai ini. Di kubu termohon justru menjelaskan sebaliknya. Maka ada kawan saya yang bilang, jangan-jangan saksi ahli keahliannya adalah berdasarkan kepentingan? Entahlah. Lantas ada yang begitu menarik ketika kesempatan bicara diberikan kepada saksi ahli dari pihak terkait yaitu Saldi Isra, seorang Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi di Universitas Andalas. Ia mengatakan begini, bahwa hak untuk memilih dan dipilih adalah merupakan hak dasar setiap warga negara. Ini dengan sendirinya menempatkan kedaulatan di tangan rakyat. Dan hak ini, tidak bisa dihalang-halangi dengan cara dan alasan apapun. Untuk itulah DPKTb sudah sangat tepat. Dan lagi, jangan lupa putusan MK. No.102/PUU-VII/2009 tentang pengujian UU No. 42/2008 menegaskan bahwa hak memilih itu merupakan hak asasi dan hak konstitusional warga negara. Makanya penggunaan hak tersebut tidak boleh dihambat atau dihalangi oleh berbagai keputusan dan prosedur administratif yang mempersulit warga negara menggunakan hak pilihnya.

Bahkan dalam tulisannya di Kompas secara ‘menyindir’ Saldi Isra mengatakan bahwa MK harus paham dan mengerti betul pilihan strategi yang digunakan dalam penyelesaian perselisihan hasil Pilpres 2014 tersebut. Sebab apa? Bukan tak mungkin jalur ke MK dijadikan jalan pintas memenangi Pilpres. Padahal, masih menurut Saldi Isra, MK itu bukanlah lembaga atau tempat menghadirkan Presiden. Saya setuju, sebab KPU adalah penyelenggara pemilu dan pemilu jualah yang mestinya menjadi arena untuk menghadirkan seorang Presiden pilihan rakyat. MK adalah tempat memutuskan perkara. Makanya sangat jarang MK memutuskan berlawanan dengan hasil keputusan KPU, terkecuali memang ada kecurangan TSM yang terbukti secara terang benderang. Maka menurut saya sudah sangatlah tepat keputusan MK itu.

Dalam sebuah wawancara TV, Tim kuasa hukum Prabowo-Hatta mengatakan bahwa memang mereka tidak dapat membuktikan pengguna DPKTb itu mencoblos siapa. Siapa mencoblos siapa itu tidak bisa dibuktikan karena sifat pemilu itu sendiri LUBER. Tapi menurut hasil analisa mereka, katanya adanya peningkatan jumlah suara Jokowi pada daerah-daerah tertentu yang banyak DPKTb-nya mengindikasikan adanya kecurangan itu di sana. Nah, bagaimana hakim dapat memutuskan menerima gugatan bila hanya didasarkan atas hasil analisa, pengamatan, tanpa bukti-bukti konkret apapun? Akan menjadi bias tatkala dalam sebuah persidangan semua pihak hanya adu argumentasi, analisa, dan pemikiran-pemikiran spekulatif. Ruang sidang harus mengadu dan membenturkan kekuatan bukti dan saksi, bukan kehebatan menganalisa antara tim kuasa hukum.

Dan, semua kita sudah menyaksikan dengan lelahnya, bahwa tidak ada sama sekali yang namanya kecurangan TSM oleh KPU, tidak ada bukti secuilpun yang menunjukkan ke arah itu. Pelanggaran dan kesalahan administratif mungkin iya, dan tentu saja tempat penyelesaiannya bukan di MK. Lagi pula, di pemilu mana yang tidak pernah terjadi kesalahan administratif? Lantas apakah dengan begitu pemilu mesti diulang kalau ternyata diulang pun tidak bakalan mengubah hasil perolehan suara? Buang-buang waktu, tenaga dan tentu duit saja. Mahfud Md juga dalam wawancara ekslusif dengan TV One sempat mengatakan, kalau setiap ada kesalahan administratif hasil pilpres kemudian digugat ke MK kapan selesainya proses pilpres tersebut? Makanya keputusan MK waktu itu mengatakan secara tegas, bahwa pemilu dapat diulangi, salah satunya adalah bila memang terbukti adanya kecurangan Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM).

Sudahlah, untuk saat ini tidak ada itu yang namanya TSM di Pilpres 2014. Bahkan ada begitu banyak pengamat mengatakan bahwa penyelenggaraan pilpres 2014 ini adalah yang terbaik dalam sejarah.Jadi yang kalah mestinya legowo dan yang menang tidak usah terlalu jumawa. Akankah? Kita tunggu saja! Dan sambil menunggu, saat ini kita nikmati TSM secara bersama-sama sajalah: Nikmati enaknya Telor Susu Madu! ---Michael Sendow---

“Seorang negarawan tidak pantas menyandang gelar kenegarawanannya bila telinganya hanya diperuntukkan untuk mendengar hal-hal negatif dan bisikan-bisikan para pembual” –MS-

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun