Suatu ketika seseorang yang terkenal di jamannya, Frank Underwood, pernah berkata begini: "The road to power is paved with hypocrisy and casualties. Never regret."Kini, tentu kita yang hidup dan bernafas di negeri ‘Sejuta Mimpi’ bernama Indonesia, yang masih dipenuhi banyak pemimpi, banyak pemimpin pemimpi dan calon pemimpin pemimpi, tentu akan menarik nafas panjang melihat kebenaran kata-kata si Frank tadi itu.
Bukankah demikian adanya kenyataannya saat ini? betapa jalan menuju kekuasaan selalu saja ditaburi dengan beragam kemunafikan, dan sikap tak mau peduli, dan semuanya ini menelan banyak korban. Dan uniknya, kidak pernah mau menyesalinya. Mungkin memang tidak perlu. Tanya kenapa? It’s already in our blood! Sense itu tidak lari kemana-mana kok. Padahal, hal ini berbahaya dan mengerikan.
Di ambang batas kesadaran kita akan pentingnya nilai persatuan dan kesatuan. Banyak di antara kita berlomba-lomba membentuk opini yang katanya maha benar menurut versi kita, dan mulai terjebak membentur-benturkan pada apa saja dan pada siapa saja yang tidak sejalan dengan pandangan atau opini kita itu. Dan lalu kemudian kita mulai memutlakkan apa yang kita anggap benar sembari menafikan kebenaran apapun di luar kita. Dunia ini serasa milik gue seorang, lain tidak.
Kegentingan bangsa ini sebetulnya sudah mulai terlihat semenjak nilai-nilai keagamaan dan nilai-nilai keimanan mulai dibenturkan dan dibanding-bandingkan antara yang satu dan yang lain. Bahkan yang seagama dan seiman pun tak jarang saling cerca dan serang. Ini harus cepat disadari dan setiap orang ambil peran untuk merekatkan kembali apa-apa yang sudah mulai renggang, sebelum semuanya terlambat tentunya.
Jangan sampai kita terlambat menyadarinya dan bangsa ini kembali terpuruk dalam lobang prasangka dan permusuhan yang amat dalam, yang lalu kemudian ‘membakar’ kita hingga hangus berkeping-keping. Tersisa hanya arang menghitam, aromanya bau busuk dan menyakitkan.
Ingatlah, kita bangsa yang besar, jangan mau kalah dan semestinya tidak boleh kalah melawan semua propaganda kepentingan politik, dan propaganda pemecah belah bangsa oleh pihak-pihak yang saya namai (maaf) ‘bajing*** kelas tengik’! Mereka berusaha mengeruk keuntungan dibalik musibah. Mereka mencari keuntungan dibalik penderitaan. Mereka mencari keuntungan dibalik kemalangan orang lain. Mereka memanfaatkan celah demi kepentingan mereka sendiri. Sorry to say, but they all are a looser.
Ambil contoh dalam sebuah pertandingan apapun, maka bila di sana tidak ada fair play, maka jelas sekali pertandingan tersebut ibarat dagelan kemunafikan yang dibungkus kemegahan aksesoris pelengkap penderitaan. Pertandingan yang munafik. Perlombaan yang sudah tidak punyai nilai positif apapun. Pertandingan itu pasti kotor.
Where there is no parity and fair play, the game could only be dirty.Hal yang sama berlaku juga dalam politik, because there are no rules to ensure parity or fair play in politics. Ini amat jelas, sebab apa alat ukur seseorang itu bermain politik secara fair? Tidak ada. Semuanya kelabu dan abu-abu. Yang ada justru, politik kotor hanya akan melemparkan banyak daki atau kotoran ke warga yang sama sekali sudah di’hipnotis’ begitu rupa. Kotoran itu menempel dan melekat tanpa pernah disadari warga biasa yang tidak terbiasa berpolitik.
Propaganda Dan Sentimen SARA di Indonesia
Kita jangan pernah menutup mata terhadap berbagai pertikaian dan peristiwa yang terjadi di negeri ini oleh karena propaganda dan sentiment SARA. Penembakan yang menewaskan empat mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998 ternyata berbuntut panjang dan menyulut emosi warga. Akibatnya, keesokan harinya Jakarta menjadi lautan aksi massa yang terjadi di beberapa titik. Penjarahan dan pembakaran pun tak dapat dihindarkan.
Konflik berbau agama paling tragis dan tak terhindarkan pun pernah terjadi di negeri ini. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1999.  Konflik dan pertikaian yang melanda masyarakat Ambon sejak bulan Januari 1999 akhirnya menjadi aksi kekerasan brutal yang merenggut ribuan jiwa dan menghancurkan semua tatanan kehidupan bermasyarakat di sana. Konsep nilai kekeluargaan bertajuk ‘pela-gandong’ pun terkikis dan raib tanpa bekas. Padahal, Ambon itu terkenal dengan semangat kekeluargaan dan persaudaraan yang luar biasa tinggi, tanpa memandang agama apa yang dianut.