Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

I Yayat U Santi!

17 Juni 2011   06:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:26 5429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_114747" align="aligncenter" width="678" caption="From: Minahasan People@ Timika."][/caption]

Santi adalah seorang gadis yang baik. Terlahir sebagai anak kedua dari tiga bersaudara menjadikan ia bijak dalam bersikap. Ia belajar bagaimana menghadapi kakak pun bagaimana harus bersikap pada adiknya yang belum genap 10 tahun. Prinsip hidupnya tegas. Ia ingin menjadi orang yang berguna. Ia ingin menjadi bagian masyarakat yang berguna itu. Pantang menyia-nyiakan hidup, karena baginya hidup adalah anugerah.

Pernah suatu kali Santi mengirim puisi berjudul “Aku Ingin Bangga Jadi Orang Indonesia” yang dimuat di koran lokal. Dua bait puisinya berisi kalimat-kalimat ini:

“Aku ingin bangga jadi orang Indonesia

Melihat nusa makmur merata

Tiap orang punya lapangan kerja

Pemukiman bersih, aman, terkelola

Warga merawat segala prasarana

Sampah terkumpul di tempatnya

Kendaraan melintas santun bertatakrama

Semua teratur dan lancar-lancar…

Aku ingin bangga jadi orang Indonesia

Melihat pemerintah bersih tak bercela

Pemimpin bukan cuma bicara

Tapi diam-diam bekerja

Demi kebaikan semua

Jadi teladan hidup sederhana

Tidak mencuri uang negara

Tidak gila harta atau gila kuasa

Tidak ada sogok apa-apa

Tidak ada dusta…

Ia sungguh mencintai negeri besar bernama Indonesia itu. Tapi benarlah…..bahwa semakin besar cinta, semakin besar pula derita. Derita kehilangan apa yang kita cintai. Inilah resiko cinta. Cepat atau lambat, pada suatu saat kita akan kehilangan apa yang kita cintai.

Santi menikmati cinta. Sebab itu pada suatu hari kelak ia harus bersedia membayar harga sebuah cinta, yaitu sedih dan pedih karena berpisah dengan apa yang ia cintai. Itulah harga sebuah cinta. Cinta selalu ibarat uang logam yang memiliki dua sisi. Ada dua sisi berbeda: gelak tawa dan air mata. Cinta bukan hanya mendekap, melainkan juga melepas. Cinta bukan hanya menatap, “Aku cinta padamu”, melainkan juga meratap, “Mengapa engkau meninggalkan aku?” Santi begitu mencintai Indonesia, tapi apakah ia mendapat balasan cinta yang sama besarnya? Ataukah suatu waktu ia justru akan ditinggalkan? Akankah puisinya “Bangga menjadi orang Indonesia” terganti dengan “Tidak bangga lagi menjadi orang Indonesia”?

Ada satu semboyan yang selalu lekat dan dekat di hati Santi. Bahkan ia menjadikan semboyan itu “penggerak” dan “penuntun” semua tindak tanduknya. Apa itu? I Yayat U Santi!. Kemanapun ia bergerak pergi atau perkunjungan apapun yang ia kerjakan, selalu saja ia mengajar dan mengingatkan pentingnya pekik I Yayat U Santi itu bagi kita. Bahkan share di Facebook, Twitter dan accountnya di sebuah “media kirim-kirim tulisan” berinisial “K” selalu penuh dengan semboyan I Yayat U Santi. Simbol pekikan orang-orang Minahasa. Entah yang langsung tersurat maupun yang tersirat. Semboyan ini seakan sudah memagneti hatinya. Dan membungkus otaknya rapat-rapat.

I Yayat U Santi terjemahan harafiahnya adalah: Angkatlah Dan Acung-acungkanlah Pedang (Mu) Itu. Apabila kita menggunakan ungkapan dan seruan ini untuk masakini, maka maknanya ialah : Supaya kita melengkapi diri kita dengan segala kearifan, hikmat, ketrampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi serta keahlian (wisdom, managerial skill and technical know-how).

Itulah santi kita masakini yang harus diacung-acungkan menghadapi segala tantangan yang mengancam kehidupan kita baik fisik maupun non-fisik, dengan segala kebulatan tekad sesudah dibincangkan dan direnungkan bersama. Tantangan itu adalah: kemiskinan, kemalasan, kebodohan, kelaparan, ketidakadilan, ancaman penjajahan, dan segala sesuatu yang dapat menjadi musuh kehidupan.

***

Pagi itu Santi kedatangan teman dekatnya dari kampung sebelah. Temannya adalah seorang wanita ayu berdarah campuran. Campurannya kayak apa sampai detik ini belumlah terdeteksi. Teman Santi yang satu ini memang wanita asli, tapi kental dengan maskulinitas-nya. Lihat saja, ketika mengunjungi Santi ia dengan gagahnya duduk di atas motor Yamaha gede lengkap dengan jaket kulit hitam laiknya seorang pembalap. Bahkan kerap ia terlihat ngebut sambil mengangkat roda depan Yamaha-nya di jalan Samratulangi.

Singkat cerita, Santi diajak untuk keliling kota di mana banyak anak muda setempat sering adakan lomba “baku-dusu deng motor”. Street Race. Tapi sialnya, karena tidak biasa naik motor si Santi jatuh terlempar lima meter tatkala temannya itu mendadak menginjak rem. “Pengemis sialan!” Teman Santi itu meneriaki seorang pengemis yang nyosor tepat di depannya. Akibatnya? Santi terlempar dan kepalanya terbentur keras.

***

Puluhan teman sekolah dan teman organisasi Santi dengan rasa prihatin mendalam datang menjenguknya di Rumah Sakit Gunung Wenang. Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak demikian kata pepatah. Santi mengalami geger otak ringan. Tapi ada akibat lanjutan, ia kehilangan ingatan. Bukan permanent, tapi kata dokter harus ada trigger untuk bisa memulihkan ingatannya. Harus ada “pemicu” yang bisa dipakai untuk pemulihan secara total.

Tiga minggu sudah berlalu, Santi tetap belum mengingat apapun. Berbagai upaya dilakukan, mulai dari memperlihatkan foto-foto masa kecilnya hingga puisi-puisinya tak satupun yang berhasil. Nihil. None. Nothing.

Pagi itu, temannya sudah nongkrong di kamar Santi. Karena rasa bersalah yang amat mendalam, ia berusaha dengan caranya sendiri untuk mengembalikan ingatan Santi. Bahkan Santi sendiri tidak mengingat temannya itu. “Siapa sih kamu. Kok tiap hari ada di sini?” Tanya Santi penasaran. “Apakah kamu memang teman aku dari masa laluku?”.

“Iya, masak kamu lupa sih!” ….”Tolong ingat baik-baik San!”. Santi hanya melongo polos. Ia tetap belum ingat. Dengan langkah agak gontai temannya berjalan keluar pintu kamar. Di ruang tamu ia merogoh sesuatu dari ransel bututnya. Apa ya? Ooh ternyata ia membuat spanduk gede bertuliskan “I Yayat, U Santi!”. Lalu dibawa masuk ke dalam kamar.

“Santi perhatikan ini baik-baik” ujarnya setengah menghardik.

Perlahan-lahan…mata Santi meredup seakan mengingat sesuatu….lalu melotot lebar. “Aha! Aku ingat sekarang….itu semboyan yang sudah jadi harga mati dalam setiap perjuanganku!” lanjut Santi. “Kok bisa-bisanya kamu mengingatkanku dengan cara itu?” Santi senang tapi masih sedih. “Iya sih aku sudah ingat semboyan itu, tapi aku belum ingat siapa kamu.”

“Santiiiiiiii, aku bukan menuliskan semboyanmu itu tauuuuk…! Mana aku pernah tahu semboyan apa yang kamu suka. Aku tidak pernah tahu itu!” Teriak temannya.

“Itu tulisan bahasa Inggris, dengan maksud supaya kamu mengingatku, kamu kan suka bahasa Inggris…”

“Arti dari I Yayat, U Santi tulisanku itu adalah I Yayat and You Santi tauuuuk!

AKU Yayat, KAMU Santi! Ingat?”

“Kita sama-sama suka menulis di Komporsiana! Saling ngomporin satu sama lain. Tapi akhir-akhir ini kamu nggak aktif lagi”.

Santi tertegun. “Kalau begitu cepat buka arsip-arsip tulisanku, siapa tau dengan begitu aku jadi ingat semuanya.”

Berhasilkah Santi mengembalikan ingatannya dan sekaligus mengembalikan rasa bangganya pada Indonesia? Kita tunggu saja!

Note: Terima Kasih Yayat atas inspirasimu dan darah campuranmu. Campuran apa ya? Ducati dan Yamaha?

Catatan: Jika ada kesamaan nama, maka itu karena ketidaksengajaan yang disengaja. Ini adalah tulisan fiksi yang mengandung fakta kebenaran. Yang baik diambil, yang kurang baik simpan saja dalam saku!

Michael Sendow.

Cheers…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun