Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Jokowi, Infrastruktur, dan Mimpi Jadi Bangsa Besar

20 Juli 2016   21:04 Diperbarui: 21 Juli 2016   00:03 1892
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jembatan gantung di banten (Pic: kaskus). Apakah infrastruktur seperti ini yang kita banggakan?

Presiden Jokowi saat ini sementara bekerja sangat keras menciptakan berbagai infrastruktur di Indonesia. Pemerintahan ini tentu sudah melihat jauh ke depan bahwa betapa pentingnya pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan, dan fasilitas-fasilitas umum lainnya. Tetapi toh masih saja banyak kicauan yang mengeritiknya sehubungan dengan pembangunan infrastruktur besar-besaran tersebut.

Tentu kita semua tahu, sejak jaman nenek moyang kita, permasalahan bangsa ini yang selalu menghambat pertumbuhan dan kemajuan dalam segala bidang adalah kurangnya atau miskinnya infrastruktur penunjang. Alhasil, semua biaya jadi mahal. Biaya transportasi. Biaya pengiriman. Biaya pembuatan. Biaya pendidikan. Biaya ini dan itu. Apa-apa semuanya mahal. Semuanya.

Inilah mengapa pembangunan infrastruktur adalah harga mati. Perekonomian Indonesia dan berkembangnya kehidupan sosial kemasyarakatan pastilah amat bergantung pada kualitas dan kuantitas infrastruktur yang ada. Jalan, jembatan, airport, dermaga, suplai listrik, suplai BBM mesti benar-benar dibangun, diperbanyak, lalu ditingkatkan kualitasnya. Belum lagi apa yang diistilahkan sebagai ‘soft’ infrastruktur semacam kesejahteraan sosial (Ahok membahasakannya sebagai keadilan sosial), pendidikan, dan pelayanan kesehatan. Hal-hal seperti ini tidak dapat dianggap enteng. Jokowi sudah betul bila memfokuskan pembangunan infrastruktur merata di berbagai wilayah negeri ini, dan tidak hanya terpusat di Jakarta saja.

Pembangunan infratruktur memang harus Indonesia sentris tapi bukan Jakarta sentris atau Jawa sentris. Indonesia terdiri dari belasan ribu pulau, dan terbagi dalam banyak wilayah kependudukan. Semuanya butuh infrastruktur. Dalam membangun infrastruktur tidak boleh ada ‘anak emas’ dan ‘anak tiri’. Jakarta dibangun. Sulawesi dibangun. Papua dibangun. Begitu seterusnya.

Menurut data dari World Economic Forum tentang Global Competitiveness Index (GCI tahun 2013-2014), untuk urusan infrastruktur maka terlihat posisi Indonesia berada di ranking 61 dari 148 negara. Ini tidak jelek-jelek amat tentunya, namun juga tidak bagus-bagus amat. Setelah krisis keuangan di akhir tahun 90-an yang melanda Indonesia dan Asia, perkembangan dan percepatan pembangunan infrastruktur di Indonesia justru terlihat melambat. Lantas apa konsekuensinya? Melambatlah pertumbuhan ekonomi. Atau dengan bahasa lain, pertumbuhan ekonomi tidak kesampaian mencapai titik paling potensialnya. Kan kita sendiri yang rugi kalau begitu.

Secara Sederhana Bagaimana sih Hubungan Infrastruktur Terhadap Pengembangan Perekonomian di Indonesia?

Sederhananya begini. Kurangnya dan miskinnya infrastruktur di Indonesia menyebabkan biaya-biaya logistik meningkat tajam. Coba tengok harga air mineral di Papua umpamanya, lalu bandingkan dengan harga air mineral di Jakarta atau Surabaya, jomplang banget kan? Nah, semakin tinggi biaya-biaya logistik maka otomatis semakin berkurang atau menurun daya saing dan daya tarik iklim investasi di Indonesia. Semakin susah, semakin mahal, semakin tak terjangkau segala sesuatu itu, maka akan semakin menurun daya pikatnya bukan? Ya seperti itulah. Competitiveness dan attractiveness iklim berusaha di Indonesia menjadi kurang bergairah, abis apa-apa mahal sih. Kenapa mahal? Ya itu tadi, kurang atau tidak adanya insfrastruktur yang mendukung. Makanya saya heran banget kalau masih ada orang yang meremehkan dan menghina perhatian serius Jokowi terhadap pengembangan dan percepatan pembangunan infrastruktur Indonesia.

Di Indonesia ini, percayalah, apapun alasan Anda menolaknya, tetap saja fakta di lapangan berkata bahwa: Biaya transportasi di Indonesia mahal! Darat, laut dan udara sama saja, mahal. Serius. Makanya jangan pernah kita melecehkan atau menghina Presiden Jokowi yang antusias terhadap pembangunan toll laut seperti yang sudah diimpi-impikan selama ini. Karena perlu saudara-saudara sekalian ketahui, sudah untuk jangka waktu yang sangat lama transportasi laut kita itu jauh lebih mahal dibanding transportasi darat. Padahal, tidak semua daerah dapat dijangkau lewat darat.

Keadaan seperti itu tentu saja menyebabkan terciptanya ‘jurang pemisah’ antara satu daerah dengan daerah lain. Kesenjangan infrastruktur antara satu daerah dengan daerah lainnya juga dapat menyebabkan tekanan inflasi pada produk-produk yang diproduksi di berbagai daerah di Indonesia tersebut. Inilah juga salah satu contoh sederhana misalnya kenapa tak jarang kita jumpai buah hasil tanah sendiri justru lebih mahal daripada yang diimport. Terjadilah juga perbedaan harga di dalam negeri antar daerah yang gap-nya lumayan besar.

Beras, semen, bahan-bahan konstruksi, bahan pokok makanan, acap kali kita jumpai sangat berbeda antara yang dijual di Indonesia Timur dibanding yang dijual di Pulau Jawa atau Sumatera umpamanya. Lebih mahal yang dijual di Indonesia Timur. Inilah beberapa contoh yang menjadi fakta di lapangan, dan ini semua terjadi oleh karena biaya-biaya tambahan yang muncul dan membengkak mulai dari tempat produksi hingga sampai kepada pemakai atau pengguna akhir.

Ini tentu membuat para pengusaha Indonesia kehilangan kesempatan yang menguntungkan diolehkarenakan masalah-masalah logistik tersebut, utamanya transportasi, pergudangan, distribusi dan juga sistem pembayaran, lalu kemudian ini jelas menghambat bisnis untuk bisa berkembang.

Ambil contoh yang lain lagi. Negara kita tercatat sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Laut kita luas. Ikan kita banyak. Secara logika, tentu kita bisa kaya raya dengan hasil perikanan kita. Akan tetapi bicara bisnis perikanan tidak melulu soal tangkapan ikan semata. Ada masalah rantai distribusi di sana, penyimpanan, dan sebagainya. Tidak berkembangnya bisnis perikanan di Indonesia secara kasat mata tentu salah satunya adalah kurangnya infrastruktur pendukung. Pasarnya banyak dan luas, tetapi kita sangat minim atau kekurangan cold storage transportation. Itulah sebabnya juga kenapa Jokowi sangat getol menyelesaikan masalah kurangnya cold storage ini. Jangan heran, kalau misalnya bisnis holtikultura kita seakan tersendat-sendat, kalau tidak mau dikatakan masih jalan di tempat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun