Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kebebasan Media, Penyebaran Informasi dan Orang-orang yang Rakus Informasi

22 Juli 2013   10:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:13 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

SEMENJAK dunia diperkenalkan kepada Internet, maka segala bentuk keterbukaan, dan penyampaian berita apapun menjadi semakin cepat dan bebas seakan tanpa batas. Dalam arti, setiap individu mempunyai kesempatan dan kemungkinan yang sama untuk mengetahui atau pun menyebarkan berita. Tentu saja syarat pertamanya adalah dia harus memiliki computer dan jaringan Internet. Kalaupun tidak, dia harus punya akses ke warnet terdekat.

Nah, sekarang ini adalah masa keemasan setiap orang untuk memberi dan menerima. Ia dapat membagikan apa yang ia tahu, dan menerima dari orang lain informasi yang tadinya dia belum tahu hanya dalam sekejapan mata. Kalau misalnya ratusan tahun yang lalu umpamanya kalimat perwahyuan ini, “Akan ada satu bangkai yang disaksikan oleh seluruh dunia…”, masih merupakan sebuah kemustahilan. Sesuatu yang sepertinya sangat tidak masuk akal. Tapi kini, dengan perkembangan pesat teknologi informasi, hal itu bukan lagi sesuatu yang aneh dan mustahil. Kejadian apapun yang terjadi di belahan dunia manapun, hanya dalam hitungan detik sudah dapat kita saksikan di sini.

Informasi dan berbagai sajian dengan begitu massive dan nampaknya tanpa terputus selama satu hari penuh tak pelak lagi adalah keniscayaan yang tidak mungkin disangkal dan dielakkan lagi. Kesempatan ini tentu secara serempak menyimpan serta memberikan dua dampak sekaligus, yaitu dampak negatif dan positifnya. Bidang apapun yang kita geluti akan terus terkena imbas perkembangan teknologi informasi ini. Ekonomi, pemasaran, budaya, bahasa, politik dan yang lain-lainnya akan menerima dampaknya.

Belum lepas dari ingatan kita, di sekitar tahun 1994, SIUPP tiga media besar di Indonesia dicabut oleh Departemen Penerangan. Ketiga media ini ditutup oleh karena (katanya) tidak menyelenggarakan kehidupan pers Pancasila yang sehat dan bertanggung jawab. Ini dipertegas lagi dengan anggapan bahwa hal tersebut dapat saja mengganggu stabilitas nasional. Suatu hal, yang menurut hemat saya sangatlah lebay. Kekuasaan yang terlalu otoriter terhadap kebebasan pers justru akan sangat mengerdilkan dunia pers itu sendiri. Ini sesungguhnya dapat dikatakan sebagai awal runtuhnya ‘kemerdekaan menyampaikan pendapat’ serta ‘kebebasan membagikan informasi’. Tentu akan sangat disayangkan kalau media dipaksa atau terpaksa menjadi ‘corong satu arah’ para penguasa yang sementara berkuasa.

Di tahun yang sama tersebut, kemudian kalangan media saat itu mencoba ‘memberi sedikit perlawanan’ atas otorianisme yang senantiasa memberangus independensi media . Maka tak lama berselang berdirilah Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang lantas kemudian menerbitkan sebuah majalah yang dinamai Suara Independen. Isinya tentu saja sangat berlawanan dengan apa yang disampaikan oleh berbagai media yang sudah ‘dikuasai’ oleh penguasa Orde Baru pada waktu itu, dan selama bertahun-tahun dapat dianggap tidak sehat lagi. Peran media tidak lagi netral dalam pemberitaan. Nah, Suara Independen adalah angina segar. Mereka itu kalau boleh saya bilang adalah sebagai information-contrarian atas media corong yang sudah dipegang penguasa. Tapi apa daya, penguasa saat itu sangat kuat dan arogan. Akhirnya para pegiat dan aktivis di majalah tersebut pun ditangkap dan dipenjara.

Nanti, di kemudian hari, setelah tumbangnya Orde Baru barulah tatanan media tanah air kembali menemukan nafas segar dan semangat baru mereka. Saat itu, jumlah media yang bermunculan bagaikan jumlah bintang di langit dan pasir di laut. Sangat luar biasa. Ruang penyebaran informasi kemudian menjadi sangat ‘ganas’. Ibarat sebuah kanker yang meradang, ia masuk sampai ke pelosok dan sudut tersempit sekalipun. Tidak ada pemberangusan lagi. Tidak ada ketakutan lagi. Media bahkan menjadi ladang berbisnis karena begitu mudahnya perizinannya. Asalkan punya modal dan sumber daya yang cukup, Anda dapat memiliki penerbitan majalah atau surat kabar sendiri. Dan lagi, seiring berjalannya waktu media digital pun turut berkembang dengan semangat dan animo yang sama besarnya.

Kini, hari ini, pun detik ini juga, akan dengan mudahnya Anda jumpai berbagai media online yang menyajikan beragam informasi terhangat. Sebut saja, Kompas.com, Detik.com, Inilah.com, Kompasiana.com, dan masih banyak lagi. Bahkan pun hampir di setiap daerah bermunculan media onlinenya masing-masing. Informasi terhangat, terpenting, dan terdahsyat dapat Anda peroleh dari bilik kamar saat itu juga, tanpa perlu menunggu keesokan harinya untuk membacanya di media-media cetak. Ini tentu adalah sebuah pencapain luar biasa dari mahluk bernama manusia. Pencapaian yang mesti disikapi dengan sebijak mungkin. Karena saat ini, dengan begitu banyaknya informasi yang berseliweran dan dapat kita akses dengan gampang, menjadikan diri kitalah satu-satunya filter terakhir menyaring semua informasi yang kita terima itu. Informasi itu harus kita saring, kelola, dan simak dengan teliti sebelum kita ikut terjebak dalam euphoria kebebasan yang kebablasan. Kita harus mampu mengukur dan menakar kebenaran sebuah informasi sebelum kita ikut-ikutan menyebar-luaskannya ke semakin banyak orang.

Media memiliki kekuatan yang amat menakutkan dalam menyebarkan informasi, membentuk opini dalam suatu tatanan masyarakat, sampai kepada pembunuhan karakter. Kekuatan besar media ini akan menjadi semakin terasa karena dikelilingi oleh manusia-manusia yang tidak hanya haus informasi tapi juga ‘rakus informasi’. Ibarat gula yang selalu dikerubuti semut. Sudah saatnya, kebebasan pers dan media teresebut disikapi dengan kebebasan berpikir kita. Artinya begini, media bebas menyebarkan informasi yang menurut mereka benar, tapi kita punya kebebasan menentukan apakah kita harus percaya terhadap informasi itu atau tidak. Kita bebas sebebas-bebasnya untuk tidak juga mempercayainya.

Akhirnya, untuk menutup tulisan ini, saya ingin menyitir pendapat seorang pakar komunikasi bernama Edward. Dia bilang begini, “Kecepatan komunikasi terlihat ajaib. Adalah juga benar bahwa kecepatan tersebut dapat melipatgandakan penyebaran informasi yang tidak benar.”
(Edward R. Murrow). Semoga kita tidak menjadi penyebar informasi yang keliru. ---Michael Sendow---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun