Sejak di Sekolah Menengah Atas (SMA) saya sudah gemar menulis. Membaca apa lagi, sejak SD pekerjaan itu sudah saya lakukan. Bahkan budaya gemar baca sudah tertanam sejak kecil. Hidup dan dibesarkan dalam keluarga yang gemar baca, memang telah membentuk saya untuk setia melahap santapan harian berupa bahan bacaan, baik itu produk dalam negeri maupun yang dari luar. Tiada hari tanpa membaca sudah menjadi sebuah kemestian. Istilah kerennya, I can live without reading.
Nah, alhasil segala macam ide dan pengetahuan menjadi begitu menumpuk dalam diri saya. Menginjak SMA, kegiatan membaca akhirnya menuntut sebuah bentuk pelampiasan. Ya, apalagi kalau bukan menulis. Dan sejak saat itu pulalah kegiatan menulis menjadi pekerjaan harian saya lainnya. Memasuki masa perkuliahan, semangat menulis saya semakin menjadi-jadi. Saya tergila-gila dalam menulis. Walau tentu saja, tidak menjadi benar-benar gila karenanya. Amit-amit jabang monyet deh kalau harus menjadi orang gila. Maka oleh pihak kampus, saya akhirnya dipilih untuk menjalankan penerbitan Majalah Mahasiswa Kampus, bernama Equilibrium (keseimbangan). Laiknya membaca, tiada hari tanpa menulis akhirnya pun menjadi sebuah kemestian. Istilah kerennya, I can live without writing.
Pada saat itu jugalah saya memunculkan sebuah semboyan yang masih saya pakai hingga saat ini. Bagi seorang penulis sejati, maka menulis itu ibarat bernafas. Bayangkan saja seseorang yang tidak lagi bernafas, apa jadinya? Demikianlah akibatnya bagi seorang penulis yang berhenti menulis. So, writing is breathing. Anda ingin tetap hidup? Breath!
Mendapat kesempatan belajar dan bekerja di Amerika Serikat, di tahun-tahun pertama, semangat menulis saya masih amat tinggi. Amerika memberi saya begitu banyak ide untuk menulis. Itu terasa dengan banyaknya tulisan yang saya hasilkan, baik untuk keperluan pekerjaan, pelajaran, permintaan pihak lain, maupun untuk koleksi pribadi. Memasuki tahun ketiga di Amerika, ternyata semangat itu mulai menurun, entah karena apa. Satu hal yang pasti, saya mengalami apa yang saya istilahkan sebagai ‘kematian semangat menulis’, Saya tidak lagi memiliki ‘nafas’ seorang penulis. I was not breathing anymore. Mati.
Kematian dari dunia kepenulisan semakin menjadi-jadi. Bahkan pernah ada setahun saya hanya menghasilkan 1 tulisan saja (di tahun 2010). Ini luarbiasa mengecewakan, 1 tahun 1 tulisan? Sekedar untuk menghibur diri, bisa saja saya bilang better one than nothing! Ini benar-benar amat sangat menyakitkan dan menyesakkan. Hidup yang biasanya penuh semangat dalam menulis, dan harus kehilangan semangat itu, pastilah amat sangat memilukan. Padahal, one of the most instrumental changes in my work, life, and love has been writing every single day. Pertanyaan saya dalam diri hanya satu: Bagaimana cara memunculkan semangat itu kembali? Entahlah….
Bangkit Dari Kematian
Jujur mesti saya akui. Pengenalan saya terhadap Kompasiana, dan ‘pendaratan’ secara tidak sengaja di rumah ini terjadi di akhir tahun 2010. Itulah pertama kali saya mengenal ‘rumah sehat’ besutan Kang Pepih, dkk ini. Dan itu membuat perubahan luarbiasa mendasar. Secara perlahan namun pasti, setiap hari saya membuka dan membaca menu harian di Kompasiana. Tidak pernah sama, tapi rupa-rupanya begitu memikat ‘nafsu makan’ saya dalam melahap hampir setiap sajian gratis di sana.
Saya pun sepertinya mulai menemukan kembali semangat menulis saya yang patah alias mati suri. Barulah pada Februari 2011 saya resmi bergabung. Ini bagi saya adalah sebuah momen yang teramat indah. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati, saya mesti mengakui bahwa kebangkitan dari kematian menulis saya berawal dari Kompasiana. Di sini, saya kembali menemukan passion saya. Karena menulis memang adalah pengubah hidup saya. It was my life-changing. Menulis di Kompasiana adalah momentum kebangkitan. Dan 6 February adalah Hari Kebangkitan Menulis bagi saya. Tentu akan terus saya peringati.
Lalu apa sih keuntungan menulis? Mungkin itu juga pertanyaan begitu banyak orang. Mengenai hal itu sebetulnya sudah banyak kali saya tuliskan di Kompasiana ini, tentu semenjak saya ‘bangkit dari kematian’ itu. Namun ada beberapa hal yang dapat terus kita maknai secara serius. Antara lain dapat dibaca di bawah ini.
