[caption id="attachment_323117" align="aligncenter" width="317" caption="Ahok Untuk Indonesia"][/caption]
Ahok, begitu ia sering disapa. Padahal nama lengkapnya adalah Basuki Tjahaya Purnama, namun sebutan pendek Ahok ternyata lebih terkenal di pemberitaan manapun. Dan, kita semua mungkin sudah tahu siapa Ahok ini. Segala sepak terjangnya selalu memunculkan reaksi beragam. Sepak terjangnya selalu menciptakan ‘tsunami’ komentar kiri dan kanan. Terlepas itu dalam bentuk pujian, cibiran, atau apapun itu, namun ia terus menjadi pusat perhatian. Ia adalah orang nomor dua di Jakarta ini. Wakilnya Jokowi.
Belum lama ini, Ahok kembali ‘berulah’ dengan style marah-marahnya. Ia menggebrak meja di hadapan para staff dan kadis kebersihan. Gaya yang sudah menjadi bawaan Ahok, yang menurut saya telah menjadi karakter bawaan dirinya yang sangat khas, terus saja dilakukan. Artinya, kalau nggak marah-marah dan gebrak meja, bukan Ahok namanya. Apapun itu, Ahok tentu sangat punya alasan untuk marah. Dan tentu, ia punya dasar kuat kenapa harus marah. Untuk hal marah-marah serta gebrak meja, saya setuju dan mendukungnya. Itu masih dalam batas kewajaran serta masuk akal.
Memangnya siapa sih yang mau capek marah-marah melulu setiap hari? Tapi ya itulah, banyak PNS kita terlanjur senang membuat atasannya marah-marah. Bagaimana caranya membuat atasan mesti marah-marah? Gampang. Bekerjalah secara malas. Korupsilah banyak-banyak. Selewengkan apa yang bisa diselewengkan. Bermainlah selagi masih bisa bermain. Tipulah selagi masih ada waktu untuk menipu. Dan hal-hal yang membuat seorang Ahok marah-marah, pastilah akan terus demikian kalau dinas dan instansi di DKI ini kinerjanya tidak bagus-bagus juga. Jadi untuk membuat Ahok marah gampang sekali.
Saya ingat betul, ada kawan saya cerita sewaktu ia mau mengurus sesuatu di kelurahan di mana ia tinggal. Ketua RT bilang ke dia begini, bahwa ternyata katanya, selama ini mereka sudah dibohongi mentah-mentah oleh gubernur dan wakil gubernur terdahulu, atau siapapun atasan mereka kala itu. Saya tanya kenapa? Karena baru pada masa kepemimpinan Jokowi-Ahok inilah mereka jadi tahu bahwa ada anggaran untuk setiap RT. Selama ini ia nggak pernah tahu. Kini, anggaran apa saja yang mereka dapatkan sudah ditempel di dinding kantor lurah. Semuanya transparan. Semuanya terbuka, dan jelas.
Buku Tentang Ahok
Belum lama ini, PT Elex Media Komputindo yang tentu saja, seperti biasanya, bekerja sama dengan Grup Kompas Gramedia kembali merilis sebuah Buku. Sama seperti buku tentang Jokowi yang digarap keroyokan oleh para Kompasianer, kini buku tentang Ahok yang digarap keroyokan oleh beberapa kompasianer pun telah beredar di toko buku Gramedia, dan toko buku online lainnya. Judul buku tersebut, di mata saya sungguhlah manis, “AHOK UNTUK INDONESIA”.
Buku setebal 244 halaman ini, mestinya menjadi semacam ‘buku wajib’ bagi mereka yang mendukung Jokowi dan Ahok. Mengapa? Ya karena buku ini sangat bagus, saya membacanya sampai terlena dengan tutur kata, dan ciri khas bahasa tiap penulis. Semuanya bagus dalam menulis, entah yang berisi pujian maupun kritikan terhadap Ahok. Sangat mendalam, dan elegan dalam penyampaian. Bukan promosi yah, walau saya juga salah satu penulis di buku tersebut. Tapi memang jujur saya akui bahwa buku itu memang bagus dan layak baca. Jadi bersegeralah menyisikan duit untuk membelinya. Dijamin tidak akan kecewa. Kalau beli di tokobuku online sepertinya ada diskon khusus. Untuk memastikan silahkan menghubungi ‘biang’ hingga terciptanya buku ini yaitu Kang Pepih dan Nurollah.
Ditulis oleh 35 kompasiener, maka secara runut tersajilah 40 artikel penuh cerita dalam buku ini. Terdiri dari beberapa bab, buku ini menyajikan banyak sekali sudut pandang tentang Ahok. Ada cerita tentang siapa Ahok, dan bagaimana sepak terjangnya. Masukan serta kritikan terhadap Ahok dalam membangun Jakarta, menuju apa yang dicita-citakan yaitu Jakarta Baru. Ada juga tantangan serta harapan yang diletakkan di atas pundak Ahok, untuk menjadikan Jakarta sebagai etalasenya Indonesia.
Intinya adalah satu. Selama ini menjadi nomor dua selalu hanyalah sebagai ‘ban serep’. Ahok sudah membuktikan serta menunjukkan kepada kita, bahwa menjadi nomor dua, tidak serta merta menisbikan keberadaannya. Nomor dua tidak mesti diartikan sebagai sebuah pelengkap semata. Dalam memimpin dan menciptakan Indonesia baru tidak ada istilah nomor satu dan nomor dua. Jokowi dan Ahok adalah satu paket. Dan paket itu lepas dari nomor satu dan nomor dua, paket itu punya visi dan misi yang sama, dan akan selalu bekerja secara bersama-sama. Pembagian tugas sudah dibuat, dan Ahok bekerja tidak dalam tekanan mitos bahwa nomor dua adalah ban serep. Jakarta bagaikan punya dua gubernur sekaligus. Dua kolaborasi yang sangat luar biasa.
Dan buku ini memperjelas semuanya itu. Bahwa menjadi sebagai ‘hanya’ orang nomor dua dalam struktur jabatan tidak menjadikan Ahok menomorduakan kerjaannya, yaitu menciptakan sesuatu yang lebih baik lagi untuk Jakarta ini. Olehkarenanya, segala macam bentuk marah-marah serta gebrak mejanya Ahok akan mampu kita terima dengan senang hati, karena meskipun itu terjadi, tujuannya hanyalah supaya terjadi sesuatu yang semakin baik secara terus menerus. Dan karena Jakarta adalah etalasenya Indonesia. Tidaklah berlebihan untuk mengatakan, ketika Jakarta menjadi bagus dan maju, maka mudah-mudahan, kelak akan segera diikuti oleh banyak kota di Indonesia.
Makanya juga, tidaklah berlebih pemilihan judul buku tentang Ahok ini sebagai, Ahok Untuk Indonesia. Karenanya juga, yang boleh membeli buku ini tentu saja tidak hanya warga Jakarta doang, namun di manapun Anda berada dan tinggal, rasa-rasanya buku ini akan bermanfaat untuk dibaca. Selamat membaca. Cheers! ---Michael Sendow---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H