[caption id="attachment_313334" align="aligncenter" width="660" caption="(dok. pribadi)"][/caption]
Peristiwa memalukan yang terjadi baru-baru ini, dimana seorang pelaut Indonesia bernama Ketut Pujayasa berusaha memperkosa dan bermaksud membuang seorang wanita ke laut telah benar-benar merusak serta mencoreng citra para pelaut Indonesia di mata dunia pelayaran internasional. Bukan hanya itu, betapa memalukan negeri ini bila nantinya masuk dalam daftar negara yang tidak kompeten menelurkan pelaut berkualitas dan memiliki attitude yang baik.
Tindakan Pujayasa yang bekerja di kapal pesiar MS Niew Amsterdam – Hollan American Line memang tidak dapat dibenarkan sama sekali. Kalau dalam dunia kepelautan, namanya sudah pasti harus di-blacklisted-kan tanpa kompromi. Status NTBR (Not To Be Return) pun harus segera disematkan di atas pundaknya. Dan tidak ada chance untuk melaut lagi.
Bayangkan saja, ulah satu dua orang seperti Pujayasa ini dapat membahayakan puluhan ribu pelaut Indonesia. Di dunia ini ada sekitar 1.2 juta pelaut (seafarer). Sekitar 80-100 ribu di antaranya adalah pelaut asal Indonesia. Akan sangat disayangkan bila ulah-ulah orang seperti Pujayasa, kalau terus bermunculan, akan kemudian menyebabkan para ship-owner, ship-management, dan manning agency luar negeri mulai berpaling dari Indonesia.
Apalagi tahun 2015 nanti AFTA sudah akan jalan, dan persaingan akan semakin ketat serta tanpa batas. Dunia kepelautan kita ditakutkan, kelak hanya akan jalan di tempat. Paling hebat jadi pelaut di kapal ikan di seputaran Indonesia saja. Sungguh ironis, karena negara kita lebih banyak lautnya daripada daratan, semestinya di negeri ini lahir dan terus “memproduksi’ pelaut-pelaut handal, dan yang memiliki karakter mumpuni, bukan kelas karbitan yang di dalam pikirannya hanya uang dan uang saja.
Di perusahan dimana saya melakukan training, pelatihan, dan seleksi pelaut, baik ABK (rating) maupun perwira (officer), yaitu di Bernhard Schulte Shipmanagement, maka yang paling penting dilakukan pertama kali adalah semacam tes kejiwaan. Kita memakai Thomas (psychometric) Test . “Alat uji kejiwaan” dan kecocokan seorang pelaut terhadap pekerjaaan yang hendak ia emban nanti dapat termonitor di sini. Thomas Test memberikan bintang 1 – 5. Bila seorang calon perwira kapal hanya mendapat 1 bintang maka ia akan langsung ditolak. Bintang 5 adalah yang paling tinggi, menunjukkan bahwa yang bersangkutan sangat bagus secara psychometric, dan cocok untuk posisinya. Psychometric test juga sudah dipakai perusahaan-perushaan besar di seluruh dunia.
Peristiwa memalukan tersebut, tentu juga adalah pelajaran bagi setiap crewing agency yang asal-asalan saja dalam mengirimkan pelautnya. Apalagi dalam upaya memenuhi permintaan pelaut untuk kapal berbendera asing. Makanya berhati-hatilah kalau mengirim pelaut ke atas kapal. Jangan hanya karena dibayar 5 juta, 10 juta, atau berapa jutapun maka pelaut yang tidak jelas juntrungannya juga akan tetap kita kirim. Jangan-jangan seorang tukang jahit dari tanah Abang pun, yang penting mau bayar mahal, kita naikkan juga ke atas kapal untuk jadi pelaut. Ini justru yang akan semakin memperburuk dan memperlemah daya saing pelaut kita di luar sana. Jangan pernah lupa juga untuk terus menerus mengadakan training buat para pelaut kita. Ini adalah juga salah satu faktor kunci dalam mencegah peristiwa memalukan seperti di atas itu terjadi.
Pemerintah juga mestinya harus turut andil dalam memajukan serta menciptakan pelaut-pelaut yang berkualitas, memiliki attitude yang baik, dan yang siap pakai. Sepertinya sampai detik ini, pemerintah masih kurang minat mengurusi dunia kepelautan kita. Lihat saja hal-hal sepele tapi berlarut-larut diselesaikan. Mulai dari kehabisan blanko sertifikat kosong, pelaksanan trainingdan courses lanjutan yang tidak jelas, sampai kepada ketiadaan perhatiaan terhadap kesejahteraan pelaut.
Untunglah, kini dunia kepelautan mulai membaik. Dengan adanya amendment STCW (Standards of Training, Certification, and Watchkeeping) 2010 di Manila, yang mulai January 2014 sudah harus diterapkan secara serius. Juga dengan upaya-upaya ILO mengadakan berbagai perbaikan. Begitu pula dengan desakan untuk comply terhadap MLC2006 (Maritime Labor Convention) secara “murni dan konsekuen”.
Pujayasa kini sudah ditangani oleh Biro Penyidik Federal (FBI), bahkan mungkin sudah menginap gratis di sel tahanan, sambil menunggu putusan pengadilan. Namun apa yang dia sudah torehkan akan membekas lama di dalam dunia kepelautan kita. Dan tidak hanya pelaut-peluat kita yang tercoreng, tapi juga pemerintah kita.
Untuk itu, pada kesempatan ini saya mengajak semua pihak, termasuk para pemimpin di negeri ini supaya boleh meluangkan waktu dan pikiran untuk berpikir lebih serius lagi tentang nasib setiap aset dan duta bangsa ini, apalagi mereka adalah salah satu penyumbang devisa terbanyak. Jangan tunggu kejadian-kejadian seperti ini terjadi, baru mulai berkoar-koar sana-sini. Satu lagi, kapan pemerintah Indonesia mau meratifikasi MLC2006 seperti yang sudah dilakukan hampir semua negara yang banyak pelautnya? Kasihan nasib para pelaut kita, dan juga perusahaan-perusahaan pelayaran kita, kalau sikap arogansi dan tak mau peduli yang selalu dikedepankan.
Semoga, kelak para pelaut kita akan semakin mampu menunjukkan jati diri mereka sebagai duta bangsa dan pahlawan devisa.
“ Confidence comes from attitude, discipline, and training” --- Michael Sendow ---, Jakarta Feb 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H