Bahwa dengan menulis, kita dapat merefleksikan hidup, dan segala perubahan hidup yang kita buat secara lebih nyata. Ini adalah sesuatu yang tak ternilai, dimana kita berkesempatan mengabadikan apa yang kita inginkan atau harapkan, yang kita lakukan dan yang kita pikirkan, sesuatu yang mustahil dilakukan leluhur kita ratusan atau ribuan tahun yang lalu. Benar bukan? Ya iyalah. Sekarang kita hidup di zaman yang mendukung serta memudahkan kita untuk menulis.
Menulis secara terus menerus juga dapat memurnikan serta mencerahkan pikiran-pikiran kita. Ide-ide tersembunyi, imajinasi yang masih tak jelas, bahkan pikiran apapun yang belum jelas bentuknya dapat menjadi crystal clear setelah tertuang dalam bentuk tulisan. Menulis dengan kata lain, membuat apa yang belum jelas yang ada dalam alam pikiran kita menjadi begitu jelas, nyata dan logis bentuknya dalam ‘alam tulisan’. Dapat disaksikan diri sendiri, keluarga, masyarakat, bahkan seluruh dunia.
Menulis menolong kita untuk menyelami serta mampu berada dalam perspektif pembaca. Inilah juga salah satu ilmu menulis yang pernah saya pelajari. Ketika kita menulis dengan memakai ‘kaca mata’ pembaca, dan tidak semata-mata kemauan hati kita saja, saat itulah sesuatu yang besar bakalan terjadi di luar sana. Tatkala kita dapat masuk ke dalam mindset pembaca, perlahan kita mulai mengerti keinginan pembaca, dengan sendirinya kita juga akan memiliki empathy serta pengertian yang lebih bijaksana tentang sesuatu di luar diri kita.
Dengan menulis juga kita dapat meyakinkan orang lain. Mengajak orang lain secara persuasif sehingga memahami buah-buah pikiran kita. Semakin piawai kita menulis, akan semakin mudah kita meyakinkan pembaca, sekalipun mungkin mereka tidak cocok dengan kita. Saya pernah menulis sesuatu, yang karena itu, lantas membuat orang yang begitu membeci saya, bisa dengan ramah hati memeluk saya dan meminta maaf dengan amat sangat. Menulis itu senjata. Menulis itu juga peluru. Kalau kita mampu memakai senjata dan peluru yang tepat, mengarahkannya ke sasaran yang tepat…”Doooor!” Niscaya kita akan mampu membuat perubahan besar, sesuatu yang mungkin bahkan sangat tidak kita sangka-sangka.
Menulis secara rutin juga dapat mendorong kita untuk selalu menghasilkan sesuatu yang baru. Di samping itu, dapat turut memecahkan kebuntuan. Terutama kebuntuan ide. Prinsip saya begini, bahwa tidak ada alasan untuk tidak menulis karena alasan tidak ada ide atau kekurangan ide. Untuk mendapatkan ide maka menulislah. Justru dengan menulis kita akan semakin banyak dapat ide. Harus dibalik seperti itu. Ide ada dimana saja kok. Berbicara dengan orang, pengalaman hidup, nonton berita hangat, nonton film, pergi ke pasar, diskusi bersama teman, dan apapun yang kita lakukan, di sanalah ide itu selalu ada dan hadir. Bahkan seperti yang pernah saya tulis, dalam mimpi pun ide itu bisa saja datang. Tinggal kepekaan kita untuk menangkapnya.Ideas are everywhere! That’s why you can find it easily.
Sekarang saya sudah bangkit kembali dari kematian menulis. Mengalahkan semangat yang patah memang tidaklah mudah. Saya juga sangat beruntung kala itu ada Kompasiana, yang secara tiba-tiba, melintas dalam penglihatan dan pandangan saya. Tanpa menisbikan kehadiran media-media sosial lain kala itu, namun memang Kompasianalah yang membangkitkan saya dari kematian menulis. Yang paling berperan mengembalikan semangat saya untuk menulis terus, dan terus menulis.
Kini, dengan semangat menulis yang mula-mula saya miliki, saya berketetapan hati untuk tetap menulis. Sebab saya tidak ingin mengalami kematian yang kedua kali, hahahaha…..Saya harap kawan-kawan, rekan-rekan pembaca yang budiman juga memiliki semangat menulis yang tak pernah padam. Sebab, percayalah bahwa dengan menulis Anda dapat melakukan banyak perkara besar. Dengan menulis juga, Anda dapat mengubah hidup Anda pribadi, serta bila mungkin, hidup banyak orang.
Menulislah dengan keunikan dan karakter masing-masing. Ingatlah, write because no other person who came before you or who will come after you will ever, ever be able to do it in quite the same way that you can.Jadi, teruslah menulis dan tetaplah menulis. Semoga kita semakin diberikan kemampuan untuk menulis yang lebih baik dari hari ke hari. —Michael Sendow—
#kebangkitanmenulis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H