Siapa yang akan dipilih Jokowi (dan PDIP) untuk mendampingi dirinya menuju RI-1 semakin mengerucut. Banyak orang, baik pendukung, maupun lawan politik serius menanti siapa gerangan yang akan dipilih Jokowi. Bukan tidak mungkin, segala strategi sudah disiapkan pihak lawan untuk melemahkan posisi Jokowi setelah melihat siapa yang akan menjadi pendampingnya nanti.
Secara sederhana, saya pernah mengadakan survei kecil, dan ada beragam pendapat yang mengemuka dari hasil tanya sana-sini itu. Dan, yang laing banyak saya temui adalah bahwa Jokowi katanya tidak boleh salah memilih cawapres, karena dengan sendirinya hal itu akan berdampak pada kepercayaan masyarakat untuk mencoblos kertas suara yang ada gambar dirinya pada bulan Juli nanti. Apa sebab? Karena bila salah memilih calon, maka ia harus siap-siap menanggung resiko.
Masyarakat sudah terlalu muak dengan keberadaan muka-muka lama, warisan orde-orde sebelumnya. Mereka juga sepertinya sangat mengehndaki ada perubahan serta pembaharuan besar di negeri ini. Bertahun-tahun dipimpin seseorang yang sudah mereka pilih, namun tanpa pengaruh signifikan dalam kehidupan mereka tentu amat menyakitkan hati. Memang ada satu dua yang bagus, namun itu tidak memberi dampak luar biasa lagi. Pokoknya, wajah baru adalah harga mati.
Bila Jokowi dipasangkan dengan JK, ada beberapa amatan yang mengatakan justru akan berdampak jelek bagi tingkat keterpilihan Jokowi, meskipun di berbagai media sosial, pasangan ini dirasa paling cocok, entah dilihat dari apanya. Tapi orang sudah melihat track record. JK sudah pernah menjadi Wakil Presiden dengan hasil yang kurang memuaskan. Ia adalah seorang pengusaha, tentu punya tendensi tertentu apapun itu, tidak beda dengan Ical.
Ada seorang pendukung berat Jokowi yang bahkan sempat bilang begini (saya dengar sendiri), “Wah gue ogah jadinya untuk milih Jokowi kalau pasangannya si JK. Mendingan gue golput aja deh.” Bayangkan kalau seorang pendukung berat Jokowi saja sampai bisa bicara seperti itu, bagaimana yang lainnya. Ini mungkin tidak mewakili, tapi bisa jadi ini juga adalah keterwakilan masyarakat pendukung Jokowi lainnya. Efek cawapres yang dipilih jangan lagi dianggap enteng. Bukan jamannya lagi mengatakan bahwa, “Dipasangkan dengan daun juga Jokowi tetap akan jadi.” Tidak seperti itu. Lantas harus seperti apa? Ya harus pilih cawapres yang benar-benar disukai dan dapat membawa dampak perubahan positif di negeri ini.
Jokowi sudah bilang bahwa ia tidak akan menawarkan komposisi dagang sapi alis tawar-tawar kursi ke setiap partai yang mendukungnya. Kalau ingin dukung ya dukung. Makanya juga, Nasdem mendukung ‘tanpa syarat’ dan PKB ikut pula, pada akhirnya, mendukung ‘tanpa syarat’. Walau kita semua tentu mahfum bahwa dimana-mana selalu saja ada ‘syarat’ yang mesti dibicarakan, tidak bisa tidak. Tapi paling tidak, saat ini Jokowi dan PDIP akan semakin ‘bebas’ memilih cawapresnya. Untuk itu, pilihlah yang benar-benar dapat turut membuat perubahan, dan disukai masyarakat. Jangan hanya karena faktor kekerabatan atau pertemanan.
Sampai saat ini sebetulnya sudah ada dua nama yang begitu ‘menjual’ dan sejauh ini diyakini masih jujur, bersih, dan bahkan sudah bertahun-tahun menjadi MUSUH UTAMA para koruptor dan tikus-tikus penggerogot kekayaan negara. Dua nama ini walhasil akan menjadi sebuah daya tarik tersendiri, dan amat sangat diyakini pada tataran tertentu dapat menjadi cawapres yangbetul-betul dapat memberi cahaya terang di tengah-tengah kekelaman dan kegelapan negeri ini. Jokowi juga tentu sudah dapat melihat ‘aura’ kedua orang ini, yang bila disandingkan dengan dirinya, kurang lebih akan menjadi seperti duet dirinya dengan Ahok di DKI Jakarta. Saling mengisi dan melengkapi.
Saat ini koalisi memang penting untuk menembus ambang batas, dan tentu dalam rengka menggalang sebanyak mungkin dukungan supaya pemerintahan yang terpilih nantinya dapat bekerja dengan baik, solid, dan kuat. Tetapi koalisi ini rasa-rasanya tidak akan berpengaruh signifikan dalam mengarahkan persepsi masyarakat pemilih untuk mencoblos capres yang maju. Bulan Juli nanti mereka hanya akan melihat sosok, bukan lagi partai. Itu sudah pasti. Oleh karenanya, koalisi sebesar apapun tidak akan lagi dapat memengaruhi persepsi pemilih. Yang mereka lihat adalah capres dan cawapresnya. Sehingga dengan demikian sosok cawapres akan benar-benar menentukan juga kepada siapa pilihan akan dijatuhkan masyarakat pemilih kelak. Bila Jokowi dan PDIP tidak hati-hati membaca ini, keliru memilih cawapres, maka dikawatirkan peta suara akan berubah drastis.
Dan juga, satu hal yang paling penting, memilih cawapres toh bukan hanya demi mendulang suara semata, namun juga demi kebaikan Indonesia kedepannya. Lihatlah sosok yang paling pas dan pantas untuk duduk di kursi itu. Betapa kursi nomor dua itu mesti benar-benar diisi juga oleh orang yang tegas, jujur, dan paling penting, mengharamkan korupsi dan selalu siap mengabdi demi kesejahteraan rakyat. Kursi nomor dua bukan sekedar ban serep dan pelengkap semata. Itu.
Semoga Jokowi dan PDIP dapat memilih cawapres dengan tepat dan cermat. Menggunakan hati nurani terdalam, dan tidak hanya demi bagi-bagi kursi, atau demi memuaskan pihak-pihak tertentu semata. Jangan sampai, apa yang ditakutkan Niccolo Maciavelli terjadi, bahwa katanya politics have no relation to morals. Semoga. ---Michael Sendow---
#CawapresJokowi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H