[caption caption="Budaya kita..."][/caption]
Kadang kita merasa lucu melihat sebuah prilaku, atau kebiasaan, atau budaya, atau adat istiadat yang baru pertama kali kita lihat, dan lalu kemudian menurut kaca mata kita hal tersebut kita anggap aneh bin ajaib. Bahkan, acap kali kita menertawi apa yang kita lihat tersebut. Kerap kali kita tertawa geli, tetapi tanpa kita sadari di sisi yang lain orang atau budaya yang sementara kita tertawai itu justru akan balik menertawakan kita dan budaya yang kita punyai, oleh karena menurut mereka kitalah yang lucu dan menggelikan. Jadi budaya setempat yang dianut orang itu tidak absolute paling bagus. ‘Kebenaran’ budaya itu sesungguhnya relatif. Orang bijak berkata “Apa yang bagus buatmu belum tentu bagus buatku, maka demikian sebaliknya.”
Perbedaan budaya, adat istiadat, dan kebiasaan sebuah kelompok atau komunitas mestinya dihargai sebagaimana apa adanya ia. Itu adalah sebuah keniscayaan hidup dalam keragaman dan kepelbagaian. Ketidaksukaan terhadap adat atau budaya yang berbeda dengan yang kita anut tidak boleh menjadikan kita kalap dan mau menang sendiri. Kita tidak boleh berlaku seenaknya dan semaunya, merasa bahwa standard budaya dan adat istiadat kebiasaan kitalah yang paling benar dan harus dihormati tinggi-tinggi, setinggi puncak gunung. Tidak bisa seperti itu. Adat di Bali bisa saja sangat berbeda dengan yang di Jawa. Budaya di Manado sangat bisa jadi jauh berbeda dengan budaya yang dianut orang Medan. Kebiasaan masyarakat Papua tentu saja berbeda dengan yang ada di Aceh. Semuanya berbeda-beda dalam kemurniannya masing-masing. Kita justru harus menghormati semua yang berbeda itu. Tidak harus menyamakan apa-apa yang berbeda tersebut. Tidak juga harus saling menghina satu sama lain. We are definitely different.
Di Amerika yang terkenal sebagai ‘negara pendatang’, karena dipenuhi oleh banyaknya imigran menjadikan negeri ini adalah negeri sejuta budaya dan kebiasaan. Segala macam yang kita anggap ‘aneh’ dan ‘insane’ bakalan kita temui di Amerika, apalagi di New York yang sudah dikenal sejak jaman dulu sebagai “melting pot”, tempat menyatunya segala macam ras, etnis, budaya, bahasa, dan bangsa manapun. Banyak persinggungan budaya serta kebiasaan terjadi, namun tentunya perjumpaan-perjumpaan tersebut tidak menjadikan mereka yang berbeda itu saling hina, pukul, dan hajar. Plato suatu ketika pernah berkata, “The soul takes nothing with her to the next world but her education and her culture. At the beginning of the journey to the next world, one's education and culture can either provide the greatest assistance, or else act as the greatest burden, to the person who has just died.”
Ada kebiasaan tertentu orang India di sana yang suka memakai sorban di kepala, dan ternyata rambut di balik sorban itu panjangnya bisa terurai mencapai lutut. Katanya, ‘haram’ bagi pria asal daerah di mana dia tinggal untuk memangkas rambutnya. Rambut adalah karunia kaum pria. Ada lagi yang lain, yaitu mengenai budaya kerja orang Jepang dan Cina di Amerika, mereka itu harus saya ancungi jempol. Ada bahkan direktur perusahaan dan pemilik perusahaan (owner) yang bergerak di bidang distribusi keju yang maju pesat, yang rela angkat-angkat kardus dipenuhi botol wine (anggur) ke truk angkutan barang, tanpa pernah merasa risih padahal dia itu bos besar di situ. Saya sudah lihat dengan mata saya sendiri. Ada juga kebiasaan anak sekolah memanggil atau menyebut orang yang lebih tua, bahkan guru sendiri dengan hanya menyebut nama. Ada yang umpamanya berbicara dengan orang tuanya dengan hanya menyebut ‘you’. Misalnya, “Can you help me here…” Kalau di Manado bisa digampar anak yang menyebut orang tuanya dengan sebutan ‘you’ (ngana). Misalnya coba saja ada anak yang ngomong ke orang tuanya, “Coba ngana bantu dulu kwa pa kita….” (Coba kamu bantu saya dulu….). Siap-siap dihajar kalau begitu.
Lebih unik dan aneh lagi, bahwa ternyata ada kebiasaan dan budaya di Bahrain seorang dokter pria sah secara hukum (legal) untuk memeriksa alat vital wanita (vagina). Tetapi tunggu dulu, apa segampang itu? Tidak juga. Dokter bersangkutan dilarang keras untuk secara langsung melihat alat vital wanita tersebut selama pemeriksaannya berlangsung. Lalu bagaimana bisa memeriksa tanpa melihat langsung? Mereka ternyata hanya diperbolehkan melihatnya melalui cermin. Menarik dan lucu, namun ya begitulah….
Lalu, entah berlaku secara umum atau tidak, tapi ternyata seorang pria di Lebanon diperbolehkan untuk bercinta atau berhubungan badan dengan binatang asalkan binatang itu adalah seekor betina. Hukuman mati akan dikenakan bagi pria yang ketahuan berhubungan dengan binatang jantan. Luar biasa aneh. Tapi apa mau kita bilang? Masih ada yang lebih gila lagi, saya pernah baca bahwa di Hongkong, maka istri yang dihianati atau diselingkuhi, maka adalah sah secara hukum untuk membunuh suaminya yang selingkuh itu. Tetapi ia hanya diperbolehkan membunuh dengan hanya menggunakan tangan kosong. Bagaimana bisa ya? Padahal, bila itu wanita maka selingkuhannya boleh dibunuh dengan cara apapun.
Cara kita makan saja pasti berbeda-beda. Apabila yang duduk adalah orang-orang yang datang dari berbagai bangsa dan latar belakang budaya yang berbeda-beda, Anda lihat saja keunikan yang bakalan muncul di meja tersebut. Saya pernah duduk satu meja dengan orang-orang yang datang dari berbagai bangsa di salah satu perusahaan tempat saya bekerja di Amerika. Banyak yang saya amati yang memang berbeda dengan kita. Orang Amerika makan dengan garpu, sebagai pengganti sendok. Mereka akan menatap lucu kalau saya makan nasi pakai sendok (jarang saya temui sendok untuk dipakai makan di rumah-rumah orang Amerika asli). Orang Cina makan pakai sumpit. Indonesia (termasuk saya) makan pakai sendok dan garpu. Tapi ternyata ada yang makan pakai tangan juga lho (kalau yang beginian sudah sering saya lihat dilakukan sebagian orang Padang dan Minahasa.)
Ternyata tidak ada kemutlakkan dalam menilai kebaikan atau kebenaran sebuah budaya, prilaku, atau kebiasaan tertentu. Apa yang kita rasa sudah harus seperti itu adanya, ternyata tidak selamanya memang benar seperti itulah adanya. Mari kita belajar semakin banyak tentang apa-apa yang berbeda. Sebab berbeda itu ternyata indah juga. Dan lagi, supaya kita boleh semakin mampu menghargai banyak perbedaan di sekitar kita, dan tentu saja akan semakin diperkaya olehnya. Semakin berbudaya dan beradab kita, maka akan semakin mudah bagi ita untuk menghargai dan menghormati budaya orang/bangsa lain. Kita tentu saja harus tetap mencintai budaya asal kita dengan setulus hati, yaitu budaya yang lahir di bumi Nusantara ini. Apalagi, sebentar lagi kita akan merayakan hari kemerdekaan sebuah bangsa berbudaya yang bernama Indonesia tercinta ini. Cheers! ---Michael Sendow---
-People are changing, and the way people think also changing-